Tak ada sahutan. Pendekar utama kerajaan sanggar itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kalangan. "Apakah tidak ada lagi...?" tanyanya kembali. Masih tidak ada sahutan. "Kalau memang sudah tak ada lagi yang hendak mengadu keberuntungan, maka..."
"Maaf, Tuan, hamba mau mencoba. Sudilah Tuanku untuk menerimanya..."
"Hmmm...?" La Singa Tambora segera menoleh ke arah datangnya suara. Seorang laki-laki yang berwajah dan berpenampilan asing telah berdiri di belakangnya. La Singa Tambora memandang kepada calon lawannya itu dari ujung kaki hingga rambutnya yang bergelung dan diikat dengan sejenis pita putih yang sukup panjang dan lebar. "Siapa nama Tuan, dan berasal dari mana?"
Laki-laki yang tak lain adalah Jenderal Hongli, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan, lalu berkata, "Nama hamba Hongli. Hamba berasal dari negeri China. Tapi hamba memutuskan untuk menetap di negeri tuan ini. Jika diijinkan, hamba siap untuk mengabdikan diri untuk kerajaan ini...!"
"Hmm, begitu?" ucap La Singa Tambora dengan suara berwibawa sembari mengangguk-angguk pelan.
"Benar, Tuanku!"
"Baiklah," ucap La Singa Tambora. "Kuijinkan kau untuk mengadu keberuntungan. Semoga kauberuntung!"
"Terima kasih, Tuan!" balas Jenderal Hongli dengan penuh hormat.
Keduanya pun lantas mengambil jarak. Jenderal Hongli memberi tabik dengan sikap yang demikian tenang, dan dibalas oleh La Singa Tambora dengan sikap serupa.
La Singa Tambora tidak ingin bertindak gegabah untuk lawannya yang satu ini. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, tentu La Singa Tambora bisa menilai kalaulah lawannya itu bukanlah pendekar sembarangan. Pengalamannya sebagai bekas murid utama dari Poo Ling Pong Ah, setidaknya memberi gambaran kepadanya, bahwa pendekar dari negeri Tiongkok rata-rata memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Dan ketenangan yang ditampilkan oleh Jenderal Hongli menunjukkan pengalamannya di dunia persilatan yang tidak singkat. Namun demikian, sebagai jawara utama di Kerajaan Tambora, La Singa Tambora bertekad untuk mempertahankan kedudukan dan nama besarnya itu. Dengan sekali hentakan kaki, La Singa Tambora pun segera melesat dengan cepat ke arah lawannya sembari sekaligus mengirimkan pukulan kedua tangan dan kakinya, dengan sasaran yang mematikan di tubuh lawannya.
Jenderal Hongli yang sudah sangat hafal dengan jurus-jurus dari pendekar utama Kerajaan Tambora itu, segera menyentakkan kaki kanannya dengan keras, sehingga membuat permukaan kalangan tarung terasa berguncang, menyusul gerak melesat tubuhnya menyambut serangan lawan
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Jurus-jurus yang mereka peragakan pun demikian cepat, lihai, dan mematikan tentunya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam. Suara decak kagum dan teriakan-teriakan tertahan sekali-seklai terdengar di kalangan penonton.
Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Jenderal Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga.
Maka setelah lebih dari sepuluh jurus menghindar ia peragakan, Jenderal Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan satu bentakan yang keras, Jenderal Hongli mendaratkan satu bogem mentahnya dengan amat keras dan telak pada rahang La Singa Tambora.
Krakkk...!
"Auwwww...!"
Pukulan keras laksana hantaman godam baja itu membuat rahang La Singa Tambora retak, dan membuat tubuh pendekar utama Kerajaan Tambora itu terjungkal ke luar kalangan tarung. Hanya sesaat ia menjerit tinggi, lalu terkapar tak sadarkan diri.
Ketika menyaksikan peristiwa itu, lima orang pendekar penguji tingkat kedua serentak meloncat ke dalam kalangan, dan langsung menggempur Jenderal Hongli dari berbagai penjuru dengan menggunakan jurus andalannya masing-masing.
Namun sebagai seorang pendekar besar, Jenderal Hongli pun langsung menyambut serangan kelima pendekar penguji itu gerakan kaki tangan yang amat cepat. Ketika kedua kepalan tangan menghantam keras ke tubuh dua lawannya di depan, saat itu juga sebelah kakinya berkiblat ke belakang dengan amat cepatnya dan membentur dengan keras dada dua lawannya sekaligus. Empat tubuh lawan terlempar ke belakang, dan jatuh terduduk dengan sama-sama mengerang kesakitan sembari memegang dadanya masing-masing.
Melihat keempat temannya terlempar hanya dengan satu gebrakan, salah seorang pendekar penguji yang tersisa segera meloncat ke pojok kalangan dan langsung meraih sebilah pedang untuk kemudian dipakainnya untuk menyerang Hongli dengan gencarnya.
"Hmm...?"
Betapa kagetnya pendekar terakhir itu, karena tau-tau ujung pedangnya telah terjepit dengan kuat oleh jari manis dan telunjuknya sang pendekar dari Dataran Sinae, dan ia tidak mampu untuk menariknya kembali. Lalu diluar dugaan, tangan penjepit itu bergerak memutar dan amat cepatnya, sekaligus membuat tubuh pemegang gagang pedang itu terputar tanpa terkendali. Dan pada saat itulah kaki kanan Jenderal Hongli berkiblat, dan menghantam keras dada sang lawan,
Buggkh!
"Auuuwww...!" jeritan setinggi langit keluar dari mulut pendekar terakhir bersama tubuhnya terlempar ke luar kalangan tarung, jatuh terkapar di antara kaki-kaki penonton. Hanya sesaat laki-laki tegap itu menoleh agak mendongak, sebelum nafasnya berhenti. Darah kental dan bergelembung merembes dari mulut dan hidungnya.
Naga-naganya Jenderal Hongli tidak diberi kesempatan untuk mengatur ulang nafasnya. Begitu lima lawan tahap ujian kedua telah ia bereskan, sepuluh orang pendekar uji tahap ketiga pun segera berloncatan ke dalam kalangan tarung. Jenderal Hongli pun tidak mau kecolongan tenaga alami, karena pertarungan demi pertarungan masih akan ia hadapi. Karenanya ia tidak bergeser dari tempatnya berdiri.
Dan ketika sepuluh pendekar uji itu serentak menyerangnya dari segala arah, Jenderal Hongli segera menyambut mereka dengan sebuah jurus yang namanya Jurus Kepal Dewa Pemusnah Naga. Sebuah jurus tingkat menengah tapi sangat mematikan. Kedua kepalan kukuh tangan Jenderal Hongli dikiblatkan ke berbagai arah dengan menimbulkan hawa panas yang mematikan. Gerakan pukulan tangan kosong yang cepat laksana kitiran itu pun menghantam tepat pada dada dan tengkuk lawan-lawannya. Satu demi satu tubuh para pendekar uji terlempar ke belakang dan jatuh tergeletak. Hanya sesaat mereka mengerak kesakitan, lalu tak sadarkan diri dengan masing-masing mulut dan hidung mereka mengeluarkan darah segar. Hanya dalam waktu singkat kesepuluh pendekar uji pun dapat dibereskan dengan baik.
Sekarang Jenderal Hongli harus menyambut pendekar uji tahap ketiga yang terdiri dari lima puluh orang pendekar uji. Karena dirasa kalangan tarung terasa tidak cukup untuk orang sebanyak itu, maka sebelum kelima puluh pendekar uji itu belum sempat terjun di kalangan tarung, Jenderal Hongli pun dengan sebuah sentakan gerakan yang amat cepat dan ringan keluar dari kalangan, berpindah ke arah alun-alun yang luas dan terbuka. Ke lima orang pendekar uji bertongkat mengejarnya, lalu menggempur pendekar agung dari Dataran Sinae itu dari segala penjuru.
Untuk mematahkan serangan itu, maka Jenderal Hongli harus menggunakan Jurus Dewa Api Pemusnah Naga. Sebuah jurus tingkah menengah yang jauh lebih tinggi dan mematikan dari Jurus Kepal Dewa Pemusnah Naga. Jenderal Hongli menghentakkan kaki kanannya membuah bumi alun-alun yang telah diubah menjadi arena pertarungan itu pun bergetar, menjadikan kelima puluh pendekar penggempur yang hendak menyerangnya kaget dan serentak menghentikan gerakan mereka. Keseimbangan mereka terasa gontai. Maka pada kesempatan itulah Jenderal Hongli berteriak nyaring, tumbuhnya melenting ke udara sembari mengirimkan serentetan pukulan jarak jauh berupa berupa ribuan larik cahaya merah laksana ribuan tombak cahaya yang sangat panas, langsung menghujam ke setiap tubuh pendekar uji tanpa mampu dihindari. Seluruh pendekar uji yang tak beruntung itu pun pada bertumbangan. Jeritan pilu kesakitan terdengar ramai memekakkan telinga, membuat alun-alun terasa bergetar sesaat, lalu hening.