Senin pagi. Rumah yang kemarin ditempati oleh pengantin baru itu tampak sunyi. Sebab Andine dan Andra tengah sibuk di kamar mereka masing-masing, sama-sama sedang bersiap untuk berangkat bekerja hari ini.
Di dapur, asisten rumah tangga yang kemarin baru saja datang tampak sibuk menyiapkan sarapan. Di atas meja makan, terhidang beberapa menu makanan untuk disantap, terlihat menggoda selera.
Tak berselang lama, sosok wanita yang mengenakan pakaian rapi lengkap dengan heels hitam di kaki, muncul dari balik pintu kamar dan kini sedang berjalan menuju lantai bawah. Andine tampak mempesona dengan penampilan khas pekerja kantoran, sesekali ekor matanya melirik ke arah kamar Andra--suaminya--yang masih tertutup rapat.
"Bibi masak apa?" tanya Andine setibanya di ruang makan.
"Eh, Nona udah bangun," sapa wanita paruh baya itu, "Saya masak nasi goreng cumi, Non. Sama ... ayam rica-rica juga buat bekal, Nona dan, Tuan." Lastri, perempuan berkulit kuning langsat itu tersenyum sambil mengangguk hormat.
Andine mengangguk-angguk, tanpa basa-basi lagi ia segera mengempaskan duduk di salah satu kursi. Bergegas meraih sebuah piring lalu diisi oleh nasi putih, beserta beberapa lauk yang tersaji.
"Saya nggak terlalu suka nasi goreng, Bi. Jadi saya mau sarapan pakai nasi putih dan ayamnya saja," ujar Andine, tanpa sekali pun menoleh ke arah Lastri.
Wanita bertubuh agak pendek itu hanya mengangguk-angguk, sambil menyiapkan pekerjaannya ia melirik ke arah anak-anak tangga. Mencari sosok sang tuan.
"Eng ... Tuan Andra nggak ikut sarapan, Non?" Lastri bertanya.
Gerakan tangan Andine yang hendak menyendokkan nasi kemudian terhenti, wanita itu terdiam sejenak di atas kursi yang ia duduki.
"Eng ... ya sudah, Non, bibi permisi ke dapur dulu." Merasa bersalah atas pertanyaan yang dilontarkannya, Lastri bergegas pamit. Melihat sikap Andine yang tak langsung menjawab dan malah melamun di tempat duduknya, asisten rumah tangga yang masih baru itu benar-benar merasa tak enak hati.
"Mana aku tahu dia mau sarapan atau nggak? Aku nggak peduli!" gumam Andine dengan raut wajah datar tanpa ekspresi. Namun, apa yang terlontar di mulut sama sekali tak sama dengan yang ada di hati. Sejak tadi, hatinya bahkan sudah diliputi banyak tanya mengenai sosok suaminya.
Mengapa pria itu tak kunjung turun dari kamarnya?
Sarapan Andine jadi terganggu, awalnya ia tak mau tahu. Namun, karena sudah beberapa menit menunggu dan Andra juga tak kunjung turun, gadis itu akhirnya memutuskan untuk menyusul Andra di kamarnya.
Setibanya di depan kamar Andra, Andine yang hendak mengetuk pintu tiba-tiba tersadar akan satu hal. Wanita itu teringat akan aturan yang dibuat oleh suaminya, bahwa di antara mereka tak boleh ada yang mengganggu urusan masing-masing.
Andine menghela napas pendek, ia tak mau dianggap sebagai pengusik. Namun, gadis itu juga tidak mau jika sang suami sampai terlambat berangkat ke kantor. Apalagi posisi Andra sebagai CEO sangatlah penting.
Gadis itu memantapkan niatnya, ia kembali mengangkat satu tangan untuk mengetuk pintu di hadapannya. Namun, nahas. Benda itu tiba-tiba bergerak dengan cepat begitu saja. Sehingga sekarang, sosok Andra sudah ada di hadapan Andine dengan wajah kebingungan.
"Kamu? Ngapain di sini?" Andra langsung bertanya dengan nada tak suka.
Andine yang merasa syok lantas berbalik begitu saja, ia berjalan cepat meninggalkan Andra di belakang.
"Eh, eh! Ditanya kok malah kabur." Andra mengejar sang istri yang sudah berjalan lebih dulu.
"Andine!" panggil Andra.
"Andine!"
"Apa sih?!" Gadis itu sontak berbalik hingga membuat Andra hampir saja menabraknya.
"Kamu ini, sengaja ya ngerem mendadak?"
"Ya lagian berisik banget!"
"'Kan aku tanya, kamu ngapain di depan pintu kamar aku? Kok malah langsung kabur? Nggak sopan banget!"
Andine terdiam, di hadapan sang suami wanita itu membeku. Hanya bola matanya yang bergerak liar dengan isi pikiran yang berantakan. Sedangkan Andra, pria itu tengah memicingkan mata mengamati gerak-gerik istrinya.
"I-itu, tadi aku mau manggil kamu. Tapi nggak jadi, kamu udah keburu keluar." Akhirnya gadis itu menjawab jujur.
Andra mengernyitkan dahi, "Mau ngapain emang?"
"Mau ... mau ...." Andine memejamkan mata sesaat, "Emang penting banget buat dijawab?" Gadis itu melotot tajam. "Udahlah! Aku udah telat ke kantor!"
Andine berbalik dengan cepat, ia menyambar kotak bekal yang sudah disediakan Lastri di atas meja. Wanita itu buru-buru pergi meninggalkan Andra yang tengah mengamatinya dengan tatapan tak mengerti.
"Tunggu!" Kaki Andine lantas berhenti melangkah.
"Berangkatnya bareng sama aku."
***
Mobil melaju di atas jalan raya yang padat, Andine duduk di samping Andra yang sedang sibuk mengendalikan kemudi.
"Jangan ge-er ya, ini cuma formalitas. Supaya orang-orang nggak mikir macem-macem kenapa kamu berangkatnya malah naik taksi, padahal udah punya suami." Andra bicara dengan tatapan penuh ke depan jalanan.
Andine mendengkus, "Pencitraan," gumamnya.
"Apa?"
"Nggak!"
Andra melirik ke sisi kirinya, pria itu menggelengkan kepala melihat sang istri yang sedang melipat tangan sambil membuang wajah ke luar jendela.
"Besok-besok kamu naik mobil sendiri aja, kalau perlu cari supir supaya bisa anter jemput kamu. Toh kantor kita nggak sama, jadi itu bisa jadi alesan kenapa kita berangkatnya nggak barengan." Andra kembali membuka percakapan.
"Ya ... terserah kamu, Mas." Andine merespon dengan malas.
Andra mencengkram kuat stir mobil, giginya sudah gemeretak menahan kesal melihat sikap istrinya. Namun, pria itu tak mau marah-marah sekarang, ia ingin segera sampai kantor setelah sebelumnya mengantarkan Andine ke kantor tempat ia bekerja.
Tak berselang lama, mobil Andra akhirnya berhenti depan gedung kantor bertingkat tempat Andine bekerja selama ini.
Gadis bertubuh langsing itu segera membuka pintu mobil. Namun, sebelum ia benar-benar turun, Andra memanggilnya hingga Andine menoleh.
"Jangan pasang muka cemberut kaya gitu, tunjukkin sama orang-orang kalau kamu bahagia menikah sama aku. Paham?" Andra menatap tajam ke arah istrinya.
Andine mendengkus, kemudian tersenyum lebar. "Oke, Tuan Andra yang terhormat. Sebisa mungkin saya akan menjaga nama baik, Anda di luar sana. Puas?"
Andra, dengan ekspresi yang masih sama hanya tersenyum miring, kemudian mengangguk penuh kepuasan.
"Bye!" Gadis itu melangkah keluar dan segera menutup pintu mobil. Tak berselang lama kendaraan roda empat tersebut akhirnya kembali melaju.
Andine menyebrang dengan perasaan kalut, hatinya benar-benar ingin memberontak. Namun, ia tak ingin menyerah dengan mudah begitu saja.
Gadis itu melangkah dengan elegan memasuki gedung kantor, tak lupa ia mengangkat dagu sambil tersenyum ramah pada siapa saja yang menyapa. Mendapat jabatan sebagai sekretaris di Kantara Group, tentu saja membuat Andine mendapat penghormatan dan sanjungan.
"Pernikahan ini memang menyakitkan, tapi aku tidak akan menyerah. Aku adalah Andine, si Ambisius yang akan merasa tertantang jika kau terus mengancam." Andin menggumam lirih sambil terus berjalan melewati lorong kantor yang sunyi dan dingin
Bersambung.