webnovel

Kejujuran Atau Tantangan

Kejujuran atau tantangan, mereka sama sekali tidak berbeda. Sejauh pengalamanku, tak ada dari salah satu di antara keduanya yang lebih baik. Apapun yang kau pilih selalu berakhir dengan rasa malu, marah, sedih dan kecewa. Sangat jarang jika mendapat kesenangan.

Permainan ini dibuat bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk mempermalukan satu sama lain.

Hanya saja, tergantung seberapa rasa malu itu menghantui hidupmu selanjutnya.

Banyak teman-temanku yang memilih mengatakan kejujuran lalu berakhir dengan rasa malu seumur hidup, hubungan percintaan yang kandas, ataupun pulang dengan wajah bonyok karena mengatakan dia telah tidur bersama pacar temannya.

Tetapi ada pilihan tengah, ini paling banyak dipilih sebagai jalan akhir jika keduanya —kejujuran atau tantangan— sama sekali tak memungkinkan untuk dilakukan. Dengan cara meminum setidaknya dua gelas besar bir campuran. Kadar alkohol yang tidak bisa diukur membuat kebanyakan orang teler setelah meminumnya. Untu itulah aku selalu menghindari permainan ini dan berakhir dikucilkan karena menurut mereka aku terlalu pengecut.

Padahal harusnya mereka berterimakasih padaku. Bukannya mau menyombongkan diri, tetapi berkat kesadaranku yang masih pulih mereka bisa pulang ke tempat mereka masing-masing. Aku lah satu-satunya orang yang memesankan mereka taksi untuk pulang, atau menjaga agar mereka tidak tersedak muntahan sendiri karena berbaring telentang, menutupi tubuh-tubuh bergelimpangan di atas lantai dengan kain tebal, membersihkan sisa kekacauan.

Cukup melelahkan dan mengesalkan sebenarnya, tetapi berkat ini tak ada satupun rumor tentangku selain sebutan pengecut. Aku lumayan terbiasa dengan itu, setidaknya bukan hal lain. Bukan masalah privasi yang bisa saja membuatku terus menatap lantai sepanjang hidup karena terlalu malu untuk mengangkat wajah.

Berbeda dengan Lucas. Dia begitu tak ingin disebut sebagai pengecut dan akan melakukan apa saja untuk terlihat paling berani di antara kami. Setiap tantangan selalu berhasil dia lakukan —memanjat pohon, mengetuk pintu rumah orang lalu pergi sebelum pintu itu terbuka, bertelanjang dada lalu menari di tengan lampu merah— meski pada akhirnya akan membuat perasaan malu menggunung. Tetapi itu lebih bagus ketimbang di anggap pengecut. Lain halnya dengan Kejujuran, pilihan itu selalu membuat Lucas menenggak berliter-liter minuman keras demi menghindari setiap pertanyaan di ajukan.

Kami duduk berhadapan, dengan bungkus snack jagung terbuka di sisiku dan sekaleng bir di sisinya. Mengambil urutan permainan dengan kertas, gunting, batu. Siapa yang menang akan mengajukan pertanyaan bagi yang kalah. Ini tidak terdengar adil, keberuntungan menjadi poin utama untuk menentukan siapa yang beruntung sedangkan lainnya tidak.

Dan, aku lah pihak tidak beruntung itu.

"Kejujuran atau tantangan?"

Aku terlalu malas untuk bergerak, karpet bulu milik Lucas terasa nyaman menjadi alas bagi tubuhku, maka melakukan tantangan adalah pilihan lumayan bodoh karena membuatku mau tak mau harus bergerak. "Kejujuran," jawabku.

Lucas berdehem. "Kau yakin?"

Aku mengangguk. Lagipula, ku rasa tak ada hal yang ku tutup-tutupi pada Lucas. Kami telah mengenal sangat lama.

"Apa kau memang berniat ke rumahku sebelum bertemu denganku di halte?"

Mataku terbeliak. Sejak kapan Lucas bisa membaca pikiran seseorang, itu terdengar mengerikan juga keren di saat bersamaan. "Whoa.. Bung! Kau cenayang yah?"

"Jadi benar?"

Aku mengangkat bahu, memasukan tangan ke dalam bungkus snack untuk mengambil beberapa potong. Rasa jagung bakar. "Bisa dibilang begitu, tetapi tidak juga.." Kini mulutku penuh oleh remahan snack jagung bakar. Lidahku menjilati sisa-sisa bumbu yang menempel pada ujung-ujung jari, menjaga agar tak mengotori karpet bulu di bawahku.

"Jangan ambigu begitu dong!" Bass-bariton milik Lucas meninggi seiring dia mencondongkan tubuh ke arahku.

"Kenapa tidak terima sih?!"

Lucas merengut, menarik kembali tubuhnya pada posisi semula. Permainan berlanjut dengan kertas, gunting, batu seperti biasa. Ini mungkin bisa dibilang takdir, karena Lucas lah yang kalah.

"Jadi.." Aku mengunyah beberapa potong snack sekaligus. "Bisa kau katakan siapa orang yang kau sukai sekarang?"

Aku bisa melihat perubahan di wajahnya. Lucas bukanlah seseorang yang pandai menyembunyikan sesuatu sebenarnya, karena dia akan selalu menunjukkan raut wajah semacam ini jika sedang panik yang cenderung membawanya untuk berbohong.

Dia menenggak bir kalengan untuk menghindari pertanyaan semacam ini. Bukan hanya padaku, tetapi pada siapapun. Aku curiga jika dia sebenarnya memang telah memiliki kekasih dan terlalu malu untuk mengatakannya padaku. Wah, kalau itu sungguh terjadi, aku akan sakit hati karena dia tak menganggapku sebagai teman dekat.

"Ckckck.. Mau sampai kapan kau menghindari pertanyaan ini sih?"

"Bukan urusanmu," ketusnya lalu meremas kuat kaleng bir. Membuat bongkahan alumunium itu gepeng.

"Astaga, kenapa kau jadi sensitif?"

"Lanjutkan saja permainannya."

Aku mengernyitkan dahi ketika menyadari bahwa Lucas sedang kesal. Apakah ini karena aku memaksanya untuk bermain game horor? Atau karena ejekan Anna beberapa saat lalu.

Kertas, gunting, batu, dan Lucas lagi-lagi kalah.

"Kejujuran atau tantangan?"

Padahal Lucas bisa memilih tantangan, tetapi yang keluar dari mulutnya sama dengan pertama kali. "Kejujuran."

"Kau yakin?"

Lucas mengedikkan bahu, seakan mengiyakan pertanyaanku barusan. Atau mungkin dia bersikap pasrah?

"Apa aku mengenal orang yang kau sukai?"

Lagi-lagi Lucas tak menjawab dan malah menenggak sekaleng bir lain. Sampai habis tak tersisa. Dan seperti biasa di akhiri dengan adegan peremasan kaleng bir tak bersalah.

"Kau hanya beralasan untuk minum saja tanpa berniat menjawab pertanyaanku sungguhan kan?" Mataku memicing, mengamati segala perubahan raut wajah meski itu hanya berupa lirikan mata atau kedutan di pojok bibir. Nihil, wajahnya sama sekali tidak berubah. Mungkin aku terlalu cepat menyimpulkan, mungkin Lucas memang tak sedang menyembunyikan apapun. "Baiklah..."

"Mau lanjut?" tanyanya.

Tentu saja permainan ini harus berlanjut. Rasa penasaranku semakin memuncak setiap kali dia menenggak bir. Apakah benar hanya ingin minum lebih banyak atau sesuatu tengah dia sembunyikan rapat-rapat?

"Iya."

Kertas, gunting, batu. Seperti boomerang, kini aku yang mendapatkan ketidakberuntungan.

Aku bisa melihat sudut bibir Lucas terangkat meskipun samar. Dia membuka mulutnya.

"Kejujuran," kataku tepat sebelum Lucas berbicara. Kembali mengatupkan mulut rapat-rapat, tetapi aku yakin dia masih merasa puas dengan pilihan kejujuran yag aku ajukan.

"Kalau kau sendiri? Apa ada orang yang sedang kau sukai?"

Apa ini balas dendam? Kalau memang begitu, Lucas telah salah memilih pertanyaan. Ini sangat mudah untuk dijawab, aku tak perlu menyembunyikan apapun lagi karena sebenarnya cepat atau lambat hal ini akan diketahui oleh Lucas.

"Yeah, bisa dibilang begitu."

"Siapa?" Suara Lucas terdengar lemah. Ku rasa ini pengaruh dari alkohol yang dia tenggak.

"Kau hanya bisa mengajukan satu pertanyaan, jangan serakah." Aku menaik turunkan alis, menggodanya. Dan itu berhasil, karena Lucas terlihat cukup kesal setelahnya.

"Ya sudah ayo lanjutkan."

Kertas, gunting, batu—

"ANAK-ANAK, AYO TURUN... MAKAN MALAM SUDAH SIAP!"

Suara Mrs. Templeton di bawah sana terdengar sampai kamar Lucas. Memanggil kami untuk turun.

Próximo capítulo