webnovel

Pertanda

"Ding-dong, aku berada di depanmu. Biarkan kusentuh wajah cantikmu, sebelum kuhabisi nyawamu."

***

Gedung 2 lantai 2

Iqbal Pov

Aku mengikat tali yang kutemukan di bawah tangga menuju lantai tiga. Di antara jalan turun, membentang seutas tali yang tidak terlihat ditutupi kegelapan koridor. Aku berpikir siapapun yang menginjak tali ini pasti akan jatuh dari ketinggian kurang lebih sepuluh meter dari lantai ini menuju lubang ke gudang. Mati di tempat? Jelas itu terjadi. Siapa saja yang jatuh dari ketinggian ini apalagi dengan posisi kepala terlebih dahulu, sudah dipastikan tidak bernyawa di bawah sana.

"Apa yang lo rencanain si? Bukannya dia udah mati saat lo dorong di gedung satu?" tanyaku pada Rayyan kala itu sibuk menempatkan meja di beberapa tempat dan menabur daun se-natural mungkin.

"Itu yang gue pikirin. Kenapa Haniyah masih hidup gue nggak tahu, yang jelas kita udah nggak bisa ngebiarin makhluk itu berkeliaran, Bal. Lebih baik bunuh dia berkali-kali supaya beri jeda beberapa waktu. Pilihannya cuman dua. Kita kabur atau berhadapan dengan dia. Lo pilih yang mana? Kalau gue lebih milih yang pertama dan ini caranya supaya kita bisa kabur." Kata Rayyan menatapku.

Aku diam tidak menjawab.

Rayyan benar.

Kami tidak bisa terus-terusan berhadapan dengan penjaga. Melihat penjaga tanpa ampun memburu Rachel, itu berarti semua sangat berbahaya jika terus-terusan melawan. Kita harus menghindarinya.

"Kalau rencana ini berhasil." Celetukku.

"Harus."

"Kita harus berhasil atau makhluk itu bunuh salah satu dari kita." Kata Rayyan.

"Apa lo bilang?" mengapa saja Rayyan tiba-tiba mengucapkan salah satu dari kita akan mati dalam menjebak penjaga ini?

Rayyan tidak membalasnya. Diam masih sibuk menata daun di sekitar bangku.

Aku melirik ke arah Rachel. Dirinya diam tak berdaya. Tubuhnya penuh darah. Pakaiannya berwarna merah hingga lantai pun dipenuhi bekas darah, padahal lukanya sudah ditekan agar menghentikan aliran darah yang keluar. Tapi itu tidak cukup.

Seperti menunggu waktu ajalnya datang, tatapan Rachel melihat ke langit-langit bangunan. Dia sudah pasrah.

Aku terenyuh kasihan padanya. Lima tahun berlalu cepat, batinku berkata Rachel yang sekarang sudah berubah dari Rachel yang dulu. Sekarang dia lebih dewasa dengan pikiran rasionalnya, ketimbang saat sekolah dulu. Dia energik, optimis, tapi terlalu imajinatif. Entah apa yang sudah ia lalui setelah lima tahun hingga sifatnya berubah seratus delapan puluh derajat. Saat ini, dia kehilangan sifat optimis, di hadapan kematian pikiran rasionalnya membuatnya tidak lagi berpikir ada jalan keluar dari masalah ini.

Satu hal selalu kuingat tentang Rachel, saat SMA Rachel sering kali mentraktirku makan bakso di kantin sekolah. Setiap habis menang lomba orang pertama yang selalu berdiri di depan kelas menungguku adalah dia. Padahal seharusnya aku yang harus mentraktirnya. Itung-itung sebagai ucapan selamat. Rachel Menolak, katanya traktir bakso adalah salah bentuk ritual ungkapan syukur kepada tuhan yang harus ia lakukan. Aku bingung mengapa ia membandingkan bola daging berkuah dengan istilah ritual segala. Ini bukan ritual Peusijuek dari Aceh atau Kasada dari Jawa Timur. Rachel punya pikiran aneh jauh melebihiku.

Tapi lihat dia saat ini. Sosok Rachel yang dulu periang di mataku sekarang tengah sekarat.

"Bal." Kata Rachel. Tatapannya tertuju ke arahku.

Aku mendengarnya, dan bergegas menghampiri Rachel.

"Dengerin gue. Ini mungkin kesempatan gue buat ngasih tau lo sesuatu." Kata Rachel membuka suara. Napasku mulai terpompa ketika Rachel mengatakan akan menyampaikan sesuatu di tengah situasi mencekam ini.

Rachel menelan ludah.

"Jangan sampai terbunuh sama orang itu."

Orang itu? aku mungkin setengah sadar mendengar omongan Rachel barusan. Kata kata 'orang itu' seperti merujuk pada seseorang. Atau mungkin makhluk itu yang dibicarakan Rachel? Yang jelas permainan ini semakin tidak beres. Ada kejanggalan yang Rachel alami.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah. Siapa?

"Permainan ini nggak ada Bal. Joe itu nggak ada. Sejak awal kita nggak berurusan dengan arwah gentayangan brengsek itu. Enggak, semua itu nggak nyata. Kita semua dibohongi. Ada orang lain ikut main bersama kita. Seorang psikopat, bedebah yang entah siapa dirinya sebenarnya. Dia yang bunuh teman-teman, bukan arwah. Ini semua settingan." Kata Rachel mengatur menghela napas. Ada jeda beberapa detik sebelum aku bertanya.

Pikiranku terlebih dahulu mencerna penjelasan Rachel.

Apa maksud perkataan Rachel barusan? Permainan ini tidak nyata? Kita dibohongi?

Tunggu, tunggu dulu. Jika permainan ini tidak nyata bagaimana menjelaskan tentang lilin yang menyala itu? katanya arwah tidak akan berani mendekati siapapun yang menyalakan lilin sebelum sepuluh detik. Kami melakukannya dan berhasil. Haniyah tidak mendekatiku dan Rayyan saat itu.

Aku mulai heran.

"Siapa yang udah lo beritahu?" tanyaku.

"Nggak ada. Cuman kita berdua. Gue sebentar lagi mati, Bal. Gue berencana jadi umpan buat rencana lo dan Rayyan. Gua harap lu ngerti keadaannya Bal." Jawab Rachel menatapku. Matanya berusaha meyakinkanku atas perkataannya. Walau akibat perbuatan Rachel adalah nyawanya sendiri.

Sial. Aku tahu arah pembicaraan kami ujung-ujungnya seperti ini.

"Nggak, nggak Chel. Gue nggak bakal setuju apa yang lo omongin. Lo tau kan akibatnya apa? di bawah sana nggak seempuk kasur rumah. Lantai, batu. Sekali lo terjun kelar udah. Lo mati." Kataku tegas.

Rachel menahan diri untuk berkata sesuatu. Tangannya tergenggam erat, keringat mengalir di pelipis mata.

"Kalau lo mau mati. Berarti kita juga mati." Tambahku.

"Jangan bodoh Bal!"

Rachel menghela napas tidak tahan mendengar perkataanku. Sepertinya ia terkejut mendengarnya.

"Lo pikir pake otak lo. Gue sekarat. Gue nggak bisa ngapa-ngapain lagi sekarang. Gue akan jadi beban buat lo semua. Please Bal. Di seluruh bangunan asrama ini nggak ada perlengkapan P3K. Gedung ini terbengkalai jauh dari kampung sekitar. Percuma gue bertahan hidup tapi malah bikin beban kalian. Ngebahayain nyawa lo pada. Gue nggak mau Bal." Mata Rachel berkaca-kaca.

Pada akhirnya ia menitihkan air mata. Menumpahkan keresahan yang sedari tadi ia pendam. Rachel begitu tertekan atas segala kejadian malam ini. Tidak terkecuali sadar kalau dirinya yang tidak berdaya akan membebani teman-temannya. Membahayakan yang lain jika ia kukuh mempertahankan ego diri sendiri. Baginya, ini jalan terbaik.

"Cara terbaik adalah bunuh orang itu. Dan gue siap ngorbanin diri gue." Tambah Rachel.

Suasana Hening.

Hilir angin membungkus tubuh kami menjadi patung. Dingin dan tidak mengenakkan. Siapapun yang berada di posisi ini pasti bingung harus merespon bagaimana. Aku mengerti pikiran Rachel, tapi aku ragu untuk melakukannya.

"Gue nggak ngerasa dibebanin." Aku tersenyum.

"Gue sanggup bawa lo keluar dari sini. Chel, lo mungkin tertekan saat ini, gue memaklumi itu. Tapi yang perlu lo ingat, nggak ada teman yang ninggalin temennya mati begitu saja." Kataku menjelaskan setenang mungkin.

"Gue nggak mau lagi mengulangi kesalahan perbuatan gue ke Haniyah sebelumnya."

Deg!

Rachel terpukul akibat omonganku berusan. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan setelah mendengar omonganku. Sepertinya ada kejadian mengerikan yang menimpanya sampai-sampai tubuhnya sedikit terguncang kali ini.

"Psikopat." Kata Rachel spontan. Dia berpikir keras.

"Ha?"

"Orang itu ternyata psikopatnya. Orang yang mirip dengan Haniyah. Tapi sebenarnya bukan. Mereka dua orang berbeda. Orang itu berlagak seperti Haniyah." Kata Rachel. Dia tiba-tiba menyadari kejanggalan.

"Gue masih bingung sama perkataan lo Chel. Bagaimana mungkin psikopat bisa ada di sini."

"Atau jangan-jangan." Kata-kataku tertahan.

Srriingg!!! Kami berdua menoleh bersamaan.

Shit, Haniyah datang.

Semuanya terlambat. Rachel belum menjelaskan semuanya.

***

Lagi-lagi suasana kampret ini datang. Detik berlalu melambat. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rachel mengatakan kalau ada orang yang mirip dengan Haniyah? Dua orang yang berbeda? aku tidak bisa membayangkan kalau perkataan Rachel benar adanya. Kami masih belum mengetahuinya pasti.

Jika perkataan Rachel benar, maka kita memang tengah berurusan dengan sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Seorang psikopat.

"Astaga."

Satu menit berlalu.

Rencana kami sudah siap. Rayyan bersembunyi di balik dinding sebelah tangga. Rachel berada di balik pintu kamar. Mereka bersembunyi karena tubuh mereka sedang terluka. Aku yang menyarankan hal itu. Awalnya ditolak Rayyan dan Rachel, tapi aku menjelaskan semua akan baik-baik saja. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan Rayyan akan bersiap siaga dari balik dinding menghajar Haniyah.

Rencananya cukup simple.

Aku sebagai umpan, menggiring Haniyah untuk mengejarku hingga berada di titik lubang tangga. Aku harus lebih cepat ketimbang Haniyah dan ketika berada di titik tersebut aku harus bersembunyi di balik bayangan dinding. Hal selanjutnya mendorong Haniyah sekuat mungkin hingga terjatuh ke dalam lubang.

Aku menelan ludah. Berjalan dengan hati-hati.

Srrrinngg!!

Suara itu lagi. Haniyah muncul. Jika memang dia adalah psikopat maka lilin tidak dibutuhkan lagi. Kegelapan adalah satu-satunya tempat persembunyian terbaik.

Aku melangkah penuh percaya diri di lorong gelap ini. Cahya rembulan bersinar melewati celah-celah jendela dari kamar-kamar yang kusam. Tidak ada bunyi yang mencurigakan untuk sekarang. Hanya hilir angin malam dan suara langkah kaki.

Aku menarik napas dalam-dalam.

Kulihat ujung lorong yang sedikit terang akibat pantulan cahaya sinar bulan. Di ujung lorong, terdapat pintu yang tertutup. Masalahnya, bunyi tersebut berasal dari balik pintu.

"Keluarlah." Kataku.

Srrringgg!!

Shit.

Pintu itu terbuka pelan-pelan. Suara desisan terdengar dari balik pintu tersebut. Mataku menangkap sepasang bola mata yang melihatku dari kejauhan. Bola mata yang putih bersih dengan urat di sekitar mata. Haniyah mengintip dari sela-sela pintu yang terbuka. Wajahnya tersenyum ke arahku.

Menyeramkan sekali.

Tubuhku bergetar. Pemandangan yang menyeramkan ada orang mengintip tapi hanya menampakkan setengah kepalanya saja. Wajah rusak itu semakin memucat di bagian mulut, darah keluar dari mulutnya. Astaga.

Ketika dia tersenyum. Gigi tampak berdarah-darah, luka sobek di mulut yang menjalar hingga pipi. Satu dua borok menghiasi dahinya. Ia tampak seperti monster ketimbang psikopat.

"Keluarlah bajingan." Kataku mantab.

Haniyah tetap mengintipku dengan posisi tersebut. Tidak keluar sepenuhnya. Padahal aku tidak membawa lilin yang menyala. Bukankah itu berbahaya?

Pintu itu malah tertutup.

Haniyah tidak keluar. Pintu itu ditutupnya dengan senyuman mengerikan.

"Hey!!"

Aku mengejarnya. Kosong. Di balik pintu Haniyah menghilang. Seperti ditelan bumi.

Tunggu dulu.

"Orang ini kabur?" Kataku.

Srrinngg!! Dari balik tangga menuju lantai tiga. Suara itu kembali terdengar, ia pasti di sana.

"Woi!!"

Aku kembali mengejarnya.

"Kok malah gue yang ngejar sih." Gerutuku. Untuk ancang-ancang aku mengambil batu sebagai senjata jika tiba-tiba Haniyah menyerangku dari belakang. Ini mungkin semacam jebakan. Tapi bagaimana lagi.

Jika Haniyah tidak mengejarku rencana yang sudah kami buat akan sia-sia.

Akan kubuat ia mengejarku meski harus aku duluan yang mengejarnya.

Aku berhenti di antara lorong menuju balkon barat dan lorong menuju balkon utara. Ada jejak kaki di sini. Kuperhatikan lebih lanjut jejak ini mengarah ke balkon barat. Aku lari secepat mungkin. Tapi entah mengapa Haniyah sudah tidak kelihatan batang hidungnya.

Aku curiga ia bersembunyi.

Napasku tersengal-sengal. Melihat sekitar yang gelap, pandanganku tidak lengah sedikitpun. Hawa dingin terasa kembali. Disela-sela detak jantungku yang berdebar sepasang tangan menyentuh pipiku dari belakang. Tangan yang dingin dengan warna pucat pasi. Sensasi dinginnya terasa menyentuh pipi lalu perlahan naik ke atas.

Shit. Di belakangku.

Aku tidak bisa menoleh. Tangan ini terus merambat hingga menutupi kedua mataku.

Jantungku dipaksa terpompa lagi.

Haniyah mendesis. Ia terkekeh. "Hihihi." Permukaan tangan kasar penuh borok tersebut sepenuhnya berada di wajahku. Tubuhku terasa mati rasa. Kakiku tidak bisa berhenti untuk bergetar.

"Ano. Mau bermain? Hihi." Kata Haniyah.

Bergeraklah. Atau mati di sini. Batinku meronta.

Tanganku bergerak sekuat mungkin melepaskan tangan Haniyah. Kuhantamkan batu yang kupegang ke kepalanya. Selanjutnya aku lari sekencang mungkin.

"Mampus." Kataku.

Haniyah terkekeh. Mendesis kencang. Kali ini aku resmi dikejar.

***

Próximo capítulo