webnovel

Kecil

Mentari sedang bersembunyi di balik awan hitam. Langit pun menangis sepanjang sore itu. Hujan itu menari-nari di atas genting, mengantarkan senandung rindu yang mengingatkanku akan dirinya.

Tetapi khayalanku pun mulai buyar akibat dari suara langkah kaki yang muncul tiba-tiba. Sepertinya, orang yang kunantikan akhirnya telah tiba.

Pada saat itu, Steven sedang mengenakan blangkon hitam, beserta dengan pakaian adat jawa yang lengkap dari atasan sampai bawahan. Semua itu dipinjamkan oleh Putra, selaku paranormal yang asli.

Kami duduk di lantai yang beralaskan karpet, di depan kami juga ada sebuah meja yang dipenuhi dengan alat-alat ritual beserta keris yang bisa berdiri dengan tegak. Aku pun berbisik pelan kepada Steven yang sedang berada di sampingku.

"Tiga... Dua... Satu... Action." bisikku menirukan gaya sutradara film.

Pintu kamar pun perlahan mulai terbuka, menampakkan figur Dipa,Yudha dan Bagas yang sedang diarahkan oleh Putra untuk masuk ke dalam kamar.

"Permisi mbah, ini ada tamu yang mau berobat." ucap Putra dengan nada yang sopan.

"Iya... silakan masuk." balas Steven dengan suara yang serak.

Sebenarnya, mendengar suaranya itu saja hampir membuatku melepas tawa. Aku pun spontan berusaha sebisa mungkin mengatur pernafasanku agar bisa lebih tenang.

Sedangkan di sisi lain, Bagas, Dipa dan Yudha masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang berhati-hati. Sampai akhirnya, mereka pun berdiri persis dihadapan kami berdua.

Ekspresi Dipa dan Yudha tampak heran dan kurang percaya saat sedang memandang Steven, sebab jika dilihat dari tampang saja, Steven memang masih tampak sangat muda. Tidak seperti dukun-dukun tua yang sudah ubanan, seperti yang ada dibayangan mereka.

Jika kuperhatikan lebih dekat, Dipa dan Yudha tampak sangat kurus dibandingkan saat terakhir kali kami bertemu di club. Wajahnya juga lesu dan pucat, kantung matanya pun sudah tampak menghitam. Bisa dibilang, penampilan mereka tampak sangat acak-acakan saat itu.

"Kalian bawa rombongan ya kesini?" tanya Steven dengan mata yang membelalak, berusaha untuk tampak segarang mungkin. Sepertinya dia sangat mendalami karakter saat menjadi seorang dukun.

"Kami cuma bertiga aja kok mbah." jawab Bagas.

"Hahahaha..." Steven tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan dari Bagas.

Dipa dan Yudha pun tampak heran dan takut saat menatap Steven yang sedang tertawa histeris, bagaikan orang gila.

Steven berhenti tertawa, muncul senyuman menyeringai yang terpapar di wajahnya, lalu dia pun berkata, "Di depan rumah ini, udah ada ratusan jin yang lagi nyariin kalian."

Dipa dan Yudha langsung tampak panik setelah mendengar ucapan Steven. Mereka tak bisa menyembunyikan ketakutan dan kegelisahan yang muncul dari tubuh dan wajah mereka.

"Duduk." perintah Steven sambil memejamkan kedua matanya.

Bagas, Dipa dan Yudha pun langsung menuruti perkataannya dengan cepat. Mereka langsung mengambil posisi duduk bersila di karpet, masih dengan raut wajah yang penuh kegelisahan.

"Mbah, saya minta tolong banget, tolong usirin setan-setan yang gangguin saya mbah." ucap Dipa dengan raut wajah memelas.

"Memangnya kamu tau, penyebab kenapa mereka sampai gangguin kamu?" tanya Steven dengan raut wajah yang serius.

"Nggak mbah..." jawab Dipa dengan raut wajah dan nada suara yang ragu-ragu.

"Kamu mau tetap bohong atau perlu saya saja yang ucapin penyebabnya?" ancam Steven.

"Hmmmmm...." Dipa hanya bergumam pelan, tak berani membalas ucapan dari Steven.

"Ada yang ga senang sama kita mbah, kemarin dia sempat ngancam kita berdua." ucap Yudha membantu Dipa yang sedang tak bisa berkata-kata.

"Yakin cuma itu saja?" tanya Steven dengan senyuman yang penuh arti.

Yudha tampak bingung, lalu perlahan dia menjawab, "Iya mbah, setau saya cuma dia saja."

"Hahahaha..." Steven lalu tertawa terbahak-bahak lagi. Aku yang ada disampingnya pun kagum melihat aktingnya yang tampak natural.

Tiba-tiba bunyi lonceng muncul dari arah pintu masuk rumah Putra.

"Mereka mau nerobos masuk buat nyariin kalian tuh." ucap Steven dengan senyuman menyeringainya.

Dipa dan Yudha pun tatap-tatapan satu sama lainnya. Mereka tampak sangat ketakutan, sampai-sampai sekujur badan mereka gemetaran.

"Tolong mbah... kita udah ga kuat digangguin terus." ucap Dipa sambil memohon-mohon.

"Iya mbah... tolongin kita mbah..." timpal Yudha dengan suara yang lesu.

"Dari penglihatan saya, yang menyerang dan ngirimin kalian jin itu bukan cuma satu orang aja, tapi ada lima orang." ucap Steven sambil mengernyitkan dahi dan memejamkan kedua matanya.

"Kok bisa mbah?" tanya Dipa yang semakin ketakutan.

"Kok malah nanya saya, tanya yang ngirimin lah, kenapa main keroyokan." jawab Steven dengan nada yang kesal.

"Iya... maaf mbah..." ucap Dipa sambil menundukkan wajahnya.

"Kalian punya banyak musuh juga ya." sarkas Steven, "Tapi tidak akan ada api, jika tidak ada asap." ucap Steven dengan percaya dirinya.

Aku langsung spontan berbisik pelan ditelinganya, "Kebalik bego."

"Ehemm... Ehem..." Steven berdeham dengan canggung, "Tapi... tidak akan ada asap jika tidak ada api." lanjutnya dengan ekspresi datar.

"Kalian pasti berbuat salah sama banyak orang." ucap Steven sambil menatap mereka dengan tajam.

"...." Dipa dan Yudha hanya bisa diam, tak merespon ucapan dari Steven sama sekali.

"Kalian mau ngaku atau tidak?" tanya Steven dengan ekspresi dan suara yang datar.

Sementara itu, Dipa dan Yudha masih tetap bersikeras untuk menutup mulut. Sepertinya mereka masih merasa ragu dan takut untuk mengungkapkannya.

Tiba-tiba Steven mengambil belati yang sedang dipajang di belakangnya, lalu menancapkannya di meja kayu yang berada didepan kami.

"Saya tidak mau mempertaruhkan nyawa saya, untuk orang-orang yang tidak tulus." ucap Steven dengan sinis.

Dipa dan Yudha pun semakin panik dan gelisah sambil menatap satu sama lainnya.

"Kalian boleh keluar sekarang." ucap Steven datar sambil memalingkan wajahnya.

Melihat sikap Steven yang acuh tak acuh, mereka pun akhirnya mau mengakuinya.

"Kami bersetubuh sama adiknya yang mengancam kami mbah." ucap Dipa sambil menundukkan wajahnya.

Tapi Steven tidak puas dengan jawaban mereka, "Cuma satu itu aja?" tanya Steven sambil menatap mereka secara berganti-gantian.

Dipa dan Yudha mengangguk pelan, berusaha untuk menipu Steven.

"Coba bohong lagi... biar tak kepruk ndasmu!" bentak Steven sambil mengangkat sendalnya.

Aku berusaha sebisa mungkin untuk menahan tawaku, sebab ucapan Steven barusan tak ada logat jawa-jawanya sama sekali.

"Maaf mbah..." ucap Dipa dan Yudha sambil menundukkan kepalanya.

"Saya kasih kesempatan terakhir, kalau masih tidak mau jujur, kalian keluar saja dari sini." balas Steven dengan tegas.

"Ada beberapa cewek mbah..." ucap Yudha dengan ragu-ragu.

"Yang kalian ancam dan perkosa ya?" tanya Steven sambil tersenyum menyeringai.

Dipa dan Yudha saling bertatapan, dari ekspresi wajahnya, mereka sepertinya tak menyangka Steven akan berbicara secara blak-blakan seperti itu. Akhirnya mereka pun mengangguk pasrah ke arah Steven.

"Iya atau tidak!" bentak Steven.

"I...iya...mbah..." ucap Dipa dan Yudha terbata-bata.

"Untungnya itu bukan anak saya... kalau itu anak saya, kalian mungkin udah mati tanpa ninggalin jejak." ucap Steven sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tapi karena kalian udah mau jujur, saya bakal bantu kalian." lanjut Steven.

"Makasih banyak mbah... makasih..." balas Dipa dan Yudha sambil tersenyum lega.

"Tapi ada syaratnya..." potong Steven tiba-tiba.

Dipa dan Yudha pun langsung terdiam. Senyuman di wajah mereka pun menghilang, yang ada hanyalah pandangan was-was saat menatap Steven.

"Syaratnya apa ya mbah?" tanya Bagas dengan sopan, berusaha untuk menengahi.

Steven hanya tersenyum sambil menggesek-gesekkan ibu jari dan telunjuknya di hadapan mereka, sebagai tanda untuk meminta bayaran uang.

"Siap mbah, pasti saya siapkan." ucap Dipa dengan wajah yang gembira.

Steven tersenyum lebar, lalu melirikku seakan-akan meminta respon persetujuan. Aku pun mengangguk, yang berarti sudah waktunya untuk bergerak ke tahap rencana selanjutnya.

"Di samping saya ini adalah asisten yang akan membantu kalian." ucap Steven sambil mengarahkan telapak tangannya kepadaku.

Dipa dan Yudha menatapku dengan tatapan yang penuh penasaran. Soalnya saat itu aku sedang mengenakan jubah, masker, dan kacamata serba hitam yang hanya menampakkan kedua mataku saja. Mereka juga sepertinya heran, mengapa aku hanya diam sejak tadi.

Melihat respon mereka, Steven pun berkata, "Asisten saya itu orangnya pendiam, dia pernah kecelakaan dulunya. Makanya sekarang dia pake masker, buat nutupin setengah bagian bawah wajahnya yang ada luka bakar." jelas Steven dengan gaya yang meyakinkan.

Aku pun langsung melambaikan kedua tanganku untuk memanggil mereka berdua supaya mendekat.

Dipa dan Yudha pun perlahan mendekatkan wajahnya kearahku.

Tanpa basa-basi, aku langsung membuka kaca mata hitamku secara tiba-tiba.

"Setan!" teriak Dipa ketakutan.

Sedangkan Yudha sampai-sampai menghempaskan badannya ke belakang, saking kaget dan ketakutan saat melihat kedua bola mataku yang seluruhnya memutih.

"Ga sia-sia gw beli kontak lensa dari toko online." ucapku dalam hati.

Steven pun tertawa melihat respon dari mereka, "Maaf, asisten saya emang suka bercanda." ucapnya sambil mengusap-usap dagunya.

Aku langsung memakai kembali kaca mata hitamku.

"Sekarang, waktunya kalian ritual pembersihan." ucap Steven sambil memberi kode kepadaku lewat tatapan matanya.

Aku perlahan berdiri dan melangkah keluar dari ruangan. Disana aku melihat Putra yang masih standby di dekat pintu. Dia pun langsung bertanya kepadaku, "Berhasil gak?" ucapnya penasaran.

"Sejauh ini aman-aman aja, sekarang gw mau lanjut ke tahap berikutnya." balasku tersenyum.

Aku dan Putra langsung bergegas pergi ke bagian belakang rumahnya yang cukup luas dan kosong. Di tengah sana sudah disediakan ember besar yang sudah penuh dengan air berisikan kembang bunga.

Sesudah memastikan semuanya siap, aku dan Putra kembali ke ruangan dimana Steven sedang berada.

"Sudah disiapkan semua mbah." ucap Putra sambil sungkem.

Ekspresi wajah Dipa dan Yudha pun tampak bingung dan bertanya-tanya akan apa maksud yang kami bicarakan.

"Kalian bertiga, sekarang ikuti saya." perintah Steven.

Setelah sampai di bagian belakang rumah Putra. Steven menyuruh mereka bertiga berdiri didepan ember besar yang berada ditengah-tengah ruangan.

"Tutup mata kalian." ucap Steven dengan tegas.

Dipa dan Yudha pun menuruti perintah dari Steven tanpa banyak tanya. Sepertinya mereka sudah sudah jera akan ancaman bertubi-tubi yang telah diluncurkan oleh Steven. Sedangkan Bagas masih tetap akting sesuai skenario yang telah kami susun sebelumnya.

"Lepas semua pakaian kalian." lanjut Steven dengan nada yang santai.

Dipa dan Yudha pun spontan membuka kedua matanya, lalu menatap Steven dengan was-was dan mata yang membelalak.

"Kenapa harus lepas pakaian mbah?" tanya Dipa dengan penuh curiga.

"Emangnya kamu gak telanjang kalau mandi?" tanya Steven balik.

"Ta..tapi kan ini beda cerita mbah..." balas Yudha dengan raut wajah yang enggan untuk menuruti perkataan Steven.

"Beda apanya? Emangnya yang mau dibersihin itu baju kamu atau badan kamu sebenarnya?" tanya Steven dengan kesal.

"...." Dipa, Yudha dan Bagas pun perlahan membuka baju atasan mereka. Tetapi setelah membuka atasan, mereka terdiam dan tampak enggan untuk membuka bawahan mereka.

"Ayo Cepat! Matanya juga ditutup!" bentak Steven, "Lagian semua yang disini juga laki-laki kok, apa yang mau dimaluin coba?" ucap Steven sambil menatap mereka dengan tajam.

Dipa dan Yudha pun dengan terpaksa melepaskan celananya dengan tangan yang gemetaran. Hingga beberapa saat kemudian, mereka hanya mengenakan celana dalam yang menutupi alat vital mereka. Sedangkan Bagas hanya ikut melepaskan baju saja lalu menatap kami sambil tersenyum dengan puas.

Melihat mereka yang ragu-ragu untuk melepaskan sehelai celana dalam yang tersisa, Steven pun berkata,"Kok malu sih... apa jangan-jangan, anu kalian kecil ya, hahahaha." ucap Steven sambil tertawa terbahak-bahak.

Dipa dan Yudha pun akhirnya membuka celana dalam mereka. Hingga menampakkan sekujur tubuh mereka yang sedang dalam keadaan telanjang bulat.

Steven menatap mereka dengan bengong, lalu bergumam pelan.

"Beneran kecil ternyata."

Bersambung...

Próximo capítulo