"Memangnya, Tuan Leonar tidak melakukan sedikit pembelaan atas keputusan Tuan Hittler, Nona?" Binar, juru masak di rumah Hittler Smith yang berusia empat puluh tahun menatap mata wanita di sampingnya.
Sejenak Leonar terdiam. Hatinya benar-benar sakit jika mengingat ayahnya. Terakhir ia bertemu dengan ayahnya minggu lalu, saat ayahnya dengan paksa menyuruhnya mengambil gaun putih miliknya untuk dipinjamkan pada Kate. Sampai sekarang bahkan ayahnya belum menemuinya dan mengembalikan gaun satu-satunya yang dia punya, pemberian Adolf.
"Tentu saja Ayah sudah melakukannya, Binar. Mungkin memang tidak ada toleransi."
"Ah, tidak apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ini bukan masalah besar," ujarnya sambil tersenyum.
"Iya, Nona. Tuan Hittler memang sangat tegas. Lagipula kerugian perusahaan karena kelalaian Tuan Leonar juga tidak sedikit."
"Iya, Binar. Mungkin memang harus begini."
"Tapi... kau tidak keberatan dengan semua ini?" tanya Binar sedikit ragu. Wanita di sampingnya itu hanya menjawabnya dengan senyuman. Leonar kembali mengelap meja makan yang sebentar lagi akan digunakan untuk makan malam.
"Binar, bolehkah Binar makan malam?"
"Tentu saja boleh."
"Memangnya kenapa? Kau tidak boleh makan malam?"
Leonar mengangguk. Sesaat kemudian ia menatap semua menu makanan yang ada di atas meja. Ia melihat makanan kesukaannya ada di atas meja. Donat coklat dan roti selai kacang. Leonar menelan ludah. Makanan yang dulu hampir setiap hari ia makan sekarang sudah tidak pernah lagi ia nikmati. Ingin rasanya tangan kanannya mengambil satu donat dan melahapnya sesegera mungkin, namun ia tahu apa yang akan terjadi jika ia melakukannya.
Suara langkah kaki terdengar jelas, semakin dekat, membuat lamunan Leonar buyar. Ia melihat Jonathan berjalan mendekat. Dari kejauhan pria itu sudah menatapnya. Kali ini pandangan Jonathan terlihat datar. Dia menggeret kursi yang ada di samping Leonar. "Hey, kenapa masih berdiam diri?"
'Ha? Apa? Aku harus melakukan apa?' tanyanya dalam hati.
"Ambil itu!" Jonathan menunjuk sandwich.
"Cepat!"
"I-iya."
Jonathan mengigit setiap sandwich itu dengan lembut. Cara makannya sangat formal. Dia seperti sedang makan di acara-acara besar. Tentu itu adalah pemandangan yang aneh bagi Leonar. Ia tidak pernah melihat orang makan dengan cara se-formal itu. Padahal, sekarang di meja makan tidak orang selain dia.
"Ambil saja jika ingin!" ucapnya dengan nada tinggi. Leonar yang masih berdiri di belakang Jonathan hanya diam. Ia tidak tahu jika Jonathan bicara kepadanya.
"Kau tuli, ya?" ia berbalik badan. Menatap Leonar yang diam menunduk sambil menggerak-gerakkan jari-jari kakinya.
"Hey!!"
"Iya, Tuan?"
"Kau tidak mendengar kata-kataku barusan?" Merasa memang tidak mendengar apa pun, ia menggeleng dengan muka polosnya.
'Tuli!'
"Ambil saja donat itu jika kau mau!"
"Tidak, Tuan, terimakasih."
"Ambil!"
"Tidak, Tuan."
"Ambil!"
"Terimakasih, Tuan."
"Ambil, bodoh!! Aku menyuruhmu untuk mengambilnya."
'Tidak mau! Kau pasti punya niat buruk padaku, kan? Aku, kan tidak boleh mengambil makanan apa pun di atas meja makan saat malam hari sudah tiba.'
"Ambil atau aku akan melarangmu makan selama tiga hari!" ancam Jonathan. Itu terdengar mengerikan di telinga Leonar. Alhasil, ia mengambil satu donat coklat. Perasaannya tidak enak, takut jika sampai Hittler melihat ia mengambil makanan malam ini. CCTV di ruang makan terpampang jelas. Banyak pelayan-pelayan di ruang makan yang bisa melaporkannya pada Hittler.
"Tuan Hittler tidak akan memberimu hukuman apa pun, karena yang membuat peraturan tentang kau tidak boleh makan malam itu adalah aku."
Seketika Leonar langsung mendongak. Ia menatap Jonathan yang asik mengiris-iris steak. Ucapan itu terdengar sangat ringan di telinga Leonar. Dia pikir aturan itu adalah aturan yang dibuat oleh Hittler. Ternyata aturan jahat itu dibuat oleh Jonathan. Sehari ia hanya diperbolehkan makan dua kali, tidak boleh tambah, dan tidak diperbolehkan makan malam! Ia bahkan berusah payah untuk mengatur jadwal makan agar tidak kelaparan. Dan sekarang dengan ringan Jonathan mengatakan bahwa itu adalah peraturan yang ia buat!
"Tuan Hittler membuat peraturan bahwa kau boleh makan tiga kali sehari dengan porsi yang sedikit, namun aku memberi ide Tuan Hittler bahwa jatah makan malammu lebih baik ditiadakan."
"Dan kau tahu? Mulai Minggu depan setiap makan malam kau wajib duduk di sana!" ucapnya sambil menunjuk kursi yang berada di sudut meja.
"Tuan Hittler ingin setiap makan malam kau ada di sana supaya kau melihat kami semua makan. Minggu depan juga ayahmu kemari. Kau akan duduk di sebelah ayahmu. Dengan begitu Tuan Hittler bisa melihat kau dan ayahmu semakin menderita." Mendengar itu perasaan Leonar semakin berkecamuk. Ia tetap diam, berusaha berdiri tegap sambil menahan tangis.
Jonathan menoleh ke belakang, mengintimidasi wajah Leonar. "Kau mau menangis, kan?"
"Cengeng!"
"Hey!"
"Ya, Tuan?" Leonar mengangkat pandangan. Ia berhasil mencetak senyum sempurna. Sama sekali tidak terlihat eskpresi sedih pada wajahnya. Hal itu membuat Jonathan semakin mengernyit. Dia pikir Leonar akan menangis dan berlutut, memohon keringanan supaya hukuman itu tidak dilakukan.
SRET!!
Suara kursi yang terdengar diseret membuyarkan pandangan mereka berdua. Saat mereka menoleh, mereka berdua mendapati Hittler dan seorang pria yang sudah duduk di sampingnya. Seketika Leonar langsung menunduk, dan Jonathan kembali memposisikan duduknya dengan benar. Ia menyapa dua orang di yang duduk di hadapannya itu dengan sopan.
"Selamat malam, Tuan Hittler."
"Maaf, Tuan saya sudah makan lebih dulu." Hittler tidak merespon sama sekali. Di samping Hittler terdapat David, seniornya yang beberapa bulan terakhir mengurus perusahaan Smith Group yang terdapat di luar negeri. Selama beberapa bulan terakhir ini ia menggantikan tugas David, yaitu sebagai tangan kanan Hittler. Sekarang ia sudah kembali, itu artinya posisi Jonathan sekarang sudah tidak lagi menjadi tangan kanan Hittler Smith.
'Aghh!!'
"Di depan ada banyak berkas yang harus segera kau tangani sekarang!" ucap David memberikan perintah. Dengan sedikit dongkol Jonathan menggeser mundur kursinya, dan segera pergi meninggalkan meja makan. Leonar yang tadinya berdiri tepat di belakang Jonathan pun kini menjadi bingung. Kakinya selalu terasa lunglai saat melihat Hittler.
"CUIH!!"
"Asin!" Hittler menyemburkan kuah soup.
"BINAR!!"
"BINAR!!"
"BINARR!!" ulangnya untuk yang ketiga kali. Binar yang sedang sibuk membereskan dapur pun langsung berjalan cepat menghampiri Hittler. Perasaannya sudah tidak enak.
"I-iya, Tuan!"
Hittler memberikan sendok, lalu menggerakkan bola matanya ke arah soup yang ada di mangkuk besar. Ekspresi wajah Hittler membuat perasaan Binar semakin tak karuan. Buru-buru ia mengambil sesendok soup yang ia masak beberapa jam lalu. Satu sendok soup masuk ke dalam mulutnya, wajahnya langsung berubah masam. Ia menelannya dengan sangat terpaksa.
"Maaf, Tuan... saya... saya terlalu banyak menambahkan garam."
"Habiskan!" perintah Hittler dengan sorot mata tajam. Soup sayur yang ada dalam mangkuk besar itu sangat banyak. Tentu tidak mungkin habis jika hanya dimakan satu orang. Rasanya juga sangat asin, tidak baik untuk kesehatan. Meskipun begitu Binar tidak berani membantah perintah Hittler. Dengan berat hati ia memakan olahan soup asin yang ia masak sendiri. Sampai akhirnya perutnya tidak mampu lagi untuk menampung soup buatannya. Leonar yang tak tega melihat Binar pun langsung mendekat. Baru saja ia hendak mengucapkan sesuatu, Hittler langsung menyuruhnya diam melalui gerak matanya.
"Habiskan sampai tak tersisa!"
Binar memaksa mulutnya untuk terus menelan soup. Dia benar-benar tak berdaya. Tidak berani menghentikan aktivitasnya walaupun isi dalam perutnya sudah penuh. Leonar yang duduk di samping Binar tidak bisa lagi menahan sesak di dadanya. Air matanya mengalir deras, tidak tega melihat wanita paruh baya yang sedang bersusah payah menghabiskan soup.