webnovel

Sebuah Kutukan

"Apa?" Sekali lagi Erick menyebutkan satu kata yang sama.

Seakan-akan ingin memperjelas apa yang baru masuk ke dalam indera pendengarannya tersebut.

"Apa aku tidak salah dengar hal itu? Bagaimana kamu bisa memiliki kekasih seperti ini?" Menghunuskan jari telunjuk tepat pada wajah Putri Azaela. "Bahkan dia belum bisa di sebut sebagai wanita yang sesungguhnya," tandas Erick sambil menjelajahi gadis yang kini berada di samping Daniel.

Kini bola mata Putri Azaela yang semakin melebar, mendengar perkataan Erick tersebut. Bagaimana mungkin pria itu menuduhnya dengan kata-kata kasar, yang menunjukkan bahwa dia bukan seorang gadis asli.

Bola mata milik Erick, segera menjelajahi Putri Azaela dari ujung kaki sampai ujung rambut, yang kali ini sedang terurai. Tidak bisa dipungkiri, jika Erick harus mengakui bukan hanya tingkah laku Jessie yang berbeda, namun penampilan yang dia miliki juga tampak berbeda dari biasanya.

Seorang Jessie ketika bertemu dengan Erick, maka tampangnya akan berubah menjadi sedikit menyeramkan, ditambah dengan kata sombong dan ketus, yang selalu melekat pada diri gadis tersebut. Dan semua orang sudah mengetahui hal itu. Kebanyakan dari mereka tidak ingin terlalu dekat, apalagi membuat masalah dengan senior karate bernama Jessie tersebut.

Jessie yang Erick kenal adalah gadis yang tidak pernah takut pada siapapun juga. Selalu keras kepala pada pendiriannya sendiri. Selama itu menurutnya adalah hal yang benar, sehingga tidak ada satupun yang berani mengganggu gugat.

Walaupun Jessie adalah seorang gadis yang menyebalkan, entah kenapa jika hal tersebut yang menjadi daya tariknya di mata Erick. Pria itu selalu, mencari alasan untuk membuat gadis itu marah kepada dirinya, menyukai jika terjadi keributan di antara mereka berdua.

Bagi Erick itu adalah sebuah tantangan yang sangat menyenangkan, untuk mengganggu kehidupan gadis yang bernama Jessie tersebut.

Akan tetapi, hal itu sekarang telah berubah. Di mana Erick menyadari jika ada yang salah satu Jessie. Gadis itu seperti bukan Jessie yang dia kenal sebelumnya. Terlihat sama saja seperti gadis pada umumnya, tanpa ada satu simbol yang menjadi ciri khas yang selama ini dia sukai, yakni amarahnya.

"Apa kamu cemburu?" tanya Daniel masih dengan wajah yang super dingin.

Untuk beberapa saat, mata tajam milik mereka berdua saling beradu, dengan sorot yang tajam. Dan seketika itu pula, rahang Erick terbuka dengan lebar. Memperdengarkan suara tawa yang cukup keras, dan menggema di lorong sekolah tersebut.

"Hei!" Menepuk bahu Rama, yang sedari tadi sedang berdiri di sampingnya. "Apa kamu dengar itu? Cemburu? Ya Tuhan ... Cemburu! Pada gadis ini? Mana mungkin aku cemburu dengan gadis jadi-jadian ini," kelakar Erick sambil terus terbahak-bahak.

"Apa? Jadi-jadia? Kamu sangat keterlaluan! Kami adalah laki-laki paling jahat yang pernah aku temui! Aku harap tidak ada gadis yang menyukaimu!" umpat Putri Azaela dengan nada yang meninggi. "Daniel, ayo kita pergi dari tempat ini. Kita tidak perlu meladeni mereka semua," ucap Putri Azaela.

Memalingkan wajah ke arah lain, untuk menghindari tatapan dari mata berwarna hitam gelap tersebut. Hal yang sama pun di lakukan oleh Daniel. Melangkahkan kaki, meninggalkan Erick yang masih berdiri terpaku.

Bibir Erick seakan-akan membeku, setelah mendapat kalimat yang lebih condong berbentuk sebuah kutukan dari pada pernyataan.

Sedangkan, tiga orang temannya yang lain, justru mentertawakan hal tersebut. Mereka berpikir jika ucapan yang terlontar dari bibir Jessie itu hanya bualan belaka. Mana mungkin seorang bintang seperti Erick, tidak ada gadis yang suka padanya. Justru selama ini, semua wanita dari umur muda sampai tua, dan dari berbagai kalangan mengagungkan nama Erick, sebagai pria sempurna idaman mereka.

"Gadis itu. Apa aku harus membungkam mulut yang sangat kasar itu?" gumam Erick seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.

"Sudahlah! Lagi pula ucapannya tidak akan menjadi kenyataan!" seru Rama kembali memainkan benda pipih yang ada di tangannya.

Erick tidak menggubris ucapannya Rama. Karet matanya masih sibuk memperhatikan Jessie yang semakin menjauh dari pandangan. Dan pada akhirnya menghilangkan di balik tikungan, begitu juga dengan Ice Boy, si Daniel.

****

"Ini kelasmu," ucap Daniel.

Mereka berdua berhenti tepat di depan daun pintu, berwarna cokelat. Terletak paling ujung dari salah satu kelas yang berjejer sepanjang koridor sekolah.

"Terima kasih," lirih Putri Azaela sambil membungkukkan sedikit tubuhnya pada Daniel.

"Tidak perlu sungkan," jawab Daniel sambil memberikan sebuah senyuman yang terasa menyejukkan kembali suasana hati Putri Azaela, yang tadinya menyimpan rasa marah pada pria yang bernama Erick.

Sebelum Daniel melangkahkan kaki untuk menjauh dari tempat itu, sorakan keras sudah terdengar dari dalam kelas. Ternyata semua orang yang berada di kelas tersebut, sedang memperhatikan mereka berdua dari awal kedatangan, sampai saat ini.

Karena kaca yang digunakan pada jendela ruang kelas tersebut, adalah kaca satu arah. Sehingga hanya orang-orang yang berada di dalam kelas bisa melihat ke arah luar. Sedangkan, orang yang berada di luar ruangan tersebut, mengalami hal sebaliknya. Yakni tidak bisa menembuskan pandangan ke dalam ruang kelas.

"Wah! Apa kalian sekarang menjadi pasangan kekasih?" tanya Celine yang langsung menyeruak keluar ruang kelas.

Bukan hanya Celine saja yang keluar. Tapi seluruh siswa dan siswi yang ada di kelas tersebut, dengan cepat keluar dan segera mengelilingi Putri Azaela, yang mereka kira adalah Jessie, dan Daniel yang masih berdiri tidak jauh dari tempat tersebut.

"Apa maksudmu? Bu-bukan seperti itu ...." Putri Azaela menjadi bingung harus menjelaskan apa pada gadis tersebut. "Daniel hanya membantuku untuk kembali ke kelas. Itu saja," ucapannya Putri Azaela menerangkan apa yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua.

"Jessie benar. Baiklah ... aku akan kembali ke ruang kelasku sendiri. Jessie, jaga dirimu. Jangan terluka lagi," ucap Daniel, seraya membalikkan tubuh atletis miliknya untuk menerobos gerombolan yang memadati jalanan.

Setelah mendengar perkataan Daniel tersebut, tak ayal jika sorakan pun kembali terjadi. Walaupun Putri Azaela sudah menjelaskannya berkali-kali. Tampaknya hal itu tidak begitu berpengaruh, karena tetap saja mereka berpikir pasti ada sesuatu yang spesial yang terjadi antara Jessie dan Daniel.

Celine pun segera melingkarkan tangan pada leher sahabatnya tersebut. Mengajak masuk ke dalam ruangan, serta memberitahu tempat duduknya yang tidak pernah tergantikan oleh siapapun itu.

"Kenapa kamu tidak menghubungiku? Jika aku tahu kamu akan kembali ke sekolah hari ini. Pasti akan aku jemput," ucap Celine.

Gadis itu memutar tubuhnya, untuk mengahadap ke arah Jessie yang duduk tepat di belakangnya.

"Tidak apa-apa, Celine. Lagi pula bagaimana mana aku akan meghubungimu, karena aku juga tidak tahu kamu tinggal dimana," ucap Putri Azaela dengan nada yang sangat polos.

Celine memijit keningnya yang tiba-tiba merasa sakit. Melihat ke arah Jessie, yang tampaknya juga telah melupakan benda canggih berbentuk pipih, yang tidak lain adalah ponsel.

Bersambung ....

Próximo capítulo