webnovel

GADIS YANG MENAWAN

Mahendra menatap tanpa kedip pada seorang gadis yang sedang berbincang-bincang bersama Gadis. Wajahnya begitu teduh, dengan senyuman yang menawan dan tubuh yang tinggi langsing. Gadis cantik itu mengenakan baju cheongsam berwarna biru muda, rambutnya hanya di cepol dengan poni yang rapi, matanya sipit, hidung bangir dan bibir yang mungil. Dia benar-benar membuat Mahendra lupa dengan sekitarnya.

Perlahan Mahendra bangkit dan menghampiri kedua gadis itu.

"Gadis, selamat ya. Di mana Xabiru?" tanya Mahendra basa basi.

"Iya, Mas. Terima kasih," jawab Gadis seadanya.

"Kau temannya Gadis?" Mahendra memberanikan diri untuk menyapa si gadis bermata sipit itu.

"Iya, aku teman Gadis."

"Aku Mahendra, kakak Gadis yang pertama," kata Mahendra sambil mengulurkan tangannya.

"Mayleen," jawab si gadis cantik menyambut uluran tangan Mahendra.

Pandangan mata keduanya saling bertemu. Dan, Mahendra merasakan kehangatan yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya. Gadis baru saja akan menegur kakaknya itu, tapi Xabiru tampak melambaikan tangan ke arahnya sehingga ia pun segera menghampiri tunangannya itu.

"Gadis sering bercerita tentang keluarga ayahnya padaku," kata Mayleen. Mahendra mengangkat kedua alisnya.

"Oya? Apa saja yang diceritakan tentang aku?"

"Tidak ada. Gadis hanya mengatakan bahwa kalian semua membuangnya," kata Mayleen sedikit sinis.

Mahendra terdiam, secara tidak langsung memang seperti itu. Dia sendiri bahkan tidak pernah peduli pada kehidupan Gadis dan ibunya selama ini. Tidak ada diantara mereka yang memperhatikan Gadis. Bagaimana ia sekolah, bagaimana ia kuliah. Bagaimana mereka makan, hidup. Sementara ia dan adik-adiknya yang lain bertabur kemewahan dan kesenangan, Gadis dan ibunya harus mengemis setiap bulan untuk meminta uang pada ayah mereka.

Bahkan, yang terakhir kali ketika Gadis datang Hans hanya memberi sedikit saja. Bahkan ketika Gadis mengatakan uang itu kurang dan berteriak mengutarakan isi hatinya, Hans malah memukul dan menyiksa Gadis. Dan, mereka yang melihat hanya bisa diam duduk menonton. Bahkan, ia ingat saat itu dia bahkan masih bisa makan malam dengan nikmatnya. Apakah ia masih pantas disebut manusia. Sementara saat ini ia tau kebenarannya. Bahwa Karina tidak bersalah, ibunya lah yang sudah menjebak dan memfitnah Karina. Sehingga membuat Gadis dan Karina terusir dari rumah.

"Kenapa diam?" tanya Mayleen menyadarkan Mahendra dari lamunan.

"Ti-tidak apa-apa. Ya, aku akui mungkin selama ini kami kurang perhatian pada Gadis dan ibunya."

"Bukan hanya kurang perhatian. Tapi, kalian tidak tau apa-apa. Apa kalian tau saat rumah mereka pernah kebanjiran karena atap bocor di mana-mana? Mungkin, mereka bisa saja pindah ke rumah lain yang lebih layak. Tapi, mereka bertahan karena halaman rumah itu cukup besar. Untuk apa? Terkadang halaman rumah itu dipakai untuk orang-orang yang berjualan di pagi hari, dan Gadis mendapatkan sedikit uang sewa. Apa kalian tau saat Tante Karina sakit dan harus dirawat? Ayah kalian hanya memberi uang yang cukup untuk membeli obat murah. Keluarga kalian itu keterlaluan!"

Mahendra terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap punggung Mayleen yang berjalan menjauh. Setega itukah mereka selama ini? Selama ini yang ia tau adalah ayah mereka selalu memberikan uang pada ibu mereka untuk diberikan pada Gadis. Biasanya Dara yang membawa uang itu pada Gadis, dan jika kemarin Gadis sampai ke rumah itu karena Melinda memang belum menyuruh Dara. Apakah selama ini Melinda yang mengurangi jatah uang Gadis dan Kirana. Tapi, melihat penampilan Kirana kemarin di rumah sakit, Mahendra mulai tau siapa yang culas selama ini.

"Itu sebabnya Tuhan mempertemukan Xabiru dan Gadis. Supaya mereka bisa bersatu dan hidup Gadis bisa lebih baik," gumam Mahendra. Pemuda itu merasa penyesalannya semakin besar.

Sementara itu Mayleen langsung menghampiri Gadis.

"Aku pulang ya, sudah malam. Kau harus bahagia menjelang pernikahanmu minggu depan. Besok aku akan mampir dan menemanimu. Bukankah mulai besok kau tidak boleh kemana-mana?"

"Tapi, malam ini sampai pernikahan aku dan ibu tinggal di hotel ini, May," kata Gadis.

Mayleen membelalakkan matanya, sungguh ia merasa bahagia. Gadis pantas untuk mendapatkan semuanya setelah apa yang ia alami selama ini. "Syukurlah kalau begitu. Aku pikir kau masih harus kembali ke rumah kontrakan itu."

"Tidak ada yang kami bawa dari rumah itu, May. Hanya beberapa potong pakaian yang masih layak. Kemarin Xabiru bilang, ia sudah menyediakan kamar untuk ibu di rumahnya dan juga membelikan ibu pakaian baru. Semua surat penting sudah kami bawa juga. Dan kunci rumah itu sudah di kembalikan pada pemilik rumah."

Mayleen memeluk Gadis dengan erat.

"Kau layak mendapatkan itu semua, sayang."

"Do'akan aku bahagia."

"Selalu. Ya sudah, aku pulang dulu, ya."

Gadis mengangguk dan melambaikan tangan pada Mayleen. Sementara itu, Mahendra yang memang sedang mengawasi langsung bergegas menyusul langkah Mayleen.

"Mayleen, tunggu!"

"Ya, ada apa lagi, Mas?" tanya Mayleen sambil menoleh dan menghentikan langkahnya.

"Kau sudah mau pulang?"

"Iya, hari sudah malam. Tidak baik bukan seorang wanita keluar malam-malam."

"Kau membawa kendaraan? Ehm, maksudku, itu..."

Mayleen memicingkan matanya menatap Mahendra.

"Aku memang bukan gadis kaya, Mas Hendra. Aku tidak memiliki kendaraan sendiri, tapi aku bisa pulang dengan taksi."

Hendra langsung salah tingkah. Ia tau bahwa ia telah salah mengajukan pertanyaan.

"Bukan itu, maksudku jika kau pulang sendiri aku akan mengantarkanmu pulang."

"Terima kasih."

"Agak susah mencari taksi."

"Aku bisa minta tolong resepsionis hotel memesan taksi untukku."

"Ayolah, ini sudah malam. Bagaimana jika supir taksinya hendak berbuat jahat? Sekarang banyak penjahat yang menyamar menjadi supir taksi," bujuk Mahendra.

"Berikan aku satu jawaban yang bisa meyakinkan bahwa aku lebih baik pulang bersama denganmu."

"Karena kau adalah sahabat adikku, jadi aku pikir lebih baik kalau aku yang mengantarkanmu pulang," sahut Mahendra dengan cepat.

Mayleen mengangkat sebelah alis matanya dan tertawa kecil.

"Karena aku sahabat dari adikmu? Lucu sekali, kau bahkan tidak peduli saat ayahmu memukuli Gadis. Dia yang katanya adikmu saja tidak kau pedulikan. Bagaimana dengan aku yang hanya sahabatnya? Lucu sekali. Maaf, tapi aku akan pulang sendiri saja. Lagi pula aku lihat ayah dan adikmu masih ada di dalam. Dan, mereka pasti akan mencari dirimu. Kasian mereka,sudahlah aku duluan, selamat malam."

Mahendra tak berkutik lagi. Perkataan Mayleen terasa begitu tajam menghujam jantung. Pelan tanpa emosi, bahkan diucapkan sambil tersenyum, tapi terasa begitu tajam bagaikan pisau bermata dua.

"Mungkin, untuk mendapatkannya aku harus berusaha lebih keras. Aku benar-benar jatuh cinta," gumam Mahendra sambil menatap kepergian Mayleen. Gadis itu sungguh sudah membuatnya tergila-gila dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Próximo capítulo