"Nggak ada yang namanya ikhlas. Semua hanya terpaksa dan menjadi terbiasa."
***
Dari bilik keheningan malam nan sunyi. Cahaya mobil bergerak menembus kegelapan, membawa perasaan gundah dan tegang. Perasaan yang dirasakan Jennie saat ini ketika mengantarkan Meira pulang. Hanya itu, tapi dibalik alasan sebenarnya adalah Iqbal yang menyuruhnya. Seseorang yang Jennie takuti sekarang. Bagaimana tidak, kejadian mengerikan malam ini tidak akan Jennie lupakan seumur hidup. Kejadian di mana teman-temannya tewas secara mengenaskan.
Jennie menggenggam erat setir mobil. Keringat mengalir jatuh ke bawah. Jennie tidak sadar dirinya gerah. Semua tertutupi oleh perasaan cemas yang mendalam. Di dalam mobil, pandangannya masih menatap depan sesekali melihat ke arah spion belakang. Melihat Meira yang tak kunjung sadar. Dalam benaknya ia berpikir apa yang harus dilakukan? Membawa ke rumahnya? Ahh nggak. Jennie tidak siap dengan segala pertanyaan yang akan dilontarkan orang tua Meira. Dia tidak bisa berpikir. Otaknya dibuat pusing hanya karena mengantarkan Meira dalam kondisi pingsan.
"Kaparat." Celetuk Jennie tidak sengaja tangannya menekan klakson mobil. Suasana semakin tidak karuan. Perasaan menyebalkan, Jennie menyesal mengapa ia harus ikut acara asrama itu. Kalau saja ia berani beralasan ada keperluan mendesak. Dia sekarang tidak akan terjebak di situasi brengsek ini. Kendati berpikir demikian, Jennie tidak melakukan hal tersebut. Saat di caffe, dia merasa tidak enak kepada teman-teman. Acara lima tahun hanya untuk satu malam berkumpul, baginya adalah kesempatan bagus kembali berjumpa riang teman-teman SMA.
Andai Jennie mengetahui semua ini akan terjadi. Tidak hanya Jennie, mungkin teman-temannya yang tewas juga berpikir demikian.
Jennie menggeleng-gelengkan kepala. Sibuk dengan pikirannya tidak menjawab persoalan apa yang harus ia lakukan sekarang.
Tiba-tiba terbesit jawaban.
"Rumah sakit." Kata Jennie. "Iya rumah sakit." Jennie menemukan jawabannya. Di rumah sakit, ia akan membuat alibi Meira jatuh pingsan saat setelah acara selesai. Meira terlihat kurang enak badan saat acara belangsung. Akhirnya Jennie disuruh mengantar ke rumah sakit.
Iya, ide yang bagus. Batin Jennie. Orang tua Meira pasti percaya omongannya. Ia yakin semua akan baik-baik saja. Setelah itu, Jennie akan mengabari Iqbal kalau Meira di rumah sakit, dia berjanji tidak akan melapor polisi, dia akan tutup mulut. Setelah aman, gue bakal pindah keluar kota. Menjauh sejauh-jauhnya.
Begitulah pikir Jennie.
Dia berusaha tenang. Menyetir mobil dengan persaan lebih baik. Dia beruntung semua akan baik-baik saja. Menyadari bahwa dia masih hidup adalah sebuah keajaiban bagi dirinya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Mobil berhenti di depan pintu utama rumah sakit. Jennie keluar dari mobil dan menghampiri meja resepsionis. Dengan wajah dibuat panik Jennie berkata. "Mbak. Tolong, teman saya pingsan."
Resepsionis perempuan itu terkejut. Menengok ke belakang Jennie, ke arah mobil Jennie. Wajahnya berusaha membaca situasi. Tangan kanannya yang masih sibuk memegang telpon berpindah tangan kirinya menulis sesuatu di kertas. "Temannya di mobil kan?"
Jennie mengangguk.
Resepsionis bergerak secara professional. Dia menyuruh petugas medis yang tengah asik ngobrol dengan temannya untuk segera membantu Jennie mengangkat Meira. Pandangan resepsionis tersebut berusaha melayani sebaik mungkin. Situasi tak terduga tiba-tiba datang membuatnya berpikir cepat melakukan pertolongan.
"Iya baik. Terima kasih." Tutup telpon resepsionis. Dia mengambil secarik kertas registrasi. Seorang petugas medis datang menghampiri. "Mbak bisa pandu, nanti dibantu angkat sama masnya. Setelah itu datang ke sini lagi untuk pendaftaran." Kata resepsionis tersebut.
Jennie bergegas keluar dan membuka pintu mobil. Petugas tersebut cekatan dan langsung membopong Meira masuk ke dalam. Bersamaan dengan itu, seorang dokter yang bertugas ikut masuk ke ruangan tempat Meira terbaring. Jennie tidak bisa masuk ke dalam. Dia terpaksa menunggu di luar.
Jennie melihat jam di ponselnya. Berjalan ke meja resepsionis. Mulai melakukan pendaftaran.
Setelahnya. Jennie hendak menghubungi orang tua Meira. Masalahnya satu, dia tidak tahu nomor telpon orang tuanya. Damn. Begitu sadar hal ini. Dia mondar-mandir memikirkan cara bagaimana menghubunginya. Apa ia harus mendatangi rumah Meira? Agak jauh dari sini. Itu akan memakan waktu, lagian Jennie sendiri sudah lupa-lupa ingat jalan menuju rumah Meira. Terakhir kali ia datang berkunjung saat setelah wisuda. Itupun hanya untuk mengembalikan kamera milik Meira. Jennie menggigit jari. Masih bingung harus bagaimana. Apa ia terlebih dahulu menghubungi Iqbal? ah tidak-tidak. Itu nanti. Batin Jennie membuat alasan. Padahal ia hanya takut.
Bagai jalan yang buntu, ada saja keberuntungan datang menghampiri. Dari ruang instalasi keluar petugas tadi membawa ponsel milik Meira. Dia menghampiri Jennie dan menyerahkannya.
"Ahh syukurlah. Terima kasih banyak mas." Jennie bernapas lega.
Panggilan tidak diangkat.
Jennie mencoba lagi. Berharap cepat ada yang mengangkatnya.
Tit! "Halo." Jawab seseorang dari telpon. Suaranya sedikit berat.
"Ah- halo om. Saya Jennie-"
***
Rayyan melemparkan korek api kepadaku. Aku menangkapnya dengan hati-hati. Rayyan mengeluh badannya bau minyak tanah. Membawa tiga botol besar berisi minyak tanah, aku dan Rayyan menyirami kawasan asrama secara merata. Terutama gudang dan ruangan mayat Andi dan Citra. Aku berencana membakar seluruh kawasan ini agar bukti-bukti lenyap bersama kobaran api. Ini akan menyulitkan polisi mengidentifikasi penyebab kekacauan. Melihat dengan mudahnya ditemukan mayat bergelimpangan di mana-mana. Ini adalah cara sempurna untuk menyabotase suatu tragedi.
"Sudah semua sebelah sana?" tanyaku memperhatikan bekas noda di baju Rayyan.
Rayyan menyeka keringat. "Dah."
"Dulu area ini terkenal angker, eh habis ini malah tambah angker lagi."
"Maksud lo?" tanyaku.
"Nggak, nggak. Lupain. Cuma cerita lama."
Vivi menunggu di depan gerbang sambil memandangi kami berdua. Setelah menyalakan korek api, api dengan cepat menyebar melahap seisi ruangan. Kayu yang berserakan dan daun kering menjadi makanan bagi si jago merah. Begitu kobaran apinya semakin besar dan panas, kami menyingkir dari sana.
Vivi mengeluarkan kunci gerbang. Tugas sudah selesai. Kami akan segera pergi.
Aku memperhatikan wajah Vivi. Ia masih mengenakan topeng kulit Haniyah. "Kenapa nggak dilepas topengnya?" tanyaku.
Vivi tidak menjawab. Diam sibuk membuka gerbang.
Kami pergi menggunakan mobil Rayyan. Di belakang, aku dan Vivi tidak berbicara sama sekali. Sedikit aneh, kenapa dia tiba-tiba begini. Padahal sebelumnya semua baik-baik saja. Seharusnya dia merasa senang sekarang. Dari sorot matanya yang sayu aku paham, aku sudah membuatnya melalui hari yang berat. Hari yang berat untuk seorang adik kecilku.
Yah nggak masalah. Lagian dia punya Rayyan di sisinya. Batinku memberi jawaban.
"Bang." Kata Vivi akhirnya buka suara.
Rayyan yang tengah menyetir di depan melihat ke arah kaca.
"Apa?" tanyaku.
"Ayah Ibu senang nggak ya kita ngelakuin ini?"
Ah. Benar juga.
Pertanyaan seperti itu terus menerus membuat perasaanku tidak nyaman setahun terakhir. Kali ini, pertanyaan itu kembali kudengar dari mulut adikku.
Ekspresiku berubah. Tubuhku merespon dengan bersandar ke belakang. Tiba-tiba udara di dalam mobil berubah dingin; menyisakan bunyi mobil yang melaju di jalanan.
"Ayah ibu pasti pengen yang terbaik buat kita." Aku menatap mata Vivi. Pelan dan penuh arti. "Dan yang terbaik menurut kita adalah ini." bibirku bergetar. Ah sial, kenapa aku harus mengatakan ini. Setelah semuanya berakhir. Setelah kematian Andi. Harusnya ini takdir terbaik menurut kami.
Vivi melepas topeng kulitnya. Topeng kulit yang semula halus kini terlihat retak di berberapa bagian. Wajahnya hampir mirip Haniyah, sentuhan topeng kulit membuatnya lebih sempurna mirip Haniyah. Jujur saja, sebelumnya aku masih mengira Haniyah duduk di sampingku. Nyatanya, mayat Haniyah tergeletak jatuh dari gedung asrama.
Vivi mendekat dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Ada jeda sedetik menenangkan suasana. Dia tampak kelelahan. "Semua udah selesai Vi. Nggak perlu dipikir lagi." Kata Rayyan.
"Iya, makasih."
"Kita akan mulai hidup baru."
Vivi tersenyum mendengar perkataan kekasihnya tersebut. Hidup baru di mana segala amarah dendam tiada lagi. Tidak ada lagi malam-malam kan dilewati tanpa rasa gundah di hati. Sebentar lagi semua akan tenang, karena penyebab kekesalan dan rasa benci sudah hilang dari muka bumi untuk selamanya."Makasih udah selalu ada. Makasih udah nemanin sejauh ini." kata Vivi.
Rayyan tertawa.
"Apa yang lucu?"
"Kamu kok tiba-tiba romantis gitu. Aku dengernya cringe tau nggak."
Pffttt!! Aku refleks menahan tawa. "Ihhh abang kok ikut-ikutan." Vivi menjewer telingaku berberapa kali.
"Aduh." Elakku.
"Kamu juga." Vivi juga menjewer telinga Rayyan sedikit lebih keras. Kepala Rayyan bahkan ikut ketarik. "Aih aih ampun. Ampun sayang. Ini lagi nyetir."
"Biarin."
Vivi baru mau melepaskan setelah tangan Rayyan memeganginya
"Padahal aku nggak ngelucu lho." Bela Rayyan.
"Eh eh. Elo ketawa ye," kataku.
"Kampret. Aih telingaku jadi merah kan." Kata Rayyan memegangi telinganya. "Apa? Mau di tambah?" tanya Vivi merespon. "Nggak nggak. Demi tuhan enggak."
Aku tersenyum lebar. Semua kembali baik-baik saja.
Dzztt dzzttt!!
Ponselku tiba-tiba bergetar. Oh, rupanya sudah dapat signal. Aku melihat siapa yang menghubungiku.
"Jennie."
Pesan dari Jennie.
---10/5/2021 Ming 03.12---
-Gue udah nganterin Meira ke rumah sakit. Syukurlah nggak
ada masalah serius, cuman luka dan kelelahan. Gue juga udah
menghubungi orang tuangnya, mereka sebentar lagi akan sampai.
Gue janji akan tutup mulut. Nggak akan lapor polisi. Please,
biarin gue hidup Bal.
-Baik, terima kasih Jen
--------------------------------
"Siapa?" tanya Vivi melirik.
"Nggak. Bukan siapa-siapa." Jawabku buru-buru mematikan layar ponsel. Sebisa mungkin Vivi tidak boleh tahu ada yang sengaja kubiarkan hidup. Aku yang akan mengurus Jennie. Tapi tidak sekarang.
"Kamu nanti pulang ke rumah sama Rayyan ya. Aku ada urusan di rumah sakit." Kataku sembari memberikan kunci rumah.
"Yan. Bisa mampir ke rumah sakit dulu?"
"Bisa."
"Sip."
"Di belakang ada pakaian ganti. Bisa lo pake."
Ah iya benar. Aku tidak bisa menemui Meira dengan pakaian kotor ini. "Thanks."
***
Aku terbangun dari tidurku setelah merasakan tubuh bagian atas digoyang berberapa kali. Membuatku terpaksa membuka mata perlahan. Senyap-senyap napak kilauan cahaya menerpa pandanganku. Masih belum sepenuhnya sadar, hanya merasakan sensasi hangat di tangan. Seperti tangan seseorang yang menggenggam tangaku. Setelah sadar ternyata tangan itu adalah tangan Meira. Tangannya terasa berbeda.
"Ah. Kamu udah sadar." Kataku berkedip-kedip. Masih setengah sadar.
Meira duduk bersandar sambil tersenyum. Dahinya diperban, telapak tangannya juga demikian. Melihat dari wajahnya yang sumringai, ia sepertinya sudah lama siuman.
Aku melihat jam di dinding. Pukul 11 siang.
Kemarin aku tiba di rumah sakit pukul 4. Saat tiba aku disambut Papa Meira di ruang rawat inap. Meira sudah dipindahkan ke kamar. Papa Meira terlihat cemas. Dia tidak datang dengan istrinya, sepertinya sudah terlalu larut memberitahu sang istri di tengah tidur nyenyaknya. Kami bersalaman dan aku meminta maaf tidak bersamanya saat acara reuni. Papa Meira mengerti, dia diberitahu kalau Meira pingsan saat acara tersebut. Katanya Meira kurang sehat.
Aku bingung, siapa yang memberitahu alasan tersebut? saat mengingat pesan singkat Jennie, aku baru tersadar. Rupanya ia yang memberi alasan. Kabar baiknya, tentang acara bermain di asrama sepertinya Jennie tidak memberitahunya. Aku lega. Dia anjing yang penurut.
"Masih sakit nggak kepalanya?" tanyaku masih menggenggam tangan Meira.
"Enggak. Udah mendingan."
"Syukurlah."
Meira meraba bagian kepalanya yang terluka. Dia sedikit kesakitan saat tidak sengaja menekan luka tersebut. "Aw."
"Eh jangan malah dipegang." Aku menurunkan tangan Meira. "Udah kamu istirahat dulu." Meira hanya membalas dengan cengengesan. "Dasar." Kataku tersenyum.
"Papa Mama di mana?"
"Udah pulang. Nanti balik lagi, katanya ada urusan mendadak. Oh iya-" aku membuka bingkisan dan meletakkannya di atas lutut Meira. "Nih. Banyak dibawaain makanan. Kamu kan nggak suka makanan rumah sakit, jadi dibeliin yang lain."
"Dari Papa?"
Aku mengangguk. "Aku juga bawaain ini."
"Pasti yakiniku sushi kan?" tanya Meira bersemangat menyebut makanan kesukaannya.
"Pasti dong. Eits, sebelum itu kamu makan ini."
Aku memberi Meira buah anggur dan pisang. Meira menuruti permintaanku. Dia makan dengan lahap. Aku menghembuskan napas lega. Akhirnya.
"Mau nonton tv?"
Meira mengangguk.
Saat tv menyala, terlihat acara berita yang tengah menayangkan berita kebakaran di kompleks bangunan. Dilihat lebih dekat kawasan itu mirip dengan kawasan asrama. Api cepat membumihanguskan seluruh bangunan tanpa tersisa. Terlihat cuplikan api yang masih menyala di berberapa gedung tengah coba dipadamkan oleh petugas kebakaran. Banyak warga yang melihat, garis polisi sudah melintang. Tidak ada yang menyangka area yang jauh dari aktifitas penduduk bisa terjadi sebuah tragedi.
Aku mengganti chanel tv tersebut ke sebuah serial animasi.
"Itu tadi." Kata Meira curiga. Dari cuplikan berita tersebut, kamera tak sengaja menyorot berberapa kendaraan yang terparkir di depan gerbang. Kendaraan yang tak asing bagiku dan Meira.
"Nggak. Nggak ada apa-apa." Kataku memberi alasan.
"Itu tadi asrama kan? Iya kan?" Raut wajah Meira berubah. Dia menoleh ke arahku. Aku tidak membalas. Dari sorot matanya perlahan keluar air mata. Dia tidak melanjutkan makannya, tangannya malah mencengkeram selimut. Napasnya naik turun. Ia bertanya. "Bal. teman-teman bagaimana? Nawal gimana?"
"Itu bukan asrama Ra." Jawabku. Masih menyembunyikan alasan.
Meira menggeleng. Matanya tidak bisa berbohong. Dia tahu kalau bangunan yang terbakar adalah bangunan asrama. Bangunan yang dari luar saja sudah hangus terbakar apalagi bagian dalamnya. Dan itu berarti...
Meira tidak bisa menahan air matanya lagi. Tangis pun pecah. Keadaan semakin sedih. Aku segera mendekapnya. Meira memelukku dengan kuat, dia menangis dipelukanku. "Nawal gimana Bal. Mereka gimana? Nasib mereka gimana?"
Aku tidak menjawab.
Membiarkan Meira menumpahkan keresahannya yang sudah tak tertahankan.
"Nanti. Nanti aku ceritain semuanya. Aku janji."
Dalam ruang kamar, hanya suara tangis Meira lah yang terdengar di telingaku. Di bawah cahaya matahari yang menembus kaca, layar tv yang masih menyala, buah pisang yang terjatuh ke lantai. Aku berkata dalam hati, 'aku berbohong, Ra. Maaf'
TAMAT
***
Yeayyyyyy!!!! Akhirnya cerita ini selesai!!!! terima kasih untuk semuanya yang meluangkan waktu mampir ke cerita ini. Maaf banget kalau banyak kekurangan dalam segala unsur cerita, kedepannya author bakal belajar lebih keras bikin cerita. OIYA kalian tertarik aku buatin extra page tentang nasib jennie? kalau iya komen, kalau rame nanti aku buatin.
Terakhir, maaf banget tentang cerita the heros of sky. Ceritanya harus aku pause buat nyelesaiin cerita ini. Sayang banget viewnya udah 50k lebih tapi aku pause. Tapi tenang, cerita itu nggak bakal aku biarin nggak keuurus. Pasti aku tamatin karena itu cerita serial. Seperti serial bumi bulan-tereliye.