Sophia merasa kaget ketika melihat sosok Erick Thomas menghampiri dirinya seusai kelas berakhir. Pemuda yang menjadi ketua asrama tersebut ternyata telah beberapa lama menunggu keluarnya Sophia dari dalam ruangan. Dengan senyuman lebar, Erick menghampiri Sophia yang berjalan bersama Bianca.
"Sophia, apakah kita bisa bicara sebentar!" sapa Erick kepada Sophia. Gadis itu segera menoleh ke arah Bianca yang sedang menatapnya.
"Pergilah!" jawab Bianca sambil menganggukkan kepala.
Sophia pun bergegas mengikuti Erick berjalan ke sebuah bangku di depan kelas. Dari sana, keduanya bisa melihat pemandangan hutan yang terhampar sejauh mata memandang. Sementara Bianca bergegas meninggalkan keduanya meski sesekali pandangannya terarah pada Sophia yang sedang berbincang dengan Erick.
"Apa yang terjadi? Mengapa ketua asrama menemui Sophia?" tanya Andrew Davidson yang tiba-tiba berjalan di samping Bianca. Gadis berambut panjang itu hanya menggeleng dan memberikan senyuman manis kepada salah satu rekan sekelasnya. Andrew terlihat tidak menyukai kedekatan diantara Sophia dan Erick.
"Ada apa kakak menemuiku?" tanya Sophia dengan lembut.
Erick menatap wajah Sophia yang tenang dan membuat pemuda tersebut merasa bahagia. Entah mengapa sejak pertemuan pertama, Erick tidak bisa melupakan wajah cantik Sophia.
"Aku datang untuk memberikan surat sidang pelanggaran yang harus kamu datangi nanti malam," ujar Erick sembari menyerahkan sebuah surat berukuran 10 centimeter yang berwarna hitam. Sophia menerimanya dan langsung membaca tulisan di dalamnya.
"Ini adalah surat persidangan. Apakah benar Helen dan teman-temannya akan mendapatkan sebuah hukuman?" tanya Sophia penasaran. Sorot matanya memancarkan kecemasan mengenai keadaan rekan sekelasnya yang selama ini selalu menjaili dirinya. Kebaikan Sophia tercermin jelas di balik tatapannya.
"Mereka pasti akan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran yang mereka lakukan. Salah satu peraturan yang tertulis di sekolah adalah melarang adanya tindakan pembulian dan kupikir Helen sudah mengetahui hal tersebut," jelas Erick dengan suara merdunya. Kakak kelas yang satu ini kerap dibicarakan para gadis karena ketampanan dan kelembutan tutur sapanya.
"Apakah sidangnya bisa dibatalkan? Aku merasa cemas dan tidak tega melihat temanku dihukum," pinta Sophia. Dia tidak mau semakin menderita akibat kemarahan Helen setelah mendapatkan hukuman. Dia yakin gadis seperti Helen akan membalas dendam kepadanya berkali lipat banyaknya.
"Kamu aneh!" kata Erick dengan manatap lekat Sophia. Pemuda itu seakan hendak menyelami apa yang berada di dalam pikiran gadis yang berada di sampingnya tersebut.
"Dia sudah menganiaya dirimu dan kamu mmeinta pembatalan sidang? Apakah Helen melakukan tindakan pengancaman atau semacamnya padamu?" tanya Erick yang seakan mengetahui apa yang dirasakan oleh Sophia. Gadis itu tertegun dan menahan napas sesaat karena takut Erick akan semakin membaca isi hatinya.
"Bukan seperti itu," sanggah Sophia terbata.
"Maksudku tidak ada pengancaman atau tindakan seperti itu. Aku hanya tidak mau masalah menjadi semakin panjang dan berlarut-larut. Aku sudah memaafkan tindakan Helen dan tidak menyimpan amarah padanya," imbuh Sophia.
Erick masih menatap lekat wajah Sophia dan membuat gadis itu merasa salah tingkah. Dia mengalihkan pandangan dari Erick.
"Aku tidak mungkin membatalkan persidangan dan kuharap kamu mengerti aturan yang berlaku di sekolah. Aku bisa merasakan kelembutan hatimu tetapi untuk masalah Helen, dia tidak akan berubah hanya karena sikap lembutmu. Harus ada hukuman yang membuatnya merasa jera," ungkap Erick.
Sophia merasa harapannya pupus. Dia tidak mungkin membatalkan hukuman untuk Helen dan kedua temannya. Dia harus bersiap menerima pembalasan dari keduanya.
"Mereka pasti malu," gumam Sophia lirih. Gadis itu tidak menyadari bahwa ucapannya mampu didengar oleh Erick.
"Tidak akan. Persidangan hanya dihadiri ketua asrama, guru dan beberapa siswa saja. Kamu tidak perlu mencemaskan hal tersebut," sahut Erick yang membuat Sophia malu. Rupanya pemuda itu mendengar gumaman yang keluar dari mulutnya.
"Maaf, aku tidak tahu," ucap Sophia canggung.
"Tidak masalah. Aku harus segera bersiap menghadiri sidang. Kamu juga harus hadir tepat waktu ya," pamit Erick sebelum berlalu meninggalkan Sophia. Gadis itu terus menatap kepergian Erick seakan ada sesuatu dari tubuh pemuda itu yang membuatnya enggan memalingkan wajah.
"Pemuda yang baik," gumam Sophia.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrgggggggggggggg," suara teriakan dari arah huta mengejutkan Sophia. Gadis itu bisa merasakan adanya hawa ketakutan dan kematian yang berasal dari arah hutan di hadapannya. Dia segera bangkit dan menajamkan indera pendengarannya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
"suara itu begitu jelas," gumam Sophia panik.
Sophia merasa takut kalau ada sesuatu yang buruk sedang menimpa seseorang disana. Jarak diantara hutan dan sekolah sangat jauh sehingga mustahil para guru bisa tiba disana tepat pada waktunya.
"Mengapa tidak ada yang bertindak dan menolong?" gumam Sophia dengan gelisah. Gadis itu menoleh ke segala arah untuk menemukan sosok guru yang mungkin akan segera bergegas ke dalam hutan namun tidak ada siapapun yang melewatinya.
"Ada apa dengan semua orang? Mengapa mereka tidak segera bertindak setelah mendengar suara sekeras itu. Kasihan seseorang yang sedang dalam masalah disana," gumam Sophia. Dia terus memandangi arah hutan.
Tiba-tiba Sophia teringat pada Mr Anthony dan segera bergegas untuk mencarinya. Guru sejarah tersebut pasti bisa menolongnya. Sophia berlari secepat mungkin supaya bisa mengatakan apa yang sedang dirasakannya.
Sophia terlalu kencang berlari hingga tanpa sadar telah menabrak seseorang yang sedang berjalan. Dia terjatuh dan pantatnya membentur lantai dengan keras. Gadis itu meringis kesakitan.
"Apakah kamu baik saja?" tanya seorang lelaki paruh baya dengan senyum manisnya. Sophia mengenali wajah itu, dia merupakan kepala sekolah.
"Pak Kepala sekolah," sapa Sophia lirih. Gadis itu membulatkan kedua matanya karena kaget.
Kepala Sekolah mengulurkan tangan untuk menolong Sophia.
"Mengapa kamu berlari sepanjang koridor? Apakah ada sesuatu yang mendesak?" tanya Kepala sekolah.
Sophia menggeleng sambil membersihkan gaunnya yang kotor karena debu.
"Aku hanya sedang terburu-buru untuk menemui Mr Anthony," jawab Sophia dengan sopan. Kepala sekolah merasa aneh dengan tindakan Sophia.
"Memangnya ada keperluan apa sampai kamu hendak menemui Mr Anthony sekarang? Setahuku dia sedang mengambil ijin selama beberapa hari," jelas kepala sekolah.
Sophia kaget ketika mendengar Mr Anthony tidak berada di tempat. Dia harus bertemu dengan guru tersebut.
"Kalau ada yang bisa kubantu, akan kulakukan dengan senang hati," tawar kepala sekolah.
Sophia hendak berkata namun diurungkannya niat tersebut. Dia tidak mau dianggap terlalu ikut campur dan sok tahu mengenai urusan sekolah.
"Mengapa kamu diam? Adakah sesuatu yang kamu pikirkan?" ulang kepala sekolah.
"Bukan sesuatu yang serius kok. Saya bisa menemui Mr Anthony pada kesempatan lain," ucap Sophia.
Kepala sekolah terdiam sejenak sebelum kembali tersenyum.
"Baiklah kalau memang itu keputusanmu. Aku tidak akan memaksa," simpul kepala sekolah.
Sophia tersenyum senang karena berhasil menenangkan kecemasan kepala sekolah. Dia tidak akan sembarangan berkata selama di sekolah. Dia memutuskan untuk menunggu kedatangan Mr Anthony.
"Saya permisi," pamit Sophia kepada kepala sekolah. Dia segera berbalik dan berjalan menuju ke arah asrama untuk berganti pakaian. Dia harus segera bersiap menghadiri persidangan.
"Semoga ada penolongnya," ucap Sophia lirih sambil berjalan. Dia tidak akan membahas mengenai suara tersebut karena hal tersebut riskan dibicarakan di dalam lingkungan sekolah.