webnovel

Perbedaan Tak Terukur

Ares mengangkat Handphonenya yang berdering sejak tadi.

Ia benar-benar mengabaikan para Polisi yang menyuruhnya mengangkat tangan.

"Ya, Halo Soraya?"

Ares mengangguk, lalu menutup handphonenya.

"Nah, karena bayaranku sudah ditransfer, nggak perlu meladeni kalian."

Ares berjalan masuk kedalam Rumah Sakit.

Semua Polisi terdiam sejenak.

"Eh... Kenapa melamun? Kejar dia!"

Pimpinan Polisi diantara mereka memberi aba-aba kepada pasukannya.

.

..

...

"Kalian membawa Rebella yang terluka kembali, lalu dimana Juan?"

Zahal bertanya kepada beberapa Shinobi bawahan Rebella yang kembali kerumah dan merawat luka nona muda mereka itu.

"Ia berada didalam kamar menjaga adiknya, Leon."

Seorang Shinobi menjawab pertanyaannya.

"Tunggu dulu, Rebella terluka parah, Juan disana dan menjaga Leon tanpa bertarung, jangan-jangan..."

Zahal merenung sejenak.

"Jangan bilang kalo dia membiarkan Rebella bertarung sendirian?"

para Shinobi mengangguk mengiyakannya.

"Goblok bener... kalo firasatku benar, jangan-jangan..."

"... Apa terjadi sesuatu dengan Tamasha?"

Zahal bergumam sejenak lalu tanpa mengambil nafas ia menanyakan sesuatu yang mengganjal.

"Saat kami datang menolong nona Rebella, di kamar hanya tersisa Juan dan Leon, lalu kami membawa nona Rebella."

Shinobi lain menjawab pertanyaannya.

"Makhluk dungu macam apa yang hidup disekitarku... Tamasha itu rekan berharga...

Kenapa kalian... Juan... Aduduh..."

Zahal menepuk dahinya.

Dia melihat kearah Pierre.

"Ini bisa jadi pertukaran sandera, dan itu adalah sesuatu yang buruk..."

Cowok yang biasanya terlihat santai itu kini berdiri.

.

..

...

Cafe 54, tempat kerja Brunott.

Pagi ini terlihat lebih ramai dari biasanya.

Bukan karena pengunjung pada umumnya.

Cafe itu sepertinya dipesan oleh satu golongan.

"Baiklah, akan kulihat siapa saja yang hadir disini :

Aku sendiri, Soraya, Zeus, Thor, Gotama, Anubis, Ashura, Shamash, Snippy, dan

juga Brunott."

Surya duduk disuatu pojok diantara meja yang disusun sedemikian rupa hingga menjadi meja bundar.

"Pertemuan kedua ini jadi lebih tenang."

Soraya menengadahkan kepala dan tersenyum sinis, cara merendahkan yang menjadi ciri khasnya.

"Baiklah, kami hadir disini karena undangan mahal dan mewah yang kau tawarkan, cepat katakan apa maumu?"

Diantara sekian banyak Dewa, Thor merupakan salah satu yang frontal dan benci bertele-tele.

"Lihat gadis yang terbaring di kursi, namanya adalah Tamasha, dan di Awaland dia adalah sosok menakutkan dan kini dengan bantuan Ares dan Snippy kami bisa menculiknya."

Soraya menunjukk kearah Tamasha yang terbaring di kursi diselimuti Bedcover tebal.

"Jadi kita akan membunuhnya disini?"

Dengan wajah garangnya, Ashura mengutarakan sesuatu yang tak terduga.

"Tidak, gunakan otakmu, aku akan membagi dua pasukan, yang pertama Dewa yang akan mengambil kembali Pierre, dan yang kedua menjaga Tamasha agar tetap aman disini."

Surya melihat kearah Soraya dan bergumam dalam hati : 'Wanita ceroboh yang mengerikan ini membodohi manusia dengan kekuatan Dewa...'

Suara pintu terbuka, seseorang masuk kedalam Cafe itu.

"Permisi, saya pesan satu kursi disini sekarang bisa 'kan?"

Tak ada yang menggubris suara itu kecuali Brunott : "Maaf, Cafe kami sudah disewa untuk sementara."

"Wah, maaf, kalo gitu aku ikutan join obrolan kalian dong."

Ternyata itu adalah Zahal, dan barusan ia muncul seketika dan merangkul Zeus.

Semua orang yang ada disitu terkejut, terutama Zeus yang tak menyadari kapan Zahal muncul dan merangkulnya.

"Zeus, kemampuan petir yang kau gunakan ini menggunakan daya serap elektromagnet dan muatan listrik yang cukup dari lingkungan sekitar, jadi kau memerlukan waktu untuk mengumpulkan energi..."

Zahal menutup mulut Zeus dengan tangan kanannya.

"Siapa kau? Berani-beraninya..."

CTATARRR!!!!

Kilatan petir menyambar Ashura yang melonjak dari tempat duduknya dan kilatan itu membuat kalimatnya berhenti.

"Perkenalkan, panggil aku Manipulator... Sementara aku disini mengambil kembali seseorang disana, jangan ada yang berpikir melakukan apapun..."

Dingin yang menusuk tulang, tekanan yang menyesakkan, juga kumpulan energi yang sangat besar dan siap untuk disambarkan sewaktu-waktu, seperti menodongkan katana tajam keleher manusia, membuat mereka semua terdiam, terbelalak, bahkan hanya sekadar menelan ludahpun tampaknya tak bisa sembarangan dilakukan, dan ya... benar, Ratatta menelan ludah dan begitu heningnya keadaan disana hingga semua orang bisa mendengar suara ludah yang masuk kedalam tenggorokannya.

Zahal menggendong Tamasha, "Setelah aku keluar dari sini, kalian bisa melanjutkan obrolan garing kalian..."

Ia berjalan santai keluar dari cafe itu.

"Ap... APA-APAAN BOCAH TENGIK ITU!!!"

Emosi Ashura meluap, ia melesat keluar pintu cafe dan menyadari Zahal sudah tak lagi disana.

"Kenapa baru sekarang emosimu meledak, apa yang sejak tadi kau lakukan hingga bisa membuatnya mengambil sandera kita semudah itu."

Soraya memandang Dewa itu dengan pandangan dingin, wajahnya menyembunyikan kesal yang luar biasa.

"Siapapun dia, aku membuang dana yang besar dengan sia-sia kepada sekumpulan pecundang yang nggak bisa menjaga satu orang yang diambil dengan mudahnya oleh seorang manusia..."

Ucapan Soraya membuat harga diri mereka semua terluka, tapi itu faktanya.

"Aku tetap akan membayar kalian tanpa mengurangi sedikitpun, walaupun kalian gagal dan belum memulai apapun, dan itu seharusnya membuat kalian malu...

'Kalian menganggap diri kalian Dewa dengan tubuh manusia yang telanjang dihadapanku'*..."

*Ini adalah bentuk Sinisme yang keras, Konotasi Dewa yang Luhur dan Mulia itu disandingkan dengan tubuh Manusia yang Fana dan direndahkan dengan tubuh Telanjang yang Hina

Semua orang,bahkan Dewa disana tertunduk.

"Kalian semua tahu bahwa aku lemah dan tak kuasa melakukan apapun, dan satu-satunya kelebihanku adalah komando, strategi, juga harta, itu sebabnya aku mengajak dan membutuhkan kelebihan kalian..."

Serangan mental yang bertubi-tubi itu membuat kedudukan Soraya dihadapan mereka menjadi semakin kuat.

"Apa perlu aku mencari orang lain, organisasi, forum, atau tenaga militer yang kompeten, yang menurutku tidak mungkin melebihi kalian yang ada disini?"

Soraya lagi-lagi mempergunakan Majas Paradoks dalam kalimatnya.

'Si Jalang ini benar-benar menggunakan Kemahirannya dalam Merayu, Bernegosiasi, dan mempermainkan mental orang lain, sungguh kemampuan yang menjengkelkan dan berbahaya!'

Surya tak bisa menutupi ekspresi jengkelnya, namun ia membutuhkan kelebihan Soraya untuk menundukkan Monster-monster di ruangan itu.

.

..

...

"Ah, Dokter Eghar akhirnya datang juga, apa anda nggak punya pekerjaan sampingan untukku? Aku butuh pemasukan untukku dan keluarga nih..."

Juan tiba-tiba beranjak ketika melihat Dokter yang dikenalnya memasuki ruangan itu.

"Hmmm... Hai Juan, aku akan memeriksa Tamasha dan Leon lebih dulu."

Juan menutup mulutnya dan terlihat gugup.

"Tamasha kemana, Juan?"

Dokter Eghar yang awalnya berjalan keranjang Tamasha bergeser keranjang Leon, lalu lanjut memeriksa pasiennya.

"A... i... itu..."

"Bayi Idiot Tolol yang Autis dan Nggak berguna ini membiarkan Rebella terluka karena bertarung sendirian dan Tamasha diculik..."

Zahal muncul dan memotong ucapan gagap Juan.

Ia membaringkan Tamasha kembali ke ranjangnya lalu duduk di sofa dengan wajah kesal.

"Infus ini akan memperkuat kekebalan Leon, itu yang dibutuhkannya selama tidak sadarkan diri hingga luka di kepalanya membaik."

Dokter Eghar menjelaskan diagnosanya kepada Juan.

"hey, Dokter, apa kau nggak mendengar ucapanku barusan?"

Zahal menegur Dokter Eghar yang mengabaikannya.

"Aku mendengarmu, Manipulator, mudah saja, kau sudah berhasil mendapatkannya 'kan?"

Zahal membenturkan kepalanya ke dinding.

"Lagipula seandainya terjadi sesuatu dengan Tamasha, ia sudah mempersiapkan dana yang dibutuhkan untuk membayar jasaku."

Mendengar ucapan itu Zahal membenturkan kepalanya lebih keras lagi.

"Sebenarnya kau ini kenapa sih, Manipulator..."

Baik Juan dan Dokter Eghar menanyakan tingkah Zahal yang menurut mereka aneh.

"Kalian membuatku terlihat konyol! Tamasha ini rekan yang...."

Ia tertunduk lemas, "Sudahlah... Akan kukembalikan gadis ini ke lawan..."

Zahal menggendong Tamasha dan lenyap.

"HEY!!! APA YANG KAU LAKUKAN? TUNGGU MANIPULATOR!"

Keduanya, Juan dan Dokter Eghar mendadak gugup dan berteriak memanggil Zahal.

.

..

...

"Baiklah, berarti dari Olympus, Asgard, dan yang lain sudah siap?"

Surya tampak memastikan sesuatu setelah pembahasan sebelumnya.

Perubahan Hawa, Tekanan, dan Suhu yang mendadak mengejutkan semua orang didalam Cafe 54 itu.

"Maaf mengganggu, sepertinya kami nggak butuh gadis ini, lakukan sesuka kalian..."

Zahal mengembalikan Tamasha ke tempat ia membawanya tadi lalu berjalan keluar Cafe dengan lemas.

Semuanya melongo, terbelalak, tak bisa berkata-kata apapun.

.

..

...

Di puncak sekolah yang tak asing.

"Hidup adalah Permainan yang sulit*, apalagi jika bersama dengan Badut-badut konyol seperti mereka..."

*Zahal mengutip Ucapan khas Shiro dan Sora dalam anime 'No Game No Life'.

"Hahh... hahhh... hahh...."

Suara desahan nafas seseorang yang kelelahan muncul dibelakang Zahal.

"Hey Bajingan! Kemana kau bawa Tamasha?"

Juan muncul dengan nafas yang memburu.

"Cafe 54 di perbatasan Surabaya. Itu adalah tempat mereka berkumpul."

Zahal duduk bermalas-malasan dan menjawab pertanyaan Juan dengan enteng.

"Aduh! Kenapa malah kau bawa dia kesana..."

Juan menggerutu.

"..."

Zahal mengabaikan Juan dan tertidur.

"Dasar tidak bertanggung jawab..."

Juan beranjak menjauh.

"BOLEH AKU MEMBUNUHMU SEKARANG?!!!"

.

..

...

Waktu berlalu hingga petang.

Juan melihat sebuah Cafe dengan Neon Box dan beberapa Atribut bertuliskan 'Cafe 54' dan memutuskan menghampirinya.

"Hmmm... Rame juga..."

Juan masuk kedalam ruangan, seketika ia merasakan perubahan suhu, tekanan, dan hawa dalam ruangan itu.

Soraya, Surya, Brunott, Snippy, dan para Dewa didalamnya menoleh kearah Juan...

Saat itu Juan merasa seperti berada di tengah gurun dalam kondisi telanjang di malam hari.

Tak terasa tubuhnya gemetar, perlahan ia melirik dan memastikan Tamasha berbaring disuatu tempat.

Melihat sosok yang dicarinya membuatnya yakin, namun wajah gugupnya yang pucat dan keringat dingin yang muncul disekujur tubuhnya tak bisa dipungkiri bahwa ia sedang berada diperbatasan antara hidup dan mati.

"Target kita sepertinya menyerah tanpa syarat."

Soraya tersenyum puas dengan wajah yang dingin dan terlihat begitu kejam.

Próximo capítulo