webnovel

32. Information Bearer : Hawthorn's best attorney

Hari kedua ujian.

Genta mendadak diam. Melihat perawakan tubuh Rumi yang berdiri di sisi gerbang keluar sekolahan. Tak ada alasan gadis itu untuk tetap tinggal, tujuannya datang hari ini hanya menyelesaikan ujiannya. Mengerjakan semuanya sekuat tenaga sebisanya.

Genta menghampiri gadis itu. Menepuk ringan pundaknya. Membuat Rumi menoleh. Menatapnya.

"Wajah lo ...." Genta menunjuk. Tepat di sisi bibir Rumi, lebam ada di sana. "Ada yang terjadi? Ada masalah?" tanyanya. Ibu jari dan telunjuknya mengapit dagu lancip milik Rumi. "Seperti bekas pukulan. Seseorang memukul lo?" Sekarang ekspresi wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Memandangi Rumi tak mau henti.

"Rumi ...." Genta mengapit dagunya kala Rumi berusaha untuk memalingkan wajahnya. Menyembunyikan luka yang selalu mendapat tanda tanya dari orang lain. Dani baru saja memberikan pertanyaan yang sama.

"Seseorang memukul kamu?"

Rumi menatap Genta. Dia tak pernah melihat Genta sepeduli ini pada orang. Sebelumnya, Genta adalah mantan ketua OSIS yang hanya peduli pada kelanjutan organisasi dan nasib nilainya saja.

"Gue tadi ...." Rumi membuka celah bibirnya. Akankah Genta percaya dengan alasan yang dia lontarkan pada Dani juga? Ah, sial. Rumi tak mungkin berbicara terus terang pasal apa yang terjadi kemarin malam. Superhero datang menolongnya? Tidak. Genta pasti menggunakan logika ketimbang perasannya. "Gue kena bola yang datang dari arah samping. Lo tahu bukan, kalau gue selalu lewat lapangan bola kalau pulang sekolah?"

Genta diam, mengerutkan keningnya.

"Maksud gue, bolanya ditendang dan gak sengaja kena di sini," ujarnya lagi. Sembari menunjuk lukanya. Sekuat tenaga ingin membuat Genta percaya pada omong kosong itu. Berharap tak ada lagi yang mempermasalahkan itu.

"Udah lo obati?" tanya Genta pada akhirnya. Jujur saja, Rumi lega bukan main. Genta tak bertanya ini itu lagi. Dia bahkan dengan mudahnya percaya akan hal itu.

Rumi menggelengkan kepalanya ringan. Tersenyum kikuk. "Hanya luka kecil," ucapnya menyanggah kekhawatiran Genta. "Besok juga sembuh."

Genta menarik tangannya secara tiba-tiba. Tanpa aba-aba, membawa Rumi pergi dari sisi gebang sekolah.

"Ada apotik di ujung jalan dekat halte nanti, lo tunggu di taman sisi halte. Gue yang beli salep lukanya." Genta menjelaskan tujuannya membawa Nata. Tak peduli bagaimana respon gadis itu, mau menolak atau tidak, Genta tetap membawanya. Mempererat genggaman jari jemarinya di atas pergelangan tangan Rumi, seakan tak mau gadis itu lepas dan menghilang.

"Genta," panggil Rumi. Namun, remaja jangkung itu tak acuh. Terus membawanya menyusuri trotoar jalanan. Sekali lagi, dia tak peduli dengan penolakan macam apapun. "Gue benar-benar gak ....." Ucapannya terhenti kala Rumi melewati mobil yang terparkir di sisi jalan. Mewah dan elegan, khas miliknya orang kaya. Dia tahu itu punya siapa. Plat nomornya Rumi hapalkan dengan baik. Mr. Tonny mengawasi, benar-benar mengawasi. Seperti yang dikatakan oleh pria itu kemarin.

Rumi diam, ingatannya dibawa kembali pada kenangan kemarin malam. Katanya, Mr. Tonny akan pergi. Sekarang, dia tak tahu, pria itu masih di Indonesia atau tidak.

Genta tiba-tiba menghentikan langkah kaki. Membuat Rumi menoleh padanya selepas fokus pada mobil mewah yang dia lalui tadi. Siapapun yang ada di dalam mobil, Rumi tak yakin Mr. Tonny ada di sana.

"Lo tunggu di sana. Gue mau menyebrang dan pergi ke apotik." Genta menyela lamunan Rumi. "Rumi," panggilnya. "Kenapa tiba-tiba melamun?" tanyanya.

Rumi menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa." Gadis itu tersenyum tipis. "Ngomong-ngomong, gue gak apa-apa. Serius. Lukanya hanya goresan kecil. Besok juga sembuh. Lo gak perlu repot-repot."

Genta berdecak. "Jangan keras kepala, oke? Tunggu gue di sana." Genta mengusap puncak kepala Rumi, seperti biasanya. Gadis itu selalu saja terkejut meskipun itu sekarang menjadi sebuah kebiasaan. Genta terlalu dekat dengannya. Seakan menjadi tokoh baik selepas Gilang membanting harapan dan mematahkan hatinya.

Rumi hanya bisa diam. Memandang kepergian Genta yang sudah menyebrang jalan. Tak ada pilihan selain mengindahkan itu. Dia harus menurut. Toh juga, Rumi tak punya pilihan lain.

Gadis itu berjalan ringan, masuk ke dalam area taman, memilih tempat duduk yang teduh. Berada di bawah pohon mangga besar dengan kursi kayu panjang berwarna putih.

"Nona Rumi." Baru juga Rumi meletakkan pantatnya di atas kursi, seseorang sudah datang dan mengacaukan ketenangan.

"Mr. Pitter?" Rumi mengerutkan keningnya. Kuasa hukum Black Wolf datang menemuinya. Seakan ada hal yang penting yang ingin dibicarakan.

"Boleh aku duduk?" tanyanya.

Rumi diam, menatap ke sembarang jalan. Apotik sedikit ramai, Genta harus mengantri sejenak.

"Tak akan lama, jangan khawatirkan temanmu." Dia tersenyum. Tanpa menunggu perijinan, Mr. Pitter duduk di sisinya. Sedikit bercelah.

"Aku akan pergi pada poin pembicaraan, aku tidak akan berbasa-basi." Dia mengambil sebuah map cokelat dari dalam tas jinjing. Memberikan itu pada Rumi. "Ambillah, ini milikmu, Nona."

Rumi mengerutkan keningnya. Bergeming. Menatap itu dengan was-was. Pasti amplop itu datangnya dari Black Wolf atau Hawtorn.

"Ambilah, Nona." Dia memaksa. Memberikan itu di atas pangkuan Rumi.

"Apa ini?" Singkat gadis itu membuka mulut.

"Identitas barumu setelah kau pergi dari Indonesia."

Rumi mengerutkan keningnya. Tak mengerti. Kenapa dia butuh identitas baru?

"Aku akan menjelaskan lebih ketika kita bertemu nanti, Nona. Kau pilih aku datang ke rumahmu atau kau yang menghampiriku ke rumah?"

"Kenapa aku butuh identitas baru?" tanya Rumi. Masih kokoh dalam pertanyaannya.

"Di dalam sana ada nomor ponselku dan kontak yang bisa kau hubungi, Nona. Datanglah atau putuskan aku yang datang padamu. Aku memberikan pelayanan terbaik untuk calon istri Mr. Tonny Ayres sejak dulu." Pria itu tersenyum manis. "Aku akan pergi, Nona."

"Kau hanya datang untuk ini?" Rumi mengerutkan keningnya lagi.

Pria itu mengangguk. "Aku mengira kau tak suka jika kita berbicara banyak dan temanmu mendengar semua ini."

Rumi diam, anggukan kepala samar menyetujuinya.

"Kalau begitu, aku permisi, Nona." Dia bangkit, membungkukkan badannya. Berlalu pergi selepas Rumi tersenyum tipis padanya.

... To be continued ....

Próximo capítulo