Apalagi setiap melewati tempat-tempat yang sering kudatangi dengan Neti di sekolah ini, kenangan demi kenangan itu membuat dadaku terasa sesak, dan ngilu sekali. Namun, aku berusaha untuk menenangkan seisi dadaku. "Dia bukan milikku lagi," tetapi rasanya sangat menggetirkan.
Namun bagaimanapun juga Aku harus tetap menyadari. Bahwa sesuatu yang bukan milikku, tidak seharusnya membuatku tetap merasa memiliki dan menuntut hal-hal yang sama seperti sebelum ia tidak lagi menjadi milikku.
"Yogi, ke pantai, yuk!" ajak Doli saat aku sampai di tempat mereka. Saat ini hari sudah cukup sore. Mereka berdua sengaja menungguku yang sedang berusaha memantapkan hati untuk memulai menulis.
Panjul sudah memulai tulisannya lebih dulu dan sudah sampai tahap penulisan tahap akhir. Santi, sudah mau pelatihan sidang. Aku baru memulai hari ini. Doli? Dia paling parah. Dia bahkan belum memikirkan untuk membuat tulisan atau tidak. Sekolahnya pun lebih berantakan dariku. Lagi pula, kalaupun dia gagal jadi artis seperti keinginannya, dia masih bisa meneruskan usaha orangtuanya. Ya, dia tidak bodoh, hanya saja temanku yang satu itu agak pemalas.
Kami berjalan kaki menuju Taman Indah yang berada di kawasan belakang sekolah. Hanya butuh beberapa menit dengan berjalan kaki. Selain nongkrong warung sarapan lontong Bude Meri, kalau sedang jenuh, kami berempat juga suka menghabiskan waktu di taman indah saat sore hari. Karena hanya itu hiburan murah yang bisa kami nikmati bersama. Lagi pula, Santi suka dengan taman-taman yang indah, sementara aku dan Panjul tidak. Doli suka suasana taman yang ramai dengan gadis-gadis cantik yang bisa dia goda.
Hamparan bunga-bunga, pohon-pohon rindang, dan rumput-rumput taman yang hijau luas terpampang di hadapan kami. Aku dan yang lainnya duduk di bangku yang disediakan pemilik warung dekat taman indah. Kami memesan minuman dingin untuk melepas dahaga. Beberapa orang terlihat lalu-lalang di jalan-jalan taman, dan ada anak-anak kecilpun yang sedang bermain penuh gembira. Meski udara masih terasa agak panas, sepertinya mereka tidak begitu peduli.
"Kamu yakin mau menyambung kuliah di kota padang, Santi?" Panjul mulai menanyakan hal yang sebenarnya tidak perlu ia tanyakan.
"Yakinlah." Santi menjawab mantap. Dia memang cerdas, lagi pula dia sudah memasang target lulus dengan nilai tinggi sejak kali pertama kami sekolah. Aku masih ingat, waktu itu dia menantang kami bertiga untuk menyelesaikan sekolah dengan mendapat nilai tinggi. Dan, tidak ada satu orang pun di antara kami yang berani menerima tantangan Santi.
"Kamu nggak takut bakal kangen kami?"
"Panjul," ucap Santi. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Ada perasaan yang tiba-tiba tumpah di sana. Dia tidak sanggup menjawab pertanyaan Panjul. "Aku pasti akan merindukan kalian. Namun, ada saatnya kita memang harus memperjuangkan impian kita masing-masing. Meski nanti kita tidak tinggal satu kota lagi, kita akan tetap menjadi sahabat yang saling menguatkan," ucapnya lirih. "Aku ingin bekerja dulu di Jakarta, mungkin nanti aku akan mengejar beasiswa untuk bisa kuliah sampai S2." tutup Santi.
Aku mengusap bahu Santi. "Kami juga akan merindukanmu, Santi." Selama ini, hanya kamilah laki-laki yang dekat dengan Santi secara nyata. Sementara Bambang, lelaki yang disukainya, lelaki itu yang ada di hatinya. Namun, aku sendiri tidak mengenal Bambang, begitu pun Doli dan Panjul. Kami hanya mendengar cerita tentang lelaki itu saja. Aku pun cukup sedih melihat Santi yang tidak bisa melupakan lelaki itu dan tidak pernah berani pula menyatakan perasaannya.
Aku rasa, aku akan sedih kehilangan Santi. Bagaimanapun, Santi adalah satu2nya teman perempuan yang terlalu berjasa bagiku. Dia adalah orang yang membantuku menyakinkan Neti. Bahkan sampai menjadi orang yang sering menjadi tempat aku mencurhatkan isi hati jika ada masalah dengan Neti. Bagiku, Santi bukanlah sahabat biasa, dia perempuan yang kadang lebih cerewet daripada ibuku. Bahkan juga kepada Panjul dan Doli. Dia adalah perempuan yang selalu mengingatkan kami perihal target. Tujuan dan apa yang harus kami lakukan dalam menjalani kegiatan di sekolah.
Jujur saja, kalaulah bukan karena tidak sering diomeli si Santi, mungkin setiap mata pelajaranku yang gagal di sekolah akan lebih banyak dari yang sekarang.
Seperti Doli, misalnya, meski sering diomeli Santi, dia tetap saja berkepala badak. Tidak peduli secerewet apa pun gadis itu, dia selalu mengiakan, tetapi hampir tidak pernah melaksanakan sarannya.
"Tunggu bentar, ya! Jangan ke mana-mana." Doli memberi aba-aba sebelum melangkah meninggalkan tempat duduk kami.
Di taman indah dekat kampus ini, ada satu tempat yang selalu menjadi tempat kesukaanku dan tiga sahabatku itu. Tidak ada namanya, hanya warung nasi yang terbuat dari bambu. Bangunan sederhana, tetapi menarik karena ada tempat duduk dari bambu yang mengarah ke taman. Kelebihannya, makanan yang dijual di sana rasanya enak dan harganya tidak begitu mahal. Cukuplah untuk kantong para siswa seperti kami. Dan, sepanjang hari, lagu-lagu Melayu bahkan lagu Minang terbaru akan menggema di sana.
"Ya ampun, ini anak kapan insafnya, sih?!" Santi menggerutu melihat Doli berniat melancarkan aksinya terhadap dua gadis yang berjalan di dekat taman. Gadis-gadis (sepertinya para siswi di bawah tingkat kami (adek kelas)) yang memakai celana pendek itu sedang menikmati jalan santainya yang berselfi manis. Mereka terlihat ceria sekali. Lalu Doli datang menghampiri mereka dan langsung melakukan trik pelumpuhnya kepada dua orang gadis cantik itu.
Kami hanya geleng-geleng kepala menyambut Doli yang beberapa menit kemudian kembali duduk di sebalah kami. Dengan wajah bangga, dia berkata, "Kau lihat kan, Yogi? Cewek itu sangat mudah buat didapatin. Jadi, nggak usahlah kau ingat juga si Neti." Bunga tidak setangkai kawan.
Harusnya, dia tidak menyebut nama Neti. Dengan dia menyebut nama itu, sebenarnya dia sedang membuatku jadi teringat kembali. Dan, itu sangat menyebalkan sekali.
"Lagian, siapa juga yang ingat Neti." Aku tersenyum kucut.
"Balik, yuk! Udah bosan nih." Santi berdiri, yang berarti kami pun harus berdiri. Begitulah kalau jalan berempat. Aku dan yang lainnya mau tidak mau harus mengikuti kemauan si Santi. Memang untuk beberapa keputusan dalam persahabatan kami, Santi-lah yang menjadi pencetus idenya, lebih tepatnya pewujud ide yang ada. Selain itu, dia juga yang punya banyak andil dalam pengerjaan tugas sekolah kami—apalagi Doli, dia selalu menyontek tugas Santi. Doli punya trik tersendiri dalam pengerjaan tugas, membuat jawaban dengan nomor acak. Dengan alasan, mengerjakan yang lebih mudah dulu, begitulah alibinya bila guru bertanya.
Selamatlah ia selama ini. Itu sudah menjadi ciri khas tugas Doli dan sudah dimaklumi semua guru. Hebatnya, tidak ada satu pun yang menyadari bahwa tugas Doli... Begitulah Doli, dia licik. Mungkin karena itu, dia jago dalam menaklukkan hati perempuan.