webnovel

04. Rumah Sakit dan Iqbal

Beberapa hari setelah kejadian itu, kukira aku telah menebus segala dosaku dan pergi dari dunia ini untuk selamanya. Namun sialnya, aku tidak mati. 'kesempatan kedua' begitu para dokter dan perawat selalu menghiburku, ya... kesempatan yang berarti kutukan bagiku. Aku sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana hari-hari kedepan bisa berjalan. Trauma dan rasa bersalah pasti akan selalu menghantui.

"Nona Aster Widoyo!" panggil suster Susan yang memunculkan kepalanya lebih dulu dari balik pintu.

"Waktunya sarapan,"

Ia memasang meja kecil didepanku sambil meletakkan mangkok berisi bubur tanpa garam yang harus kumakan.

"Sebentar lagi sus," aku inisiatif menolak.

"Pfiuh... berhentilah seperti ini nona, kau harus tetap makan agar tulang dan kulitmu bisa terisi, hidup itu anugerah dan Tuhan memberikannya sekali lagi padamu, nona, kau masih muda, sudah saatnya menyambut masa depan kembali,"

"Sudahlah suster, aku bosan mendengar kata-kata yang sama setiap hari!" balasku sembari menghembus napas keras-keras untuk mengusir udara dingin AC dari hidung.

Suster itu mendecakkan lidah.

"Polisi akan datang sore ini,"

APA?!!

Mataku membulat tanpa sadar, mengapa harus polisi? Apa jangan-jangan... Oh tidak, aku sungguh menyesal bisa bernapas kembali.

"Pihak rumah sakit sudah berulang kali melarang, itu sama sekali tidak baik untuk kondisi psikologismu yang belum sepenuhnya pulih, tapi katanya kereka bosan menunggu lebih lama," omel suster itu sembari menyuapi sendok demi sendok bubur ke dalam mulutku.

Dengan sangat terpaksa meskipun tanpa selera, aku terus menelan bubur tanpa rasa demi mengelabuhi lambung dan usus. Kedua mataku menerawang kosong tembok putih di depan sana, pikiranku tak ayal benang kusut yang sulit terurai. Beribu pertanyaan dan perspektif negatif menyerbu secara bersamaan, bagaimana jika polisi itu menanyaiku macam-macam? Apalagi soal sosok itu, dan kematian Giny, apa mereka mengira aku terlibat dalam pembunuhan itu? Tidak, itu sama sekali tidak benar. Atau soal Victoria Black yang tak muncul sepanjang malam itu terjadi? Dan yang paling penting, bagaimana aku bisa selamat?

Oh, ini dosa bagiku untuk hidup kembali.

***

Sepanjang siang berjalan, seperti biasa tak ada yang bisa kulakukan diatas ranjang pucat ruang rawat. Tak ada sosok yang menemani, keranjang buah, buket bunga di meja, atau sekadar kunjungan lima menit. Selalu begitu. Tapi hari itu sedikit berbeda, seperti yang perawat bilang tadi pagi, akan ada yang datang sore ini. Pihak yang semenjak kejadian itu sangat takut untuk aku temui. Namun, menghindar atau tidak, aku yakin pertemuan itu ditakdirkan pasti terjadi. Karena sejak awal permainan ini dimulai, semesta selalu membuat kemustahilan menjadi kemungkinan.

Ttok-ttokk-tokk...

Terdengar ketukan pintu, pelan namun konsisten, aku bisa menebak jika bukan suster yang bersembunyi di sisi baliknya.

Kreeettt...

Pintu terbuka. Ternyata benar, seorang lelaki dengan kaos hitam dan celana olahraga yang senada dengan langit malam muncul. Wajah yang sedikit datar, tetapi masih menunjukkan guratan-guratan tipis bekas senyum yang temporal. Ia memandangku sementara mulutnya tak berhenti mengunyah sesuatu untuk menganjal rahangnya rapat-rapat.

"Selamat sore!"

Aku tak membalas, masih bingung dengam keadaan yang terjadi dan kedatangan orang barusan.

"Kamu Aster?"

"Ya,"

Lelaki itu mengambil posisi duduk di kursi lipat merah yang biasa digunakan perawat saat menyuapiku makan.

"Saya Iqbal, maaf karena membuatmu tidak nyaman, aku bisa melihatnya,"

"Apakah Anda polisi yang dimaksud tadi pagi?" tanyaku menginginkan konfirmasi dari orang yang bersangkutan.

"Hmm," Iqbal mengangguk "tapi jangan khawatir, ini tidak akan menakutkan, hanyaaa..."

Polisi muda itu memiringkan kepalanya sambil berdecak lidah, kuperhatikan kedua tangannya tak pernah keluar dari saku celana.

"Pertanyaan kecil yang mengklarifikasi,"

Jantungku mulai berdebar. Meski hanya pertanyaan kecil kukira itu akan menyudutkanku, karena sejatinya polisi selalu saja mencari celah untuk menemukan kesalahan.

"Pertanyaan objektif yang menghasilkan kebenaran," tatapannya seketika menajam saat mengucapkan bagian ini. Aku tidak mengerti.

"Baiklah nona Aster..." terpotong.

"TUNGGU!" selaku menghentikan, ritme nafasku mulai tak beraturan, ada hal yang begitu mengganjal, tetapi sulit untuk diungkapkan. Bagaimana ini? Apa aku harus berpura-pura tidak ingat dan membujuk dokter untuk memvonisku amnesia agar polisi itu tak selalu menghantuiku.

"Sebelum mulai, apa posisiku dalam kasus ini? Tersangka? Korban?" tanyaku khawatir hingga tak sadar jika kedua pangkal alisku hampir bertaut. Aku menunggu jawaban, tapi nihil. Dalam lima detik atau lebih tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir Iqbal.

"Keduanya!"

Kini kedua tangan yang disimpan dalam saku sedari tadi ditarik keluar dan melipatkan diri di depan dada. Iqbal membetulkan posisi duduknya, nada dalam bicaranya memang betul menyalurkan getaran interogasi.

"Pertama, dalam posisi tersangka karena kontak yang terakhir kali dihubungi oleh Giny adalah dirimu, Aster Widoyo. Dalam posisi korban yang entah bagaimana caranya Kau bisa terluka, jadi nona, aku perlu semua penjelasanmu,"

"Dan parahnya, aku sama sekali tidak peduli dengan kondisi psikologimu karena penyelidikan tetap penyelidikan, kami butuh informasi dan Kau adalah kuncinya, jadi mohon bantuannya,"

Ya, aku mendengar baik-baik perkataan lelaki itu, tetapi tak serius memperhatikan. Kedua tanganku sedari tadi menarik-narik ujung piyama rumah sakit sebelum tangan Iqbal sontak menghentikan.

Waktu terasa sedang jeda berputar, sikapnya memaksaku untuk menatap matanya sebentar. Bola mata gelap yang terang itu hampir saja menghipnotisku.

"Apa kau dengar aku?"

Hanya anggukkan yang kutunjukkan.

"Apa kamu tau kenapa bisa ada disini?"

Kini gelengan kepala yang mampu mengatasi.

"Ironis, untuk alasan yang ironis sekali, lihat pergelangan tanganmu!" titahnya tak begitu tegas tapi berhasil kupenuhi. Ya, aku sudah melihatnya berkali-kali dalam setiap hari. Bekas jahitan.

"Entah kau mencoba bunuh diri atau ada yang mencoba membunuhmu, tapi kau selamat karena entah itu malaikat, superhero, kurcaci, atau bahkan manusia biasa yang menyelundupkanmu ke UGD rumah sakit,"

"Bukankah itu aneh? Seolah pahlawan ini sangat ingin kau hidup, siapa dia?"

"Maaf tuan, kau bilang di awal hanya pertanyaan kecil," protesku sedikit menunduk setelah sadar aku terlalu lama menatap mata Iqbal.

"Tentu, itu tadi pertanyaan kecil, kecuali jika aku bertanya bagaimana langkah demi langkah pembunuh dalam menghabisi nyawa temanmu?"

Aku menelan salivaku. Aku sungguh takut, jika aku menjawab satu pertanyaan ribuan pertanyaan lain akan menyecar. Meski aku tau persis bagaimana Giny sekarat di lantai manor, aku tak akan menjawab pertanyaan barusan. Sangat bagus jika hanya memposisikanku sebagai saksi, bagaimana jika polisi malah memberi gelar tersangka saat aku tak dapat membuktikan bahwa aku tidak terlibat.

Terlebih polisi itu tak menjamin kebebasan jika aku mengatakan yang sebenarnya. Apalagi soal sosok bertopeng, mengingatnya saja sudah membuatku bergidik ngeri.

"Baiklah, apa tidak ada jawaban Aster?"

Aku mengalah, mau tidak mau pertanyaan harus dijawab meski kebenaran tak terlalu mengambil alih.

"Aku tidak tau siapa yang membawaku, dan kurasa ini mimpi,"

Iqbal tampak mengangguk pelan.

"Kami juga belum menemukan jawaban, kau tau? CCTV bangunan ini sama sekali tak berguna,"

Aku agak heran, seolah lelaki itu tak membutuhkan jawaban dari kata-kataku, melainkan hal lain. Ya, hal lain yang tampak tidak transparan dan mengejutkan. Dia bisa membacaku. Sungguh polisi yang amat sangat merepotkan.

#bersambung#

Próximo capítulo