webnovel

Bab 17

Perkiraan dokter meleset, bukan salah perhitungan. Akibat menertawai Candice kemarin pagi, perut Belle jadi mengencang sampai mengalami pendarahan. Untung saja ada paman Marlon dan Rose. Kalau tidak mungkin Belle sudah celaka, atau di alam lain. Cup! Cup! Aaah, sayang, dengan ekspresi gemas Belle mentowel-towel pipi anaknya. Empuk seperti kue bantal, yang direspon dengan teriakkan tangis.

"Oeek! Oeek!" Spontan Belle membeliak, tentu kalang kabut. Jahitan di perutnya masih basah, maka jika bergerak walau sedikit saja akan sakit.

"Paman ...." Belle menjerit kencang, sesekali meringis sambil memegangi perut. Ini sungguh sakit sekali.

Saat Belle menjerit, sontak tangisan anaknya semakin parah, bahkan terdengar sampai ke ruang tengah. Yang mengakibatkan kuku Candice ketumpahan cat. Suaranya mirip sang nenek, besar dan ngebass. Bikin heboh seisi rumah.

Paman Marlon dan si jelek Candice secara bersamaan muncul dengan panik, hal itu membuat kepala Belle panas dingin. Sok kompak. "Astaga, Bell, apa yang kau lakukan pada anak kita?"

Tidak langsung menjawab, Belle malah membuang muka.

"Kau seharusnya tidur Bell, jangan mengganggu waktu tidur anak kita. Aku mohon pahami situasi yang ada." Marlon bergerak ke kanan dan kiri, semaksimal mungkin menenangkan buah hati.

"Aku bosan, Paman! Kau pikir melahirkan enak? Ini sangat menyusahkan. Aku sulit bergerak, sementara kau bebas ke sana ke mari. Rasanya sungguh tak adil." Tanpa bisa dikendalikan bibir mungilnya jatuh, isak tangis pun turut memeriahkan.

Mengusap wajah dengan satu tangan, dari dulu hingga detik ini Marlon paling benci mendengar Belle menangis apalagi dalam situasi yang tidak memungkinkan. Pusing. Rasanya isi dada Marlon ingin meledak. Banyak ruang kesempatan beserta bulir peluh yang telah habis, namun tidak dihargai. Belle masih menganggap jadi dirinya enak, bahkan tak adil.

Saat Candice menawarkan bantuan tanpa keraguan Marlon menyerahkan si kecil agar dapat menghibur Belle yang terisak hebat. Membelai pelan rambut panjangnya, lalu turun ke pipi, memberikan kejutan ringan berupa kecupan-kecupan kecil di pelipis.

"Sssh, sayang, aku minta maaf. Aku lupa berterima kasih padamu yang telah memberiku putra, dan aku semakin mencintaimu." Cup! Dan kecupan Marlon berakhir di dahi Belle. Isakan pun terhenti.

"Hik, hik, aku bosan." Belle menggengam erat Marlon, membalas tautannya lalu mereka berpelukan pelan.

"Aku berjanji setelah kau sembuh akan mengajak dirimu dan anak kita pergi berlibur," bisik Marlon, sesaat menarik diri. Dia mengarahkan kelingking yang seukuran dengan jempol kaki milik Belle.

Belle menerimanya, mereka tersenyum lebar.

"Jangan sedih lagi, aku janji. Kita akan berlibur sekaligus menjenguk ibu di England." Sementara Marlon masih tersenyum lebar, seketika senyum Belle memudar.

Yang Belle takutkan ketika nyonya Gloe kembali, sisi kebaikan pamannya akan berpihak pada Candice.

Ugh! Itu menyebalkan, tak seharusnya paman Marlon berpura-pura demi menyenangkan Gloe. Kendati cepat atau lambat semua akan terbongkar. Apa lelaki itu tega melihat ibunya jantungan setelah mengetahui kebenaran, lalu mati konyol?

"Paman ..." rengeknya, di sebelah kanan Belle. Beliau hanya tersenyum manis.

Mengulum bibirnya Belle mendekati kuping Marlon, kemudian berbisik pelan. "Apa kau menyayangiku?"

"Tentu saja."

"Ibumu?"

Kedua alis Marlon bertaut, menatap Belle cukup lama. Mencari jawaban di kepala gadis itu sebelum mengulik. "Jika kau memintaku untuk memilih antara dirimu dan ibuku, aku angkat tangan."

"Tidak, maksudku bukan begitu, kau salah paham." Di mata Belle lelaki berwajah seram itu tampak serba salah, dan kebingungan.

"Kau masih meragukan cintaku? Dengarkan aku! Hanya kau satu-satunya, Bell, aku bersumpah."

"Tapi kau egois, Paman! Selama menikah aku sama sekali tidak menuntut. Aku tidak pernah mencoba liar atau mencari hiburan. Aku tidak pernah melirik lelaki selain dirimu. Aku tidak pernah mengkhianatimu meskipun mulutku kerap berkata kasar padamu."

Napas Belle terengah, air matanya mengalir deras. Dia tidak pernah meminta apapun selain kesetiaan. Tak minat memanfaatkan situasi dengan menguras kekayaan paman Marlon. Akan tetapi, sepertinya kepolosan Belle yang menjadi korban dari setiap tindak tanduk Exietera.

Apalagi melihat Marlon terdiam telak, semakin membuat Belle yakin jika telah dipermainkan. Belle meringis nyeri. Sakit jahitan melahirkan tidak seberapa dibandingkan dengan luka di hati ini, yang menganga bagai tersiram cairan cuka.

"Kau tidak mengerti, Bell. Aku tak mempunyai pilihan atau menceraikanmu?" Di saat Marlon menatap sedih, Belle mendengus berat.

"Kupikir itu jauh lebih baik. Aku selalu bermimpi hidup berumah tangga dengan kesejahteraan kita, bukan kesenjangan antara aku, ibumu, dan orang ketiga."

Skakmat, Marlon terdiam.

Keheningan mereka pecah saat Candice kembali. Dari tadi wanita itu kerja keras mendiamkan si kecil untuk mencari perhatian Marlon. Tanpa berkata lagi lelaki di samping Belle mengambil alih gendongan, menimang sebentar, lalu menaruhnya dalam ranjang tidur bayi.

Sementara kedua makhluk halus di satu ruangan yang sama saling menatap, Belle terus mengamati Candice dengan penuh kebencian, begitupula sebaliknya. Di dalam hati Belle bersungut tidak akan menyerahkan paman Marlon pada ular berkepala dua. Dia tidak tahu malu, dan selalu ingin menguasai.

"Makanya, kalau masih kecil jangan bikin anak." Candice mencibir, sebelum bergelanyut manja pada lengan Marlon.

Tidak disangka-sangka Marlon menepis kasar tangan Candice, nyaris membuatnya terjatuh. Lantas, berlalu pergi meninggalkan kamar dengan hati dongkol. Mati-matian Belle menahan tawa. Kalau perutnya tidak bermasalah mungkin dia sudah tertawa sampai pipis.

Wajah Candice merah padam, menahan malu yang sudah di ujung. "Jangan berbangga dulu. Kita liat saja! Aku akan merebut Marlon. Kau bisa bersiap-siap dari sekarang."

Belle hanya mengacungkan jari tengahnya pada Candice yang melotot.

Dia pikir meski Belle lebih kecil akan takut. Oh tidak! Secepatnya yang berbisa pasti binasa.

Mengambil ponsel di atas nakas Belle mengutak atik mencari kontak Rose. Dia perlu saran untuk nama anaknya, mengingat gadis itu memiliki segudang ide. "Ah, bibi Rose! Cepatlah datang, keponakanmu ini sudah menunggu terlalu lama. Hmm, ya untuk soal sebuah nama yang unik."

Sial! Belle mengumpat saat sambungan diputus sebelah pihak oleh Rose, bahkan sebelum di akhir kalimat. Tidak sopan.

Kesal dengan Rose. Tidak kehilangan akal Belle pun menyalakan data internet. Mata dan mulut mungilnya bergerak sejalan membaca satu per satu nama, lalu jatuh pada sederet huruf yang menarik perhatian. King William. Tepat sekali.

"William, kemari Sayang, kita belajar mewarnai." Belle mulai berkhayal, jika William tumbuh dewasa pasti akan sangat pintar.

Seperti ibunya ...

Namun, lamunan Belle buyar tatkala ponsel di tangannya berdering. Dari nomor asing tanpa nama. Hmm, siapa ya? Kening Belle mengerut bingung, karena penasaran, dia menerima panggilan. Saat Belle mulai menebak Rose datang bersama Marlon, dengan refleks tangannya mengalihkan panggilan.

"Maafkan aku Bell, aku terlambat datang. Ada banyak tugas kuliah yang harus kukerjakan dengan otak pas-pasan. Jadi sekarang, bagaimana keadaanmu?" tanya Rose sambil menaruh buah tangan di meja, sedang Belle tampak berusaha membaca pesan baru.

Selamat atas kelahiran putra pertamamu Chambell, aku turut bahagia. Selalu jaga kesehatan. Doaku menyertaimu dari sejak kita bertemu pertama kali.

-Liam

Próximo capítulo