Dua mobil SUV hitam melesat beriringan di jalan raya yang sepi. Mobil itu membawa Sutris menuju Bandara Juanda Sidoarjo.
Benar kata Pak Tua. Jika kita menjalani sesuatu dengan tabah, maka akan ada jalan keluar. Walau jalan keluar bagi Sutris masih ambigu, yang penting ada cahaya harapan untuknya membiayai adik.
Duduk di jok belakang bersebelahan dengan pemuda gondrong, Sutris berusaha mencari tahu siapa mereka dengan mencerca pertanyaan, tetapi semua yang berada dalam mobil kompak menjawab 'Rahasia sebelum tanda tangan'.
Tanda tangan apa? Memikirkan itu membuat gigi-gigi Sutris beradu dan sekali dia memukul jendela hingga jendela bergetar.
Aksinya menarik pemuda gondrong yang duduk santai. Tangannya menepuk paha Sutris.
"Sabar. Dengan kemampuanmu, aku yakin kesempatan kita untuk menang besar."
Sutris menjawab, "Menang apa? Bagaimana kita bisa menang?"
Pemuda terkekeh menepuk sekali lagi. Kali ini tiada suara lain terlontar dari bibirnya.
Dari arah Krian, dua mobil lain melintas masuk ke iring-iringan. Apa mereka rekan Sutris? Atau lawan? Rasa penasaran memacu kaki Sutris untuk berderap.
Untuk mengisi waktu, Sutris bertanya pada pemuda gondrong. "Siapa para bule yang mengejarmu?"
"Entahlah. Yang jelas mereka ingin mencederaiku dan berhasil."
Memandang luka pemuda sejenak, Sutris kembali fokus ke wajah. "Yang kulihat mereka ingin membunuhmu."
Pemuda terkekeh berat, sepertinya tidak lucu, lebih ke ironis. Dia mengajak bersalaman Sutris selagi berucap, "Perkenalkan aku Yuda dan bos kita tadi bernama Bambang."
Setelah berkenalan, Sutris fokus mengamati sekitar. Mobil mereka sampai ke tujuan. Sutris kira mobil akan parkir di tempat kendaraan parkir, dugaannya salah.
Gerbang besi tinggi dijaga beberapa pria berjas terbuka lebar memberi jalan iringan SUV hitam masuk ke landasan pacu. Kendaraan menuju jajaran hanggar. Salah satu pintu hanggar terbuka luas.
Pesawat jet pribadi terparkir dalam hanggar terang. Cahaya lampu memantul di bodi putih gading pesawat. Beberapa pramugari dan pilot masuk ke sana. Sementara beberapa pria berjas berdiri di membelakangi pesawat.
Sutris bersiul kagum melihat semua itu.
Mobil parkir memanjang. Sutris dan yang lain turun dari mobil. Beberapa pria berpakaian kasual berbaris ke samping di depan meja panjang stainless. Beberapa lembar dokumen tertata rapi di meja.
Di sisi lain meja Bambang berdiri angkuh melepas kaca mata. Kedua tangan melipat ke belakang punggung dalam posisi istirahat di tempat. Dia mengamati Sutris dan yang lain.
"Kalian berempat akan mengikuti Game Billionaire berhadiah utama dua Milyar dollar. Masing-masing dari kalian akan mendapat dua Milyar rupiah, sisanya buat kami. Ada pertanyaan?"
Sutris hendak mengangkat tangan, tapi keduluan oleh pria botak berkaos lusuh.
"Dua milyar dolar, dan kami hanya dapat dua milyar rupiah. Kenapa?"
Bambang terkekeh lalu menjawab, "Iya dong. Kami suporter kalian. Butuh biaya untuk menyiapkan peralatan canggih, logistik, juga membayar uang pendaftaran senilai dua ratus juta rupiah per-kepala. Total …."
Dia menghitung jari. "... uang pendaftaran kalian delapan ratus juta rupiah."
Pria lain mengangkat tangan, bertanya, "Apa semua orang bisa ikut lomba? Maksudku, warga sipil misalnya?"
Bambang mengangguk. "Asal membayar uang pendaftaran, berumur di atas tujuh belas tahun, siapa pun bisa ikut. Resiko cedera dan kematian menunggu. Rencana kami mengikutkan kalian karena kalian orang-orang berbakat dan beberapa dari kalian punya pengalaman mumpuni."
Pria terakhir selain Sutris mengangkat tangan. "Game Billionaire, sebenarnya game apa yang menanti kami?"
"Masih rahasia."
Bambang menaruh tumpukan kertas yang dibagi empat sama rata ke atas meja. "Tanda tangan perjanjian resmi dari pihak penyelenggara game."
Mereka berempat mendekati meja stainless panjang. Di kepala kertas terdapat lambang penyelenggara bertulis Kii, huruf Jepang yang berarti api.
Sekilas Sutris melihat teman-teman barunya sibuk menandatangani surat tanpa membaca. Mungkin mereka orang militer dari penampilan berotot juga cara memegang pena. Selain itu netra mereka penuh percaya diri siap melawan rintangan. Walau bukan tentara, minimal mereka pernah menjalani pelatihan bela diri.
Sutris bertanya pada Bambang sambil menandatangani tumpukan kertas. "Apa kami nanti masuk dalam satu regu?"
Bambang menggeleng. "Tiga tahun lalu ada permainan beregu. Tetapi tidak wajib membentuk kelompok dari satu negara. Bentuk sendiri dan pilih sendiri di lapangan."
Bambang menaruh kertas tambahan ke meja. Di kepala kertas terdapat lambang garuda dalam lingkaran hitam. Di bagian bawah garuda bertengger tiga bintang emas.
"Tolong diisi. Ini perjanjianmu dengan kami," ucap Bambang, menyertakan pulpen ke sebelah kertas.
Sutris duduk sedikit jauh dari yang lain bersama Bambang, karena dia harus menulis biodata.
Ada satu pasal yang menarik perhatian berbunyi, jika kehilangan nyawa, pihak perekrut akan memberi santunan bernilai dua puluh juta untuk keluarga. Keluarga ambil sendiri dengan membawa bukti surat keluarga.
"Bambang, bisa kirim dua puluh juta ini ke akun bank Ibuku kelak jika terjadi sesuatu?"
Bambang bingung memandang balik Sutris. "Di situ kan tertulis--"
"Makannya aku minta tolong. Kirim, jangan beritahu Ibu kalau aku meninggal ikut acara seperti ini."
Bambang mengangguk, wajahnya meringis menghina. "Anak mama ternyata, takut ketahuan?"
Tawanya perlahan sirna ketika membaca status rekam jejak Sutris. "Denjaka itu Detasemen Jala Mangkara?"
Sutris mengangguk, dia memang berasal dari sana. Karena kesalahan besar sewaktu misi, dia dikeluarkan secara tidak hormat.
Bambang terkekeh. "Ah ngarang, kamu hanya ingin terlihat keren. Setahuku semua data anggota dirahasiakan."
Bambang diam sejenak, mencari informasi tentang Sutris di internet memakai nomor N.I.K. Sekarang jamannya informasi bisa diketahui dengan mudah dan memang ada rekam jejak Sutris di Kopaska selama tiga tahun. Namun, selama lima tahun rekam jejak Sutris kosong, dirahasiakan, tahu-tahu dia menjadi buruh pabrik.
Bambang bertanya, "Detasemen berapa?"
"Tiga." Sutris menyudahi mengisi kontrak. "Kapan kita berangkat?"
"Malam ini."
"Bisa minta ijin menghubungi keluarga?"
Bambang mengangguk, pergi membawa kertas dokumen milik Sutris dengan wajah kagum. Mungkin menurutnya Sutris hanya hiperbola mengaku sebagai anggota Denjaka, tapi untuk bisa masuk menjadi Kopassus, tentu Sutris bukan lelaki biasa.
Sutris menghubungi Ibu, pamit dengan alasan ikut diklat pegawai Negeri. Terkadang berbohong bisa membawa kebaikan. Dengan begini Ibu tidak perlu kawatir kelak ketika lost contact selama sebulan atau lebih dengan anak pertamanya.
Setelah semua urusan birokrasi selesai, Bambang naik jet pribadi. Dia berbalik badan menahan Sutris dan peserta lain yang mengikutinya.
"Sorry, kalian naik pesawat reguler menuju Papua New Guinea."
Bambang tertawa memakai kacamata hitam, melambai pada mereka yang turun dari tangga.
"Hati-hati di jalan. Sekali nama kalian masuk ke data base penyelenggara, saingan kita akan mencoba mengeliminasi kalian bahkan dalam perjalanan."
Yuda menghampiri Sutris yang melangkah bersama peserta lain menuju gedung utama bandara.
"Bro, nanti kalau menang bagi seratus juta, ya."
Sutris memandang heran Yuda. Kakinya terseok tapi di otaknya hanya berisi uang.
Dia lanjut bicara, "Ayolah, tanpaku kamu enggak mungkin tahu akan lomba ini, kan?"
Sutris mengangguk. "Seratus juta, kan? Aku beri dua ratus juta, tolong bersumpah sebagai lelaki jaga Ibuku kelak kalau aku tiada."
Yuda terkekeh mencoba mengiringi langkah Sutris yang semakin cepat. "Baiklah, aku janji sebagai lelaki."
Sutris dan yang lain pergi memakai pesawat reguler.
Passport dan kelengkapan lain akan diurus segera oleh pihak bandara. Mungkin ada orang dalam yang membantu mereka.
Dalam pesawat dia sedikit sungkan duduk di sebelah gadis cantik. Dia berdehem, "Permisi, kursi saya di ujung dekat jendela."
"Haik, domo domo." Gadis itu berdiri membiarkan Sutris masuk dengan ramah.
Ingin Sutris mengobrol dengan gadis berkulit putih itu, tapi dia hanya senyum-senyum saja. Bahasa Jepangnya hanya 'haik, kimochi, dan yamete'.
"Mau ke New Guinea?" tanya gadis jepang yang ternyata bisa berbahasa Inggris.
"Ya begitulah," jawab Sutris memakai bahasa Inggris lancar. "Kenapa tidak langsung dari Jepang saja ke sana?"
"Terlalu ribet." Gadis Jepang memperhatikan Sutris sambil bertanya. "Apa yang membawa pria macho sepertimu ke sana?"
Sutris tersenyum bangga dipuji macho oleh gadis cantik. "Bisnis."
Dia mengamati gadis itu. Tangannya kasar, nampak luka gores di beberapa bagian telapak tangan. Sepertinya dia koki atau … Sutris membuang jauh pikiran buruk yang singgah di kepalanya.
"Perjalanan kita jauh?" tanya gadis.
"Lumayan."
"Aku mau tidur, nanti bangunkan."
Gadis yang supel, baru kenal tapi berani meminta tolong.
Sutris menikmati bulan di atas lautan awan dalam tenang. Bulan mengingatkannya pada awal mula bergabung dalam jajaran Kopassus, jauh sebelum dia menjadi Denjaka. Dulu dia dilepas di hutan untuk menjalankan misi selama delapan belas hari. Bulan itu bulan yang sama seperti saat malam itu.
Namun, kenangannya terganggu oleh pantulan dalam kaca jendela. Gadis di sebelah mengeluarkan benda bercahaya seperti pisau dari dalam tas lengan.
Sutris teringat ucapan Bambang untuk berhati-hati, juga teringat kejadian yang menimpa Yuda. Bisa jadi gadis ini ingin mengeliminasinya.
****