webnovel

Asosiasi Dewa

"Hey Thor, lemparkan apel itu kesini!"

"Kau pikir aku siapa? Jangan mentang-mentang manusia mengakuimu dan jadi besar kepala, Zeus!"

"Sesama Dewa jangan berdebat, Zeus, Thor!"

"Jangan hentikan mereka, Kwan Im. Sudah lama nggak ada pertempuran antar Dewa!"

"Kita sebagai Dewa-Dewi harus menebar kedamaian, Ares..."

"Odin kemana? Apa dia akan mengajak Loki kali ini?"

"Tak perlu menanyakan Odin, kau sendiri kemana kedua saudaramu, Poseidon, dan Hades, Zeus?"

"Itu bukan urusanmu Judas!"

Sebuah lonceng berbunyi dan menghentikan keributan mereka.

"Mohon tenang semuanya, jika kalian masih ribut hidangan utamanya nggak akan kubagikan."

Seorang Wanita dengan pakaian rapi seperti seorang direktur datang memasuki ruangan itu.

"Kau berani sekali mengancam mereka, Soraya."

Seorang kakek bertubuh tegap, berpostur tinggi, besar menyusul wanita barusan.

"Aku bukanlah seorang Pensiunan Bangka yang Pengecut sepertimu, Surya!"

Wanita dengan dandanan mewah itu ternyata berlidah tajam.

"Harta kekayaanmu benar-benar bisa membeli Dewa sekalipun ya, Soraya? Dan dengan ini kita pasti bisa membunuh Juan! Hahaha!"

"Negosiasi kita mencapai kesepakatan jika harta kita berdua digunakan untuk menyewa Dewa hingga mampu membunuh Juan bukan, Surya?"

.

..

...

"Kau nggak perlu menjenguk Tamasha setiap hari, Juan."

Arnold menyambut Juan yang datang melalui pintu utama Rumah Sakit dan berjalan bersama.

"Aku berniat menjenguk Leon, bukan Tamasha..."

"Wah, setelah kejadian tertembaknya Leon, sifatmu berubah ya?"

"Ingatan yang muncul setelah itu membuat seluruh lelah karena pertarungan selama di Awaland berkumpul dan itu terasa membebani tubuh dan pikiran."

Mereka sampai di depan ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) lalu masuk ke dalam dan menemui Dokter Eghar yang sudah menunggu mereka.

"Kumpulan Ingatan milik Tamasha dan Juan berbeda jauh.

Aku yakin ketika berada di Awaland Tamasha lebih serius menanggapi permainan itu dan bekerja keras dibanding dengan Juan."

Arnold melihat Juan dengan wajah kecut namun Juan mengabaikannya.

"Lalu mengenai Leon, luka di kepalanya tidak memberi dampak serius terhadap anggota tubuh lainnya. Yah, kita hanya bisa menunggu proses penyembuhannya."

Dokter Eghar beranjak meninggalkan ruangan itu, namun sebelum benar-benar keluar ia menambahkan beberapa kalimat : "Masalah biaya, Tamasha sudah mempersiapkan semua kemungkinan dan kau tak perlu risau."

"Yah, saat ini sebetulnya hal itu juga jadi beban pikiranku, beruntung Tamasha pengertian juga..."

Juan membalas ucapan Dokter Eghar yang sudah meninggalkan ruangan itu.

"Oh iya, Juan, Kemarin kami menemukan gulungan ini di dekat ranjang adikmu."

Arnold menunjukkan sebuah gulungan kepada Juan. Gulungan yang tampak seperti lembar kaligrafi.

Begitu Juan menyentuhnya, ia merasakan sensasi yang sama seperti ketika ingatannya muncul.

"Jadi begitu..."

Juan mendekat kearah jendela dan memperhatikan sesuatu yang tak dipahami Arnold.

.

..

...

SMA Samudera, Juan berdiri di puncak bangunan tertinggi di sekolah itu.

"Bajingan seperti dia menyukai ketinggian rupanya..."

Juan berbisik sambil melihat pemandangan senja diatas gedung itu.

"Sepertinya sekarang kau lebih sering mencariku secara tiba-tiba...."

Zahal muncul disebelah Juan.

"Rebella menawarkan pasukan pengawal(Yakuza) dan pengintai(Shinobi) kepadaku, jadi aku sudah nggak perlu pengawal Pelajar SMA milikmu."

Juan duduk santai ditepi gedung menikmati pemandangan disana.

"Pengawal Pelajar SMA milikku suatu saat sangat berguna, dan kau menyia-nyiakan mereka."

Zahal memasukkan telapak tangannya kedalam saku celana dan melihat arah yang sama yang dilihat Juan.

"Sebetulnya aku kesini memintamu untuk membacakan seluruh nama Calon Dewa yang saat itu belum sempat disebutkan ketika berada di Perpusnik."

"Kau harus memohon dengan melakukan apa yang kuminta..."

Zahal melakukan tawar-menawar dengan Juan...

"Kau pikir aku akan memohon padamu?"

Juan berdiri dari posisi duduknya tadi.

"Ya... Kau akan melakukannya, karena sebentar lagi kita akan menghadapi kekuatan yang tak terduga..."

Zahal yang sadar Juan sedang melihatnya dengan serius malah mengabaikannya dan memandang jauh ke suatu arah dengan tatapan tajam.

Juan yang sadar dengan perilaku tak wajar itu memalingkan wajahnya kearah yang dipandang Zahal.

Sebuah awan mendung yang sangat gelap berbatasan dengan langit senja yang indah, pemandangan yang menurut Juan mustahil terjadi dan tak pernah ada sebelumnya.

.

..

...

"Nah, yang perlu kulakukan hanya menyambarkan petir ke koordinat ini kan, jalang?"

Seseorang yang sebelumnya dipanggil 'Zeus' berdiri disebuah gedung tinggi di pusat kota Surabaya.

disebelah kanannya berdiri Soraya yang mengangguk mengiyakan pertanyaan Zeus, lalu disebelah kirinya Snippy mengamati apa yang akan terjadi.

"Kali ini adalah Promo, Uji coba (Tester) Gratis!"

Suara serak kakek-kakek berwibawa muncul menggema setelah pria bertubuh remaja 11 tahun itu mengambil ancang-ancang seolah melakukan 'Lempar Lembing'

Beralih ke posisi dimana Juan dan Zahal berada. Jauh diseberang sana, posisi dimana awan hitam itu berkumpul, muncul muatan-muatan listrik dengan tegangan raksasa mengalirkan kilatan-kilatan yang berkumpul di satu titik.

"Hahaha, jadi ingat salah satu adegan pertarungan Vilxliv versus Zahal!"

Suara Zahar tiba-tiba terdengar bersemangat.

"Apa kau sedang memuji diri sendiri?"

Juan menanggapi ucapan lawan bicaranya itu.

"Kau sebaiknya minggir atau mati terpanggang, Dewa rendahan!"

Tangan kiri Zahal menarik bahu Juan yang terlihat mulai gugup.

"Kau yakin akan menanggapi itu, Bajingan?"

suara Juan yang melemah memperlihatkan keraguan yang besar.

"Heheh... jika aku bisa mengatasinya, maka memang 'Aku Terlahir untuk menjadi Dewa'!"

Zahal membalas ucapan Juan.

Kilauan cahaya putih berkedip sangat cepat disertai getaran kuat dan radiasi panas yang menyengat.

Mata Juan tak sanggup berakomodasi dengan cepat dengan kilatan cahaya putih yang menyilaukan itu, tubuhnya kaku seperti kesemutan, hawa disekitar tubuhnya berubah-ubah menjadi tidak stabil, secara mendadak seluruh bulu ditubuh-bahkan rambutnya terangkat berdiri.

"CTARRRRRR!!!!!!!TATATATATATATATARRRRR!!!!!"

Jauh di seberang posisi Juan dan Zahal, begitu jauhnya hingga penglihatan tajam milik Snippy tak dapat menembus jaraknya, Soraya dan Snippy merunduk dan menutup telinganya rapat-rapat.

Juan menutup mata, namun jika biasanya terlihat kegelapan saat menutup mata, kilatan cahaya putih itu masih tak lenyap juga karena begitu silaunya kilatan cahaya itu.

"Zahal?!"

Ia tak dapat mendengar suaranya sendiri setelah Ratusan Decibel suara kilatan Petir mengarah persis kearahnya.

Seorang cowok mengenakan jaket kulit, celana panjang, sepatu, bahkan sarung tangan berwarna hitam berdiri disebelah Juan yang merunduk menutup mata dan kedua telinganya.

Tidak ada yang berubah dari penampilan Zahal selain seluruh bulu di tubuhnya yang menjadi Reseptor Listrik berskala Raksasa hingga pigmennya berubah menjadi putih. Disekeliling tubuhnya percikan-percikan listrik mengalir mengelilinginya.

"Fiuhh!!! Jadi ini rasanya tersambar petir didunia nyata..."

Suara Zahal menjadi jauh lebih berat.

"Ehh... suaraku..."

"Hey, Dewa rendahan, berdirilah..."

Zahal melihat kearah Juan yang masih belum bisa mendengar ucapannya.

Ia malah terlihat aneh karena mengedip-kedipkan matanya seolah tak bisa melihat apapun.

"Hei-hei, jangan bilang penglihatanmu..."

Zahal mencoba menerka apa yang dialami Juan.

"Hei Bajingan! Kau dimana?!!"

Juan berteriak sekeras mungkin, tapi ia tetap tak mendengar suaranya sendiri.

Sebaliknya, Zahal sadar apa yang sudah terjadi.

.

..

...

"Terima kasih imbalannya, aku yakin mereka akan menyerah sebentar lagi."

Snippy menerima uang yang disodorkan oleh Soraya.

"Tak masalah, dengan kemampuan milikmu, 'Negosiasi' kita menghasilkan keuntungan yang luar biasa!"

Soraya membalas ucapan Snippy.

"Lima puluh dolar hanya untuk menggaruk serangga kecil, aku nggak pernah membayangkan mencari uang semudah itu sebelumnya!"

Zeus menyela percakapan Soraya dan Snippy.

Ketiga orang itu, Snippy, Soraya, dan Zeus beranjak turun dari gedung itu.

.

..

...

"Sambaran petir di hari yang cerah, firasat macam apa ini..."

Di sebuah kamar bernuansa Jejepangan, sebuah Fusuma terbuka menunjukkan fenomena petir disenja yang indah. Gadis bertubuh mungil berpakaian kimono sedang bersimpuh, dihadapannya tersaji secangkir kecil Teh Hitam.

"Rebella, cepat masukkan pakaian yang sudah kering!"

Suara seorang wanita paruh baya memanggil sosok gadis itu.

"Siap bu!"

Dia adalah Rebella, terdapat bercak merah pada mata sebelah kanannya, seperti pendarahan yang membekas dan tak bisa hilang.

Próximo capítulo