"Cepat pergi sembunyi. Penjaga datang sambil membawa golok, dia tidak main-main untuk bunuh kita."
***
Kami pun mulai melewati lorong lantai satu. Perlahan tapi pasti kami memeriksa setiap kamar tanpa terlewat. Sesekali melirik ke belakang, yang terlihat hanya kegelapan. Lantai kotor dan dinding bak hutan ini membuat kami kesulitan mendeteksi jejak Rachel dan kawan-kawan. Maklum ini gedung paling akhir di antara gedung asrama lainnya. Dekat dengan hutan tentu saja semakin lebat rerumputan menjalar hingga gedung ini.
Aku bergandengan tangan dengan Nawal. Akmal berjalan di depan sedangkan Rayyan berada di belakang kami. Formasi belah ketupat. Ketika ada bunyi aneh dari arah depan Akmal akan siap siaga memberikan aba-aba untuk berhenti, selanjutnya kami bersembunyi.
Arwah tidak akan menyerang ketika ada nyala api di sekitarnya. Aku berpikir seperti itu lantaran sama persis dengan tradisi jawa kuno ketika bayi lahir, di sekitar tempatnya pasti terdapat nyala api berupa lilin, memang masa itu tidak ada cahaya lampu jadi orang terdahulu menggunakan lentera atau membakar lilin sebagai penerangan. Itu diyakini bisa mengusir arwah jahat agar tidak mendekat.
Cara mainnya sama dengan permainan ini. Bedanya, di sini ada penjaga. Seseorang yang tubuhnya digunakan oleh arwah untuk mengganggu permainan.
Kami akan sampai di ujung persimpangan. Kalau lurus akan menuju balkon depan, kalau ke kanan akan mendapati tangga menuju lantai dua.
Akmal mengambil aba-aba. Kami berhenti. Mengendap-endap di balik tembok. Akmal melihat jalan depan untuk memastikan sesuatu, ia memegang pemotong gembok yang ia bawa mulai dari gerbang utama hingga sekarang. Ia bersenjata, itulah sebabnya dia berada di depan. Rayyan juga membawa sebuah balok kayu yang diambil dari pembatas jendela. Katanya, untuk berjaga-jaga membantu Akmal.
Aman.
Kami melanjutkan pencarian menuju arah tangga.
Saat memeriksa kamar terakhir lantai satu tidak ada hal mencurigakan. Kosong, sama seperti kamar lainnya. Langit-langit yang pecah, kotor dan berlumut, daun-daun yang berserakan.
Tercium bau tanah.
"Tetap bareng. Jangan lupa korek apinya." Bisik Rayyan.
Kami terus berjalan menyisiri anak tangga satu persatu. Dap!! langkah Akmal mendadak berhenti di depan. "Kenapa?" tanya Nawal.
Rayyan menabrakku, tak sengaja. "Maaf." Mungkin karena berhenti mendadak dan pandangannya terus mengawasi area belakang.
Akmal tidak menjawab. Lilinnya bergetar. Aku bisa mengetahuinya. Aku mengintip, sebenarnya ada apa di depan sana. Akmal mundur selangkah. Nawal penasaran juga hingga ia memberanikan diri untuk ke depan. Akmal menahannya.
"Hanniyah!!" teriak Akmal. Aku terkejut, apa sekarang kita menemukannya? karena penasaran aku berjalan ke depan untuk melihatnya. "Ada Haniyah? Mana?" tanyaku.
"Itu elo?!" tanya Akmal.
"Kenapa nggak disamperin sih Mal." Kataku. Memang benar ada seseorang di depan.
Akmal memajukan lilin yang ia pegang. Cahaya itu menerpa tubuh seseorang yang berdiri membelakangi kita di ujung anak tangga. Karena cahaya lilin kami sekarang bisa melihatnya. Ia mengenakan pakaian sama persis dengan Haniyah. Tak salah lagi itu memang Haniyah.
Rambut panjangnya tampak berantakan. Tubunya kusuh kotor terkena tanah basah. Kenapa orang itu diam saja. Tapi tunggu, di mana yang lain? bukannya mereka juga mencari Haniyah. Mereka pasti di gedung ini.
"Han. Mari pulang. " bisik Akmal lagi. Atmosfer mendadak berubah berat. Hawa dingin kembali menusuk tubuhku. Adegan macam apa ini. Persis film horror. Seorang berdiri mematung di kegelapan. Ia memunggungi kami dengan atmosfir menyeramkan. Tidak berkata sama sekali membuat kami mulai curiga. Apa yang sebenarnya terjadi pada Haniyah.
Nawal melangkah ke depan. Tidak mengidahkan larangan Akmal. Nekat nerobos menghampirinya. "Han. Yang lain mana?" tanya Nawal. Ia berjarak satu meter dengan punggung Haniyah.
Tidak ada jawaban sama sekali.
Aku tegang. Sumpah. Kami bertiga ikut tegang.
Ku lihat Rayyan juga mematung. Rayyan tidak berkata sama sekali semenjak kami menjumpai Haniyah tiba-tiba.
Nawal mencoba memegang pundak Haniyah. Tangannya bergetar. Lilin di tangannya juga. Sedetik kemudian lilin Nawal mati. Bulu kudukku langsung merinding. Keadaan tidak terduga kembali terjadi. Bahaya, aku takut terjadi sesuatu pada Nawal.
"Wal!!" Akmal langsung lari menghampiri.
Plop!! "HAN!! HENTIKAN!!" uluran tangan Nawal ditarik kuat-kuat oleh Haniyah. Seperti menyebet super cepat, Nawal terjatuh sangking kagetnya. Ia diseret secara bersamaan hingga bunyi tulang patah terdengar.
Nawal menjerit. "Ahhhhh!!"
Nawal digeret Haniyah pergi menjauhi kami.
"Astaga!! ya tuhan!!" Jeritku. Aku berlari mengejar Nawal. Haniyah mendesis kencang. Tanpa ampun ia menyeret Nawal menggunakan satu tangan. Akmal dan Rayyan ikut mengejar juga.
Lorong-lorong gelap mendadak penuh suara tepakan kaki yang menggema. Suara riuh berkecamuk. Lagi-lagi kejadian diseret.
Haniyah berlari sangat cepat
Hanya butuh waktu dua detik saja mereka hilang masuk dalam kegelapan. Kejar-kejaran terjadi. Jantungku berdebar hebat. Napasku diburu, tubuhku tidak bisa berhenti untuk berlari.
"WOI!! BERHENTI!!" teriak Akmal.
Melewati belokan tajam aku hampir saja terpleset. Masih sempat. Kumohon. Nyala lilin yang kupegang tidak lagi kuhiraukan. Bodo amat dengan permainan ini yang jelas Nawal sudah dalam bahaya. Aku mengambil batu. Berlari lagi. Melemparkannya sekuat tenaga ke arah depan. Aku tidak tahu tepat mengenai siapa yang jelas bunyi batu tersebut mengenai sesuatu.
Haniyah mulai terlihat. Gerakannya melambat.
Sepertinya batu yang kulempar tepat mengenai sasaran. Kulihat Nawal tidak sadarkan diri pasrah diseret Haniyah. Wajahnya berdarah-darah. Pelipisnya robek menyamping. Tanggannya membiru, sekujur pakaiannya kotor lusuh. Pemandangan yang mengerikan.
Pegangan Haniyah tidak mengendor. Ia masih keras kepala susah payah menyeret Nawal.
"Berhenti!!" teriakku.
Brakk!!
Karena tidak fokus. Tubuhku jatuh setelah menabrak pinggiran wastafel. Aku tersendak. Jatuh tersungkur ke lantai, berberapa bagian tubuhku sobek tidak sengaja terkena serpihan kaca. Kepalaku juga menghantam batu-batu sekitar cukup keras. Kupaksa untuk bangkit segera tapi tidak bisa. Tubuhku mati rasa dan napasku berdebar tidak karuan.
"Ra! Ra!!" Rayyan mendekat. Langsung memeriksaku.
"N-awal! Kejar." Kataku berusaha mengingatkan mereka kalau Nawal masih dalam bahaya.
"Lo kejar Nawal Mal! Gue bawa dulu Meira ke tempat aman." Kata Rayyan pada Akmal. Akmal mengerti, dia paham situasi. "Jangan lupa lilinnya." Kata Akmal mengingatkan dan langsung pergi. Rayyan memasukkan lilinnya ke kantong dadanya. Itu berbahaya apalagi jika membakar kain pakaian.
"Gue bawa lo." Kata Rayyan mengangkat tubuhku.
"Nawal." Kataku lirih.
"Lebih baik cari tempat dulu Ra. Kita dalam bahaya kalau gini terus." Kata Rayyan setengah berlari. Napasnya tersenggal-senggal juga. Tangannya juga bergetar, aku tahu kalau Rayyan juga tengah ketakutan setelah melihat sesuatu mengerikan tadi.
Kami sukses terpencar.
Dan ini membuat permainan menjadi lebih sulit.
Terdengar suara jeritan kencang dari lantai atas. Terdengar seperti orang ketakutan. "Mal! Sorry." Kata Rayyan menuruni anak tangga. Kembali ke pintu belakang dan keluar dari gedung sepuluh.
Apa yang sebenarnya terjadi.
"Akmal gimana?" tanyaku.
"Dia pasti tau caranya kabur." Jawab Rayyan. Ia menengok kanan kiri sebelum menyebrangi sisi gedung sepuluh ke gedung sembilan. Entah kenapa aku menitihkan air mata. Melihat gedung sepuluh lantai tiga yang kosong kami tinggalkan membuat pikiranku tambah kacau. Tidak ada nyala lilin sama sekali di sana. Aku semakin khawatir dan ketakutan.
Aku akhirnya pingsan.
***
"HAN!!" Teriak Rachel mengejar tubuh Haniyah. Ia ketakutan sebelumnya tapi mencoba mengendalikan dirinya. Mengejar sampai ujung lorong. Kosong. Haniyah menghilang secara tiba-tiba.
Rachel kebingungan.
Abid, Kholqi, dan Citra datang menghampiri.
"Ke mana?!" Citra ngosngosan. "Nggak tau." Jawab Rachel. "Coba ke atas dulu." Kata Abid. Tiba-tiba saja-
Clarrsshhh!!!
Kepala Kholqi terpenggal seketika dari arah belakang. Cipratan darah ke mana-mana. "Aaaaaa!!!!!" Jerit Citra. Tiba-tiba saja kejadian sadis ini terjadi. Darah bercucuran keluar dari tubuh Kholqi, ambruk begitu saja. Rachel menggigit bibir melihat ini semua. Tubuhnya tidak bisa berhenti bergetar. Suaranya tertahan.
Seketika lilin jatuh ke lantai dan padam.
Rachel terjatuh merangkak tidak kuat. Kepala Kholqi menggelinding ke bawah bayang-bayang hitam. Ada seseorang dari balik kegelapan itu. Ia menginjak kepala Kholqi. Tangannya memegang benda tajam. Mengkilat ketika digerakkan akibat pantulan cahaya.
"S-si-sia-pa lo!!" bentak Abid. Ia tampak murka. Tangannya tergenggam erat.
Orang itu tidak menjawab. Sesaat kemudan ia menendang kuat-kuat kepala Kholqi ke arah Abid. Abid menghindar dan hendak menyerang sosok itu.
Kepala Kholqi menggelinding di depan Rachel. Rachel menjerit seketika. Tubuhnya begidik melihat raut wajah Kholqi menatap kosong. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Lehernya tergorok kasar sekali. Lantai penuh cucuran darah.
Citra langsung melarikan diri menaiki tangga menuju lantai dua, tidak memperdulikan nasib dua temannya sama sekali. Sibuk menyelamatkan diri sendiri.
Tiba-tiba Adlan datang menenteng sebuah batu lalu mengahantamkannya keras sekali tepat mengenai sosok tersebut. Sosok tersebut terdiam sebentar dan langsung menebas tangan Adlan secepat kilat. Dalam satu putaran ayunan golok, ia mencingcang Adlan dengan memotong kedua kakinya. Adlan tidak berdaya.
Terakhir, kepala Adlan terpenggal. Darah muncrat ke segala arah. Ambruk begitu saja dengan kondisi mengerikan. Abid tidak bisa menahan irama detak jantungnya yang semakin cepat memburu waktu, ia kacau. Temannya baru saja dibunuh. Dia berpikir cepat.
"Chel!! Lari!" teriak Abid. Abid tau kalau ia akan menjad korban selanjutnya, Abid berencana mengulur waktu dengan menyuruh Rachel pergi sementara ia menghadapi sosok itu. Namun naas, takdir lagi-lagi melemparkan undian pada siapa yang tidak beruntung hari ini.
Claaarrsshhh!!! Ia juga terpenggal. Belum sempat menoleh ke arah lawan, kepalanya sudah terbang dan tubuhnya ambruk. Lantai kembali dihiasi genangan darah segar. Abid pergi untuk selama-lamanya. Rachel mundur kebelakang. Napasnya tidak karuan. Air matanya sudah tumpah sebelumnya. Ingin sekali ia lari terbiri-birit. Tapi sosok itu berdiri di kejauhan sambil menatap lekat pandangannya. Pandangan seorang pembunuh.
Mata itu putih bersih. Tanpa pupil hitam. Tatapannya kosong. Ia memegang golok dengan hiasan darah segar. Sosok itu perempuan. Perempuan yang tidak dikenali Rachel. Ia perlahan-lahan keluar dari balik bayangan. Sambil menenteng golok di tangan kanannya.
Rachel sangat ketakutan. Tidak pernah ia setakut ini dalam hidupnya.
Hidupnya dalam bahaya. Kalau ia tidak lekas bangkit dan kabur sudah pasti nasibnya sama dengan teman-temannya. Terpenggal.
"Ano. Permainannya selesai? Hanya begini saja?" kata sosok itu. Ia berjongkok melihat tubuh Abid terbujur kaku. Cahaya remang-remang dari lilin kini menampakkan wujud aslinya.
"S-si-sia-pa?"
"S-si-siap lo?" tanya Rachel terbata-bata. Rachel tidak bisa mundur lagi karena saat ini ia sudah berada di pojok dinding.
"Owh. Masih ada orang ya." Sosok itu tersenyum. Senyumannya manis tapi terasa menyeramkan. "Hmmm.. kalau kubunuh. Nanti jadi nggak seru." Sosok itu menusuk-nusukkan goloknya ke perut Abid. Keluar masuk. Darah keluar menciprat ke wajah sosok itu. Ia tampak biasa saja melakukan hal semacam itu.
Rachel semakin ketakutan. Kakinya bergetar. Bibirnya tidak kuasa berteriak. Ia teriak, ia pasti mati.
Sosok itu memotong pergelangan tangan abid. Dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Hmm.. buruk." Katanya. Ia melemparkan tangan ke sembarang tempat.
"Chel!!!" Teriak seseorang. Rachel menoleh mencari sumber bunyi. Sosok itu juga mencari sumber suara. Melihat Rachel sekali lagi dan tersenyum. Ia menodongkan goloknya sambil berbisik. "Sssstt!!" sorot matanya tajam membuat Rachel galagapan bergetar hebat.
"Diam atau seperti temanmu." Bisik sosok itu lalu menunjuk satu persatu tubuh Abid dan Kholqi.
Rachel tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya menuruti permintaannya agar bisa tetap hidup.
"Citra!!! Khol!! Bid!!! Lo di mana?! Lan!! Lo semua di mana," teriak seseorang lagi.
Sosok itu berdiri menghunus goloknya, membersihkan noda darah. Tersenyum simpul ke arah Rachel, dan melangkah mundur di kegelapan. Hap! Tubuhnya hilang sepenuhnya. Ia pergi meninggalkan Rachel.
"Maaf. Maafin gue." Isak Rachel. Ia menangis karena tidak bisa melakukan apapun terhadap temannya. Itu Suara Zakky. Ia pergi mencari Rachel dan lainnya. Rachel tau kalau Zakky dalam bahaya tapi tidak ada pilihan lain selain menuruti sosok tersebut.
Rachel berdiri susah payah. Melangkah meninggalkan mayat Kholqi, Adlan, dan Abid yang tergeletak di lantai. Lilin menyala remang-remang di area tersebut.
Rachel pergi menyelamatkan dirinya sendiri dari kematian. Meninggalkan Zakky dalam bahaya.
***
"Chel!! Han!!" teriak Zakky berjalan memeriksa kamar. Ia berjalan dalam gelap. Lilin satu-satunya sumber pencahayaan yang ia punya. Zakky menelan ludah. Ia sadar kalau sendirian sekarang tapi egonya memaksa untuk terus mencari teman-temannya. Zakky mengambil sebuah batu untuk dijadikan senjata.
Mengendap-endap dengan sesekali menengok ke belakang. Ia fokus. Tidak ingin sesuatu terjadi apa-apa dengan dirinya kali ini.
"Kenapa harus gini sih jadinya." Gerutu Zakky. Memeriksa kamar depannya. Kosong. Hanya kumpulan kerangka besi berkarat yang dapat ia lihat. Ia mengecek kamar mandi. Nihil. Setiap kali ia bergerak menatap kosong kamar mandi pikirannya selalu terbayang sesuatu kepala muncul dan mengaggetkannya. Atau perempuan berjubah putih dengan rambut menguntai berdiri di pojok kamar mandi membelakanginya. Itu pasti sangat menakutkan.
Zakky menghembuskan napas.
Ia bisa melanjutkan perjalanan.
Deg!
Lilinnya mati.
"Anjing!!" Seru Zakky cepat-cepat mengeluarkan korek api hendak menyalakan lilinnya kembali. Jantungnya berdebar kencang. Tidak menyangka kejadian barusan terjadi di sini. Di ruangan gelap gulita ini.
"Lilin kaparat!!! Kurang ajar!!" bentak Zakky. Ia emosi sekali saat ini, akibat kepanikannya korek api tidak kunjung mengeluarkan api. Di sela percikan api, sorot matanya melihat ada sosok berjalan agak jauh darinya. Zakky mengangkat kepalanya. Ada orang! Saat lilin sudah kembali menyala, Zakky bergegas lari.
"Hey!! Hey!! Chel!! Han!! Itu elo?!" Kejar Zakky.
Zakky mengejarnya hingga persimpangan lorong. Melihat kanan kiri dan mengatur napasnya. Keringatnya bercucuran.
Bayangan itu hilang mendadak. Seperti menguap begitu saja.
"Kenapa malah lari sih!." Kata Zakky menyeka dahinya.
Suasana mulai mencekam. Tidak ada yang tahu sesuatu mendekat ke arahnya.
Tiba-tiba dua tangan menutupi mata Zakky secara perlahan. Tangan dingin dengan hawa keberadaan sangat tipis membuat Zakky begidik ngeri. Tangan ini merambat tepat di kedua matanya. Menutupi pelan dan terasa begitu dingin. Tangan ini pucat pasi. Sadar kalau ini bukan tangan temannya, Zakky mematung seketika.
Sosok itu mendesis.
"Tolong." Kata Zakky memohon. Wajahnya berubah drastis.
Sosok di belakang Zakky perlahan menjilati lehernya. Sensasi basah dan tegang bertambah hebat. Hawa ini berbeda. Zakky bertemu dengannya. Bertemu penjaga.
***