Bas mengelus rambut Reyna dengan lembut, dia sudah menyadari kesalahannya yang terus di tunjuk oleh Dini. Bas memang tidak seharusnya melakukan hal yang sedang di senangi oleh puterinya. Dia memang sudah kejam.
"Maafkan, Papa. Kamu jadi seperti ini karena ulah, Papa." Bas menetap lurus sambil bergumam, "siapapun orang yang sudah membuat anak saya terluka seperti ini, saya tidak akan pernah menerima permintaan maafnya. Apalagi melolosakannya hidup."
Dini meminta Bas untuk menjaganya sebentar, dia sedang pulang ke rumahnya untuk membawa baju ganti Reyna selama di rumah sakit. Bas merasa beruntung karena Dini mempersilahkannya untuk menjaga puteri kesayangannya itu, walau memang hanya sementara saat Dini keluar saja. Tetapi Bas sudah merasa senang bisa berada di samping anaknya.
"Maafkan, Papa, nak." Bas mencium kening Reyna dengan hangat, sedikit lama menyalurkan rasa sayangnya.Bas kali ini tidak ingin salah langkah untuk membuat Reyna nyaman, apapun itu dia tidak akan lagi untuk melarangnya.
"Kamu boleh keluar." suara yang terdengar dingin menyeruak di pendengaran Bas, dia melirik perlahan.Dini sudah ada di dekatnya, masih belum menatap dan enggan untuk bertanya hal lainnya.
"Aku ingin menemami puteriku sedikit lebih lama, sayang. Aku mohon." Bas meminta, namun sepertinya Dini memang masih merasa kecewa pada suaminya tersebut.
"Engga."
Bas menghembuskan napasnya, merasa pasrah saja jika sudah seperti itu.
"Kalau ada apa-apa nanti, cepat panggil aku, ya." pinta Bas sambil berjalan ke luar ruangan.
Saat ini keadaan Reyna mulai membaik, namun pada saat malamnya anak itu bermimpi aneh yang hingga sekarang masih belum menceritakannya pada kedua orang tuanya. Reyna hanya tidak ingin membuat mereka semakin khawatir, walau hanya dalam mimpi saja, bagi Reyna sendiri itu seperti dalam kenyataan. Reyna jelas takut, namun dia pendam dan hanya bisa berdiam.
Dini menghela napas halus. Dalam hatinya dia ingin juga Bas menjaga bersamanya di dalam ruangan Reyna, akan tetapi dia juga masih saja merasa kesal saat menatap wajah suaminya.
"Bas, memang selalu saja mengekang apa yang di sukai anakku." gerutu Dini menyimpan tas yang di bawanya dari rumah.
TTOK ... TTOK ... TTOK
Dini memekakan indera pendengarannya saat terdengar suara, dia melirik ke seluruh ruangan di sana. Hanya pintu ruangan yang di luar pasti Bas sedang menjaga dan jendela yang sudah Dini tutup dengan gorden. Tidak mungkin juga arah itu dari depan, Bas mana mungkin sengaja untuk mengetuk pintu, kan?
Lalu?
Bunyi itu kembali, namun hanya terdengar dua kali ketukan. Dini menyipitkan netra sambil sesekali memeriksa, apakah telinganya tidak bermasalah? Suara jendela yang di ketuk dari luar membuat Dini menatapnya lekat dari ranjang rawat Reyna.
"Jendela?" Gumamnya.
Reyna masih terlelap, tidak mungkin Dini bertanya pada puterinya juga. Sejak kapan juga dia menjadi penakut? Dini tidak pernah sekalipun merasa takut pada hantu, mungkin saja ada orang yang sedang bermain-main di luaran.
"Tapi..., bukannya ini lantai sepuluh? Tidak mungkin ada orang yang sengaja jahil."
/////
Sudah beberapa hari ini Citra menjadi cewek pemurung. Semenjak Reyna tidak masuk bekerja dia sangat berubah dari biasanya, Citra seperti kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya sampai semua teman kerjanya di sana merasa terheran-heran.
Mereka pikir memang Citra di tinggalkan oleh pacarnya, atau sahabat yang menjauh. Tapi satu penjelasan dari Cipto, yang kebetulan sudah mengetahui bagaimana Citra yang dekat dan terang-terangan sudah menganggap saudara membuat mereka tercengang.
Citra sudah sangat menyayangi si junior, itu pikiran Cipto.
Mereka tidak pernah bertanya langsung pada sang empu. Cipto beruntung peka dengan semua para karyawan yang begitu ingin sekali tahu masalah orang lain. Citra memang gadis yang tertutup, tidak pernah berbaur tentang masalah hidupnya. Walau berat, Citra sama sekali tidak pernah bercerita apapun itu. Mungkin karena sudah terbiasa sedari kecil, Citra juga tidak pernah membuat orang lain kesusahan oleh dirinya. Misal kerja kelompok saat masih jaman sekolah, paling banyak Citra yang mengerjakannya sendiri walau tugas itu harus berkelompok.
Mungkin karena hal itu juga Citra enggan untuk memiliki teman. Semuanya sama, hanya ingin memanfaatkannya saja. Hati Citra akhirnya terbuka saat melihat Reyna. Entah mengapa anak itu terasa berbeda dari yang lainnya. Reyna membuatnya gemas walau anak itu selalu terdengar mengurutuki Reno yang selalu membuat kesal. Citra akui sifat Reno yang ketus dan tidak pedulian, dia hanya mengerti saja.
Reno mungkin sama seperti dirinya, bedanya anak cowok itu terlihat jutek dan dingin sedangkan Citra mudah tersenyum dan lemah lembut. Mereka tidak terlalu dekat juga, Citra memang mudah berteman, namun hanya mengobrol biasa tanpa begitu ingin mendalami arti tersebut. Cukup mengenal dan mengobrol biasa juga sudah membuat Citra tidak terlalu kesepian.
"Cit, kamu jangan mikirin si junior terus. Kerjaan kamu makin numpuk, tuh. Reno, juga pasti bakal ngomel." Cipto yang terus saja memeringati, namun Citra sama sekali tidak pernah menggubris.
Wajah Cipto berubah masam. Entah sudah berapa kali juga cowok itu mengingatkan Citra, Cipto hanya tidak ingin mendengar ocehan Reno. Cukup dengan melihat teman kerjanya yang sama sekali tidak bicara dari saat masuk kerja, itu saja membuat Cipto menjadi serba salah.
"Besok kita jenguk dia lagi, deh. Kamu jangan gini, Cit." cowok itu menepuk pundak Citra dua kali sebelum akhirnya kembali bekerja.
Citra hanya menahan napas. Ucapan Cipto barusan sedikit membuat hatinya lega, dia harus fokus pada kerjaan terlebih dahulu sebelum kena omelan. Memang benar, pikiran tidak akan mungkin membuat Reyna sembuh dengan cepat. Seharusnya dia berdo'a akan kesebuhan anak itu, bukan terus murung dan bersedih.
Citra sedikit menerutuki dirinya sendiri.
"Citra." Dia menoleh saat namanya terpanggil, tanpa ekspresi di wajah dan kedua tangan yang di masukan ke dalam saku celana sudah sangat Citra kenali.
"Apa?" Citra menjawab ketus.
"Dimana anak baru itu? Kenapa lo ga ngasih tau gue langsung soal dia?"
Citra mengulum bibir sebelum menatap Reno. "Aku udah kasih tau Bos langsung." dia kembali memerhatikan roti yang di pegangnya.
Reno bertanya heran di dalam hatinya, tumben sikap Citra cuek. Dia sih tidak pernah mempermasalahkan, tetapi kenapa juga Reno ingin tahu keberadaan Reyna? Padahal sudah jelas Cipto pernah menjelaskannya. Atau Reno sedang beralasan saja?
"Ngapain tanya soal, Reyna? Bukannya kamu ga suka sama dia?"
Reno jelas gelagapan mendapat pertanyaan itu dari mulut Citra. Sejak kapan Reno ingin tahu masalah dan keadaan orang lain? Reyna yang selalu mendapat omelan dan protesan dari Reno saja, apa cowok itu merindukan seseorang untuk di ocehi?
"Apaan si, lo! Gue nanya baik malah seudzon."
Citra menatap dalam, membuat Reno merinding seketika saat di tatap.
"Kamu pasti peduli juga sama dia."