Dalam gelapnya malam, ruangan yang penuh ukiran-ukiran bunga menghiasi tembok, cahaya redup menyelimuti ruangan, sehingga udara menjadi hangat. Di sinilah Hasan meletakkan anggota tubuhnya berbaring berselimutkan kain berwarna biru, terpejam dan menjelajah dunia mimpi, dunia yang tidak mengenal batas waktu dan tempat.
Dalam tidurnya, Hasan seakan-akan melihat seorang berjubah putih menghampirinya dan berkata, "Le ... Wong tuo iku penjaluki ora muluk-muluk nang anake, kepengen anake dadi sukses, iso ngirim dungo sok lak wes balik nang sang kuwoso (Nak ... Orang tua itu keinginginannya tidak macam-macam pada anaknya, ingin anaknya jadi orang sukses, bisa mendo'akannya jika sudah pulang kepada yang Maha Kuasa)" ungkap orang misterius berjubah putih sambil memegang pundak Hasan.
"Pangapunten, jenengan sinten? (Maaf, Tuan Siapa?" tanya Hasan pada orang berjubah putih itu, dengan menatap wajah tak berkedip sedikitpun.
"Ingat Orang tua!" kata orang itu, sambil pergi dari hadapan Hasan. dengan meninggalkan senyuman manis.
"Tuan ... tuan ... tuan! Ampun tindak rien, Tuan dereng jawab pertanyaan kulo (Jangan pergi dulu, Tuan belum menjawab pertanyaan saya)" Hasan memanggil-manggil orang itu dengan suara lantang.
Hasan berlari menyusul Orang itu, tetapi bagai diterjang ombak besar tiba-tiba orang itu hilang tak berbekas, Hasan menjatuhkan tubuhnya di tanah dengan berlutut sambil berkata, "Ya Allah Siapa dia?" Hasan terlihat dia memandang ke arah kosong.
"Lap ... lap ... Cetaaar!" Suara halilintar dari langit seakan ingin menghancurkan tebing-tebing yang curam. Hujan pun turun dan Hasan bergegas lari mencari tempat teduh, tetapi belum sampai ke tempat berteduh Hasan jatuh karna terpeleset kakinya dan terbangun dari tidurnya.
"Huhf ... Huhf, ternyata mimpi," kata Hasan (berbicara sendiri)
"Apa itu arti mimpi saya itu?" lanjut kata Hasan.
"Apa artinya saya harus mengikuti Orang tua saya?" imbuh Hasan sambil menerka-nerka arti mimpi itu.
"Besoklah saya ceritakan pada Izan, siapa tahu Dia bisa memberi Nasihat," suara hati Hasan.
Tak lama jam dering Hasan berdering menunjukkan pukul 03.00 Wib, Hasan pun mengambil air wudlu dan menunaikan Sholat Tahajud yang sudah menjadi rutinitasnya.
Keesokan harinya, Sang Surya mulai menampakkan kejantanannya seakan-akan siap membakar belahan bumi, Burung-burung bernyanyi-nyanyi di dahan pepohonan, di iringi hembusan angin segar, Hasan, bergegas pergi.
"Hasan ...!" Ibunya memanggil.
"Iya Bu ...! bentar" sahut Hasan, sambil mencari sendal.
"Ada apa Bu," tanya Hasan sambil membenarkan pakaiyan celananya.
"Mau kemana kamu ini? pagi-pagi sudah rapi gitu" tambah Ibu.
"Hasan, mau kerumah Izan Bu,"Jawab Hasan. dengan nada pelan.
"Ya udah, cepat berangkat, nanti keburu pergi Izan," perintah Ibu. sambil menggoreng ikan.
"Iya Bu, Hasan berangkat dulu, Assalamu'alaikum," sambil mencium tangan sang Ibu.
"Wa'alaikumsalam, ya udah hati-hati,"sahut Ibu
Hasan pun pergi bergegas kerumah Izan tak lupa Hasan membawa oleh-oleh untuknya.
Izan yang sedang duduk-duduk di teras rumah melihat Hasan berjalan mendekat, tidak menunggu lama Izan menyapanya lebih dahulu.
"Mas, sini ngopi bareng, sambil bincang-bincang," ajak Izan padan Hasan, sambil mengangkat secangkir kopi.
"Zan, boleh ndak saya bercerita," permintaan Hasan berbagi cerita, sambil mulai duduk disamping Izan.
"Dengan senang hati saya mendengarkan," sahut Izan. sambil memandang Hasan.
"Emangnya mau cerita apa San?" imbuh Izan.
seakan penasaran apa yang akan diceritakan.
"Tadi malam, waktu saya tertidur lelap, saya bermimpi didatangi Orang yang berjubah putih, seraya berkata "Nak ... Orang tua itu keinginginannya tidak macam-macam pada anaknya, ingin anaknya jadi orang sukses, bisa mendo'akannya jika sudah pulang kepada yang Maha Kuasa," Hasan ceritakan mimpinya pada Izan.
"Dia sebelum pergi ditelan bumi, sempat berpesan, "Ingat Orang Tua," sambil menepuk pundakku dan kemudian pergi," imbuh Hasan, meyakinkan Izan, sesekali menggeliatkan tubuh ke kanan, kiri.
"Ha ... itu Mas!" sahut Izan, sambil mengambil secangkir kopi untuk diminumnya dan selanjutnya diletakkan kembali.
"Itu Gimana Zan?" sahut Hasan, juga ikut menyeruput secangkir kopi susu hangat yang membuat nyaman bincang-bincang mereka.
"Ha ...!, itu berati Mas di suruh ke pesantren menggali pengetahuan, pengalaman, pedoman, selain berguna untuk Mas Hasan sendiri, juga Orang tua Mas mengharap itu di kemudian hari," ungkap Izan.
"Ingat Gak Mas? Alloh juga berfirman pada Al-Qur'an Surat Al-Luqman ayat ke 14 yang berbunyi:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانُ بٍوَالِدَيْهِ، حَمَلَتْهُ اُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِى وَالِدَيْكَ
Yang artinya "Dan kami telah perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahin, maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu".
kita harus ingat ini, agar bisa berbuat baik pada orang tua salah satunya mengikuti keinginannya selama itu tidak bersebrangan dengan hukum syari'at, dan melihat keinginan orang tuamu sangat bagus untuk kedepannya bagi Mas" terang Izan
"Kalau ingat-ingat itu ya rasanya ingin sekali mengikuti Orang tua," sahut Hasan, terlihat matanya berkaca-kaca.
"Akan tetapi, masalahnya Aurel Zan!, Gimana? rasanya kagak tega nyakitin hatinya, baru aja jadian masak diputus," imbuh Hasan, sesekali Ia memegang kepalanya, menjambak-jambak rambutnya.
"Mas, saya mau tanya ya, apa memang Mas mau serius menikah sama dia, melihat umur kalian aja masih segitu, toh belum tentu nanti dia jodohmu bisa jadi Aurel dijodohkan oleh Orang tuanya, secara diakan anak dari keluarga terpandang," bujuk Izan sambil membenarkan bajunya yang tak sengaja kebuka.
"Ingat ya Mas! perjalanan Mas itu masih panjang, perlu pengalaman-pengalaman yang banyak," imbuh Izan.
"Huh ...! ya udahlah saya usahakan menerima keadaan," sahut Hasan sambil membungkukkan tubuhnya ke lutut.
"Mas ... lihat itu!" kata Izan sambil mencoba menegakkan badan Hasan.
"Apa Zan?" sahut Hasan, tetap pada posisinya.
"Itu lihat! Siapa yang datang?" kata Izan sambil mendorong-dorong tubuh Hasan.
"Aurel Mas yang datang," imbuh Izan.
"Wow ... Aurel!" sontak Hasan langsung berdiri. bagai petir menyambar pohon, hati Hasan menjadi tak karuan, sesekali membenarkan rambut kepala dan merapikan bajunya.
"Assalamu'alaikum," sapa Aurel pada Izan. terlihat manis dengan senyuman tipisnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab Izan, terlihat terpana oleh senyuman Aurel.
"Ada apa ya?" Mbaknya kesini, tumben sendirian pula, cari saya ya?" canda Izan, sesekali dia balas dengan senyuman tipisnya.
"Ini ...! mau cari Kang Hasan, kata Ibunya dia kerumahmu," kata Aurel dengan nada lembut.
"Oh ...! cari Mas Hasan, kirain cari saya, ada tuh di dalam, Oh iya silahkan masuk Mbak," Izan bergegas ke dalam.
"Mas, saya ke dapur dulu ya, tidak enak kalau saya nungguin di situ, nanti saya jadi obat nyamuk dong," canda Izan pada Hasan sambil pergi dan selanjutnya tubuhnya hilang dibalik selambu hitam.
"Kang Mas, saya cari kerumah ndak ada ternyata disini, Bagaimana kabarnya Akang? tanya Aurel dengan senyumannya yang mampu memikat orang lain, dan mendekatinya.
"Alhamdulillah baik Neng, saya dari tadi di sini," jawab Hasan tak lupa ia membalas senyuman yang tak kalah manisnya hingga lesung pipinya terlihat.
"Ada apa? Neng mencari saya pagi-pagi kayak gini," imbuh Hasan sambil membenarkan letak duduknya.
"Kangen Kang, tiga hari tidak bertemu rasanya hmm, ingin cubit pipi Kakang," rayu Aurel yang lagi kasmaran.
"Ada-ada aja kamu ini," sahut Hasan sambil menghilangkan daun di kerudung Aurel.
"Masak ndak boleh, Kang ayo jalan-jalan nanti, aku mau kasih sesuatu pada Akang," ungkap Aurel,
"Bentar-bantar, Akang habis menangis! Ada apa Kang?" perhatian Aurel.
"Tidak ada apa-apa Neng, biasa ada masalah sedikit," sahut Hasan sambil menghapus Air mata yang masih tersisa.
"Jangan gitu ah Kang, ayolah cerita masalah apa? bukan masalah kita kan," kata Aurel.
"Bukan, tenang saja tidak ada apa-apa," sahut Hasan.
"Tapi maaf ya Neng, saya hari ini tidak bisa keluar harus bantu Ayahku di ladang," imbuh Hasan yang menutupi masalah yang ada difikirannya.
"Hah, ya udah besok ndak apa, kalau gitu saya pulang dulu ya Kang, jangan lupa kalau besok bisa telpon saja," ungkap Aurel dengan nada lemas, kecewa.
"Assalamu'alaikum," Aurel permisi pulang dan pergi tak lama tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.
"Wa'alaikumsalam, maafkan ya Neng, Akang berbohong pada Neng," ungkap Hasan dalam hatinya.
"Zan ...!" sapa Hasan dengan nada keras.
"Ia Mas, bentar," sahut Izan seraya berjalan mendekati Hasan.
"Gimana Mas jadinya?, terus pacaran atau ke pesantren," tanya Izan pamungkasnya.
"Ya, mantep ke pesantren Zan," jawab Hasan yang terlihat tak bertenaga.
"La terus Aurel, Bagaimana?" tanya Izan lagi.
"Entahlah Zan, saya pikir dulu, cari waktu yang pas," jawab Hasan.
"Ya udah saya pulang dulu, makasih nasihatnya, semoga saya dapat mengatasinya," imbuh Hasan.
"Amin" sahut Izan mengaminkan Doa Hasan.
"Assalamu'alaikum," sapa Hasan, minta izin pulang.
"Wa'alaikumsalam, Mas ... Mas ... semoga bisa melewati ya kamu," jawab Izan dan ungkapan dalam hati mendoakan Hasan.
Gimana kisahnya kelanjutannya ...
Bisakah Hasan meluluhkan Hati Aurel yang disayangi untuk ditinggalkannya?
Bagaimana nasib dan sikap Aurel jika tahu kalau diputus? nantikan kisah selanjutnya di sini.