webnovel

Tes Langsung Untuk Asisten Baru

Mengikuti langkah Ratna, Luna semakin memasuki rumah mewah tersebut. Melewati beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan dengan mereka. Di mana semua orang memandangnya agak sedikit lama. Mereka tampak bertanya-tanya.

Hingga akhirnya mereka benar-benar memasuki bagian dalam rumah. Luna lagi-lagi tak hentinya terpana. Melihat ruangan yang luas, lalu dipenuhi oleh furnitur dan alat elektronik yang mewah.

"Duduk dulu. Saya akan panggil Nyonya Bertha ke dalam," ucap Ratna yang membuyarkan lamunannya. Menunjuk deretan sofa yang berada di sana.

"Baik, Mbak." Luna menyahut sambil mengikuti lagi instruksi yang diberikan.

'Ingat semua yang kami katakan tadi, Luna.'

Nyaris saja Luna berteriak begitu merasakan bisikan di telinganya. Baru dia ingat lagi soal benda yang tadi dipasangkan ke tubuhnya itu, setelah sempat terlupa karena terlalu asyik mengagumi kediaman keluarga Abraham.

'Kau harus berhati-hati dalam melakukan misi ini. Jangan sampai salah bicara, apalagi melakukan hal-hal yang tak perlu.'

"Baik."

Luna menyahut dengan berbisik. Dengan sangat berhati-hati agar tidak ada yang mendengarnya.

Di saat itulah mulai terdengar langkah yang mendekat. Luna menengadah dengan gugup, memandang pada anak-anak tangga yang terhubung dengan lantai kedua.

'Apa ini saatnya Rafael muncul? Kalau dipikir-pikir cukup lama juga kami tidak bertemu. Aku sampai tak ingat beberapa hal tentangnya kini. Apalagi dengan keadaannya yang baru saja kecelakaan parah, seperti yang diceritakan oleh Mamanya.'

Langkah kian mendekat, terdengar bersama suara orang yang mengobrol. Luna tampak lebih menegakkan badannya, lalu mengendalikan deru napas. Berusaha untuk tidak terlalu gugup sehingga semua ini bisa dia atasi secepatnya.

Dari tangga dia kembali menangkap sosok Ratna, yang berjalan bersama dengan Bertha. Namun ternyata memang hanya mereka yang turun. Rafael tidak terlihat.

"Bi?!" Bertha tiba-tiba berseru untuk memecahkan keheningan di tempat itu. "Rafael dan Serra ada di taman belakang. Suruh mereka masuk ya. Katakan kalau asisten baru untuk Rafael sudah sampai."

"Baik, Bu."

Pelayan dengan seragam khusus berwarna hitam putih itu segera melangkah pergi dari sana setelah memberikan pernghormatan. Sementara Bertha dan Ratna kembali mendekatinya.

"Kamu mau minum apa? Pelayan akan membawakannya buat kamu," kata Bertha tak lama. Dengan elegan di menduduki salah satu sofa di depan Luna.

"Teh manis saja. Bu."

Bertha lagi-lagi dengan enteng memanggil pelayan untuk memenuhi permintaan Luna. Selanjutnya mereka kembali membahas soal pekerjaan. Jaga-jaga sebentar sebelum Rafael datang dan bergabung di meja ini.

***

Rafael sedang melakukan salah satu rangkaian terapi yang dianjurkan oleh dokter untuk memulihkan kesehatannya, didampingi oleh sang tunangan. Rafael diminta untuk menggambar pemandangan di sekitar sana. Kata dokter ini untuk lebih memahami kondisi pria itu yang sebenarnya.

Namun dari jauh tampak mendekat salah satu pelayan yang mengabdi di rumah mewah itu. Terpaksa mengusik apa yang tengah Rafael kerjakan.

"Mohon maaf, Tuan. Tapi Nyonya menyuruh saya untuk memanggil Anda, karena calon asisten Anda yang baru baru saja tiba di rumah ini."

Baik Rafael maupun Serra sama-sama menghela napas berat. Rafael jelas tak suka karena kesenangannya diganggu, sementara Serra mengkhawatirkan hal lainnya.

'Jadi mereka benar-benar serius dengan rencana ini walaupun aku menolak? Astaga, apa yang ada di dalam pikiran mereka? Aku tahu kalau ini mungkin demi kesembuhan Rafael, namun tetap saja ini tak benar. Bagaimana mungkin mereka membiarkan Rafael bersama dengan cinta pertamanya lagi. Apa mereka tidak menganggapku sama sekali?'

Serra mengalihkan kembali pandangannya menuju Rafael. Di mana pria itu masih saja sibuk melukis, walaupun telah mendengar ucapan sang pelayan. Hal itu membuat Serra ikut bertanya-tanya.

"Sayang, kamu tak dengar apa kata Bibi ini? Katanya—"

"Aku nggak mau ke sana." Rafael menyahuti ucapan Serra dengan dingin. Tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dari kertas di tangannya. "Dia hanya calon asisten, kenapa juga harus diperlakukan khusus dengan aku yang harus menyambutnya? Kenapa malah aku yang repot padahal dia hanya seorang bawahan."

Serra dan pelayan itu hanya diam mendengar ucapan datarnya.

"Suruh dia yang datang ke sini dan memperkenalkan dirinya padaku. Suruh dia membawa seluruh pengetahuannya juga, karena aku ingin tahu seberapa hebatnya dia sampai dipilih langsung oleh Mama untuk menjadi pendampingku." Sempat Rafael menggores pensilnya lagi ke buku gambar, namun dia tiba-tiba berhenti. Melirik sang pelayan itu lagi. "Oh ya, suruh dia datang sendiri."

***

"Rafael berkata begitu?"

Ketiga perempuan itu tampak terkejut saat mendengar kabar yang dibawa oleh Asisten Rumah Tangga yang tadi mereka kirim untuk memanggil Rafael. Di mana wanita muda itu menyampaikan hal yang dia dengar dari sang tuan muda.

Ratna dan Bertha tampak saling berpandangan, sementara Luna menelan ludahnya bulat-bulat. Baru dimulai serba sulit sekali rasanya. Ini artinya jalan yang harus dia tempuh menuju uang tiga ratus juta rupiah itu tidak akan pernah mudah.

Bertha bergerak untuk mengambil ponselnya. Dia menunggu sejenak sebelum berbicara, "Bagaimana? Kalian semua sudah dengar itu, kan? Persiapkan diri kalian. Atur semuanya jangan sampai ada kegagalan – sedikitpun."

Sepertinya Bertha berbicara dengan operator yang bekerja untuk mengawasi progres misi. Orang-orang yang terhubungan dengan beberapa perangkat di tubuhnya ini.

"Bagaimana? Apa semuanya lancar di sana? Perangkatnya berfungsi dengan baik, bukan?" tanya Bertha beralih pada Luna.

Luna mengetesnya. Awalnya dia berbicara melalui mikrofon yang terpasang untuk memastikan suaranya didengar di sana, lalu selanjutnya gilirannya mendengarkan para operator.

"Lancar, Bu."

"Oke. Sekarang mulai manfaatkan itu. Sekarang pergilah untuk segera menemui Rafael, lalu perkenalkan dirimu dengan sebaik-baiknya. Rafael mungkin akan menanyakan beberapa hal soal pengetahuan dan latar belakang kamu. Para operator itu yang akan bersiaga mencarikan setiap jawabannya untuk kamu, jadi kamu harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan semeyakinkan mungkin. Agar Rafael percaya kalau kamu pantas untuk menjadi asisten pribadinya."

"B-Baik, Bu."

***

Dibantu oleh pelayan yang tadi, Luna diajak untuk menemui Rafael. Awalnya diajak keluar melalui pintu samping rumah, menyusuri beranda yang dihiasi oleh banyak sekali tumbuhan yang indah dan berwarna-warni. Sehingga akhirnya dia antarkan menuju sebuah taman yang lebih besar lagi.

Diujung sana terlihat ada sebuah pondok kecil, di mana ada dua orang yang tampak duduk berdampingan. Luna tak terlalu yakin sebenarnya, namun sepertinya salah satu dari mereka adalah Rafael. Lalu wanita yang satunya… tak bisa diragukan lagi adalah sosok yang disebut sebagai calon istrinya.

"Silakan ikut saya, Mbak."

Luna tersadar begitu pelayan tadi kembali menuntunnya. "O-Oh, b-baik."

Gadis itu berusaha untuk setenang mungkin, walau akhirnya rasa gugup kembali lebih terasa. Ada sejenis kekhawatiran kalau dia melakukan kesalahan di sisi. Padahal ini baru titik awalnya, bagaimana kalau semua tak berjalan selancar yang mereka semua harapkan?

'Tch, kenapa harus pesimis. Yakin saja. Toh, semuanya sudah disiapkan ini. Aku hanya perlu menjalankan setiap langkah dan petunjuk yang diberikan.'

Luna berjalan dengan lebih yakin. Kini seperti balik ke masa lalu, kini dia sedang berjalan kembali menuju cinta pertama yang dia tinggalkan dulu.

***

Próximo capítulo