webnovel

07. Mawar Abadi

Pintu kamar terbuka, aku masuk sambil melepas palto dan menggantungnya di dekat lemari. Tas selempang kutaruh di atas meja sebelum sibuk melepas sepatu boot pendek yang agak kekecilan. Langkahku berayun ke sebuah pintu lain di sudut ruangan, rasanya sentuhan air hangat di malam hari cukup menyegarkan kulit.

Tak perlu waktu lama setelah melepas semua kain yang menempel di tubuh, sensasi bathtub membuat setiap pori-pori kulitku menjerit kegirangan. Aku memejamkan mata menebak ritual berendam itu masih akan berlangsung lama. Namun tubuhku terasa semakin ringan tiap detik berganti, selalu saja begini, kuharap aku tidak bangun di bathtub esok hari.

Aku ingat sekali mimpi itu, dimana aku hilang kendali dan tertidur tanpa sadar saat berendam air hangat. Mulanya terdengar dentingan piano dengan nada sendu, lalu suara-suara tanpa wujud menyusul bersenandung,

'Malam yang sunyi tanpa arti'

'Berbalut harumnya misteri'

'Bunga hati mekar dan kuncup lagi'

'Semesta meredup tak menghargai terbitnya mentari'

Lalu sebuah pintu kecil muncul di hadapanku, segera saja langkah ini mendekat dan membukanya. Aku mengintip, hamparan rumput hijau nan segar dengan bunga warna-warni menjamur di atasnya. Tanpa kusadari, lengkungan kecil di bibir muncul menggugah hati untuk berkunjung sesaat. Ya, pintu kecil itu benar-benar memaksaku merangkak untuk sampai di taman yang lama sekali tak terlihat di dunia nyata. Tiba-tiba sebuah suara seperti menyambut dari kejauhan,

"Selamat datang nona untuk pertama dan terakhir kalinya di Taman Bunga Keabadian,"

Sesosok perempuan bersayap merpati datang menghampiri.

"Nona Aster, namamu seindah bunga-bunga mekar di hamparan ini, kedatanganmu sudah dinanti-nantikan oleh Mawar Abadi, tahukah kau sudah berapa lama mawar kami menunggu?" tanya si perempuan.

Aku menggeleng.

Jemari telunjuknya menyentuh hidungku seraya menjawab,

"Seratus tahun nona, ya... kau tidak salah dengar, seratus tahun mawar kami menunggumu,"

"Tapi mengapa menungguku? Memangnya aku siapa?"

"Nona Aster, diantara begitu banyaknya manusia di dunia, Mawar Abadi telah memilihmu, ia ingin sekali bertemu denganmu, sejak Engkau lahir kalian memang sudah saling dijodohkan oleh langit, kalau begitu sudikah aku membawamu bertemu dengannya?" sebuah uluran tangan menyambut di depan mataku.

Aku meraihnya.

Langkah si perempuan menarikku maju, meski bersayap ia lebih memilih menggunakan kedua kakinya.

Mau tahukah kalian bagaimana wujud perempuan bersayap merpati itu?

Gaunnya panjang seputih bunga melati juga mahkota perak yang menghiasi rambut coklat terurai. Wajahnya sungguh cantik nan damai menyiratkan sosok bidadari baik hati di buku dongeng anak-anak. Sayap merpati perempuan itu membuatku takjub berkali-kali karena tak sekedar hiasan namun tumbuh dari tulang punggungnya langsung.

Di tengah jalan belalang bersayap kupu-kupu terbang kesana kemari, salah satu yang berwarna biru hinggap di pundakku. Aku mencoba menyentuhnya namun ia pergi terburu-buru entah mengapa. Tak hanya hewan bersayap indah yang menyambut, ribuan bunga cantik berbagai warna seperti tersenyum memperhatikan. Aku tergoda untuk memetik satu, saat hendak menunduk si perempuan bersayap menegur,

"Tidak boleh nona, bunga-bunga disini tidak mekar untuk dipetik, mereka memilih takdirnya sendiri, lagipun di depan sana Mawar Abadi tengah menunggu, nona tidak boleh membuatnya iri karena memilih bunga lain,"

"Maaf,"

Perempuan itu tersenyum, namun aku tak membalasnya. Kami kembali melangkah dengan ritme seperti sedia kala.

Dari kejauhan, dibawah pancaran sinar perak seperti sinar bulan tampak sebuah bunga yang besar. Ia tampak agung diantara bunga-bunga lain di taman, seolah ratu bijaksana yang disembah oleh rakyatnya. Aku menyukainya pada pandangan pertama, ternyata benar kata perempuan bersayap bahwa kami sudah saling dijodohkan. Tak sabar untuk mendekat, aku melepaskan genggaman si perempuan dan berlari ke arah Mawar Abadi.

Seolah memandang kecantikan paripurna, tanpa sadar mataku terus terbuka lupa untuk berkedip. Bunga mawar merah muda seukuran raflesia itu seperti tersenyum melihatku. Harumnya langsung merebak ke seluruh penjuru taman, aku bisa merasakan penantian seratus tahun lamanya. Kerinduan tiada tara seperti pungguk merindukan bulannya.

Kelopak-kelopak sang mawar agung menari di hadapanku, menggoda untuk kusentuh dan kupeluk. Sebuah senyum melebar di bibir dan jemariku perlahan terdorong maju untuk membelainya. Lembut, lebih lembut ketimbang sutra, kelopaknya sejuk, sesejuk kutub utara. Tiba-tiba perempuan bersayap sudah ada di sampingku, dan sinar perak perlahan meredup, taman itu mulai kehilangan cahayanya. Aku berpaling,

"Oh tidakkk!"

Mawar Abadi merah muda yang semula anggun nan gemulai menjadi hitam terbakar suluh yang menggelora. Dan bunga warna-warni di hamparan mengering seketika tak meyisakan warna apapun selain gelap.

"Ada apa ini?"

Pandanganku kalang kabut melihat apa yang sedang terjadi di taman yang semula indah itu. Saat cahaya dari langit hanya menyisakkan semburat-semburat tanpa makna, perempuan bersayap berubah menjadi sosok hitam bertopeng. Ia menghunuskan pisaunya ke arahku sambil berkata,

"Sekarang giliranmu nona,"

PRRRAAAANGGGG...

Mataku yang terpejam langsung terbuka lebar, benar saja kutemui diriku masih tanpa busana di bathtub. Suara memekakan telinga itu berhasil menarikku dari alam mimpi secepat kilat. Entah apa yang terjadi di balik pintu sana, aku cepat-cepat membungkus diri dengan mantel mandi yang tersampir tak jauh dari gapaian tanganku.

Sebagian rambut masih basah saat kuputar gagang pintu dan keluar dari dalam kamar mandi. Betapa terkejutnya diriku mendapati kaca jendela yang hancur berantakan dan gedoran bertubi-tubi menyerang pintu kamar. Aku langsung membukanya dan segerombol orang dengan wajah amat familiar memaksa masuk untuk mengetahui apa yang terjadi.

"Ada apa Asterku sayang?" tanya Nyonya Jean sebagai orang pertama yang melangkah maju.

Disusul Jessica dari balik punggung si pemilik rumah,

"Kuharap semuanya baik-baik saja,"

Lalu Ariana dan Rose bergandengan paling belakang.

Aku tak menjawab, hanya memalingkan wajah ke arah sumber kekacauan malam itu. Semua orang tak terkecuali aku langsung mendekat pada jendela, Jessica mengintip ke bawah lewat lubang besar yang terukir disana.

"Ya Tuhan, kekacauan apa ini?" sebut Nyonya Jean seraya menutup mulutnya yang terbuka.

"Tak ada siapa-siapa," tutur Jessica sembari berbalik badan dan mendekat ke arah Kami.

"Apa kamu sedang mandi saat suara itu datang?" tanya Ariana mengarah padaku.

Aku mengangguk. Kedua tanganku merapat seiring rasa takut yang menggetarkan jiwa raga, kejadian itu benar-benar diluar kendali.

"Ada apa sebenarnya ini?" - tanyaku dalam hati.

"Tenanglah Aster, semua akan membaik cepat atau lambat," perempuan tua berkaca mata itu mengelus rambutku pelan, "tunggu disini! Aku akan segera melapor,"

"Aster!" panggil Rose membuat semua pasang mata beralih padanya.

Di tangan perempuan berambut coklat itu tampak sebuah benda seukuran genggaman tangan yang terbungkus kertas putih.

"Aku menemukannya di dekat tempat tidur,"

Jessica langsung mendekat dan merebut benda itu dari tangan Rose.

Dibukanya kertas tersebut menampilkan sebongkah batu yang kemungkinan besar menjadi penyebab pecahnya kaca jendela. Tangan Jessica meletakkan batu itu diatas kasur kemudian melebarkan kertas kusut tersebut.

'KILLer'

Sebuah tulisan dengan arti 'pembunuh' tergores dengan tinta merah yang sepertinya kukenal.

"Ya Tuhan," sebut Nyonya Jean lagi.

"Siapa yang melakukan ini?" tanya Rose sebelum menatapku tajam.

Aku menelan salivaku sendiri dan menunduk ke lantai, tak ada yang bisa kukatakan dan lakukan.

"Tidak salah lagi Aster, ini adalah teror, kau harus segera lapor polisi," ungkap Jessica terdengar persuasif.

"Jangan begitu Jess, kau menakuti gadis ini, bisa saja hanya kerjaan orang iseng," bela Ariana.

Jessica tampak menghela napasnya keras-keras,

"Semoga saja begitu,"

Kertas yang dipegang Jessica mendarat disamping batu tadi. Sementara Nyonya Jean bersiap pergi dari sampingku,

"Ya, aku benar-benar harus melaporkannya, kalian bertiga tolong jaga Aster malang kita,"

Mereka yang dimaksud Nyonya mengangguk pelan, sementara Ariana tak henti-hentinya mengelus pelan pudakku. Hanya dalam hitungan detik, punggung perempuan pemilik rumah itu menghilang di balik tembok.

#bersambung#

Próximo capítulo