Satu hari sebelum Festival Polaris resmi dimulai.
Ruas-ruas jalan ibukota Huntara, Wynteria dipenuhi oleh orang-orang yang sedang mempersiapkan lapak dagang masing-masing.
Mereka yang bukan pedagang berjalan-jalan dengan sahabat maupun keluarga, melihat kesibukan kota. Menyaksikan para pedagang yang telah mulai mempromosikan barang-barang dagangan mereka.
Di alun-alun kota, pihak kerajaan telah membangun sebuah panggung besar untuk pertunjukan musik dan teater, khususnya teater yang mengisahkan kepahlawanan Jasper Polaris saat dia melawan invasi para iblis dari Abyss.
Kebahagiaan terlukis di wajah setiap orang seantero kota. Mereka tertawa, mengobrol, bermain dan menyusun rencana untuk kegiatan Festival Polaris esok harinya.
Kebahagiaan yang bagi beberapa orang penting merupakan selimut yang menutupi konflik besar yang sedang mengancam Kerajaan Huntara saat ini. Mereka petinggi kerajaan tahu benar keresahan yang diakibatkan oleh penguasa Blackwinter, namun saat ini publik belum tahu kalau kota tersebut telah membelot dari kerajaan.
Beruntung bagi para petinggi kerajaan, karena Festival Polaris bisa mengalihkan isu ini. Pikiran warga mereka, khususnya yang berada di ibukota akan terdistraksi dari konflik yang ada saat ini. Hal ini akan memberikan waktu bagi pihak kerajaan untuk menyelesaikan masalah secepat yang mereka bisa, sebelum nantinya kepanikan akan terjadi bila para warga tahu akan kelakuan Blackwinter.
Di tengah-tengah konflik tersembunyi dan aura kebahagiaan ibukota inilah, seorang lelaki paruh baya berambut putih panjang, yang mengenakan setelan dan jubah serba hitam. Berjalan di ruas jalan dengan menggendong sebuah peti kayu besar di punggungnya.
Peti kayu tersebut tampak seperti sebuah peti mati, membuat banyak mata melirik ke pria yang membawanya. Mereka berbisik dan mulai bergosip akan identitas pria tersebut, bahkan ada beberapa yang pergi untuk melaporkan sang pria mencurigakan ke pengawal kota.
Namun, jauh dari yang mereka kira, ketika seorang pengawal menanyakan akan peti mati tersebut. Pria tersebut memberitahu kalau isinya adalah barang-barang yang akan dijualnya sewaktu festival berjalan.
Mendengar penjelasan ini, para pengawal dan mereka yang mendengarnya seraya memasang muka kosong.
Ini pertama kalinya mereka melihat seorang pedagang yang memasukkan barang dagangannya ke sebuah peti mati. Biasanya para saudagar akan membawa barang dagang mereka memakai karavan, bila pedagang kecil, biasanya mereka memakai gerobak kayu atau karung dari kain.
Sungguh mereka tidak tahu apa yang ada dipikiran lelaki di depan mereka, yang berani memakai peti mati sebagai tas. Apa dia tidak takut kualat?
Lelaki itu sendiri, Cien, hanya bisa menangis di dalam hatinya. Karena dia sendiri tidak punya cara lain untuk membawa barang dagangannya. Di tokonya, dia tidak punya cukup kain untuk membuat karung kain. Kayu adalah hal yang berlimpah yang dimilikinya saat ini.
Cien hanya bisa melepaskan nafas panjang. Hari pertama dia keluar dari Death Valley, ternyata malah dipenuhi oleh seribu tatap curiga dari masyarakat. Dia hanya bisa meratapi nasibnya.
Sebelum para pengawal yang menanyainya pergi, Cien bertanya kepada mereka tentang pendaftaran pedagang untuk mengikuti pasar terbuka. Salah satu pengawal menawarkan diri menuntun jalan ke gedung admistrasi kerajaan.
Di sana, Cien mengantri bersama pedagang lainnya, untuk mendaftar. Dan sama seperti sebelumnya, banyak tatapan penuh curiga dan tanya ketika orang di sekitarnya melihat dirinya.
'Goddamnit! Sudah kuduga memakai peti kayu ini bukanlah ide yang bagus!'
***
Di tempat lain, di sebuah kota yang berbatasan dengan Kerajaan Westya. Kota Lasia, kota yang berada di barat daya Kerajaan Farnodt.
Segerombolan kereta kencana dan karavan, dengan simbol dari Kerajaan Westya dan Kota Ethyria, terparkir di salah satu kediaman besar yang berada di pusat kota.
Di dalam kediaman terdapat puluhan tentara dari Ethyria yang datang dengan maksud untuk menginvestigasi isu akan kerja sama antara Huntara dan Abyss. Kerajaan Farnodt, walaupun sudah menutup perbatasan mereka, tetap tidak bisa menolak kedatangan rombongan delegasi dari Westya.
Bagaimana pun juga, Westya merupakan kerajaan yang jauh lebih besar dari Farnodt. Mereka tidak mau menambah musuh, karena saat ini sudah berada dalam situasi yang menegangkan dengan Huntara. Jadi, petinggi Kerajaan Farnodt, hanya bisa mengigit jari, dan mempersilahkan para delegasi tersebut melakukan investigasi di tanah mereka.
Namun, ada hal yang tidak diketahui orang-orang Farnodt. Dari puluhan tentara tersebut, terdapat belasan orang yang ternyata adalah rombongan Putri Sravati dari kerajaan musuh mereka, Huntara.
Satu minggu sebelumnya, sewaktu Duke Grenhal menerima permintaan dari Sravati. Dia menyuruh Kolonel Kataleya untuk mempersiapkan penyelundupan dan juga tim investigasi.
Bagi Grenhal yang merupakan penguasa dari kota yang berbatasan dengan Abyss. Rumor kerja sama antara manusia dan iblis tidak bisa dipandang setengah mata. Bila itu benar adanya, dia takut kalau di kotanya saat ini juga sudah ada pengkhianat yang menyusup.
Sekarang di kediaman telah berkumpul pasukan Ethyria dan rombongan Huntara dengan Kolonel Kateleya memimpin pembicaraan di sebuah meja besar yang ada di ruang makan.
Hanya Kataleya dan Sravati yang duduk sedangkan yang lainnya berdiri di sekeliling, sembari melaporkan setiap informasi yang mereka dapatkan dari warga Kota Lasia.
Hari ini merupakan hari ketiga mereka telah menetap di Lasia. Kataleya tidak berniat untuk melaju ke kota selanjutnya, karena keberadaan Sravati di dalam rombongannya agak menyusahkan. Dia harus melihat seberapa ketat penjagaan di setiap kota sebelum mulai melaju lebih jauh.
Namun, baru saja mereka tiba di kota pertama. Perjalanan mereka sudah mengalami kebuntuan.
Dari laporan bawahannya, Kataleya tahu kalau penjagaan di kota-kota selain Lasia sangat ketat. Bukan saja penjagaan, tapi di kota-kota sana pun sudah mulai menangkap orang-orang dari Huntara yang berada di wilayah mereka.
Mau itu pedagang, atau mereka yang pindah ke Farnodt karena menikah, tanpa terkecuali semua orang dari Huntara ditangkap oleh tentara kerajaan. Sampai saat ini tidak ada yang tahu akan nasib mereka, tapi yang pasti nasib itu bukanlah sesuatu yang baik.
Putri Sravati yang mendengarkan ini pun semerta geram, dia mengepalkan tangannya dengan sangat keras sehingga kuku-kukunya mulai berbekas di telapan tangan.
"Apa salah mereka? Apa salah Huntara? Kami bukan pengkhianat bangsa manusia! Blackwinter!"
"Saya mengerti perasaan anda, Tuan Putri, tapi tenangkan diri anda sejenak. Sebaiknya kita pikirkan langkah kita saat ini. Kalau kita terus melaju sesuai rencana, kemungkinan identitas Tuan Putri Sravati terkuak akan semakin besar. Bila itu terjadi, bukan Huntara saja yang akan kesulitan, tapi Westya juga, karena kami telah menyelundupkan anda kemari."
Jelas Kolonel Kataleya dengan nada yang tegas, namun terdapat rasa hangat dari perkataannya. Sravati mengerti apa yang diinginkan oleh Kataleya, melaju ke Huntara saat ini tidaklah mungkin. Lebih baik bersembunyi dulu di Westya sampai konflik mereda.
Tapi…
'Kapan konflik ini akan mereda?!'
Perlakuan pemerintah Farnodt bagi rakyatnya yang ada di sini saja sudah melebihi batas. Sravati tidak yakin kalau kedua kerajaan akan saling merangkul tangan dalam waktu dekat. Yang berarti jalannya untuk kembali pulang pun telah tertutup dalam waktu yang belum bisa dipastikan.
Bahkan hati kecil Sravati takut kalau konflik ini akan terjadi selamanya, setidaknya sampai satu dari dua kerajaan hilang dari muka Kastia.
Sravati menunduk dengan wajah gelisah.
"Apa tidak ada jalan lain?" tanyanya lirih.
"Ada. Tapi saya tidak tahu apakah itu adalah ide yang bagus," jawab Kataleya.
Sravati tertegun sejenak, dan mengerti apa yang dimaksud sang colonel.
"Abyss, dan Death Valley..."
"Ya, hanya ada dua jalan itu. Jalan yang lebih dekat menuju kematian daripada tanah kelahiranmu."