webnovel

Hujan Batu

Semua siswa kelass XV C terbangun dengan posisi semula. Duduk rapi di atas meja masing-masing. Mereka memperlihatkan wajah bingung, karena kelas lagi-lagi terlihat rapi seperti tidak terjadi hal buruk.

"Dit, kamu nyadar enggak?" tanya Andin dengan wajah serius.

Dito dengan segera melirik ke arah sekitaran, terlihat ada banyak bangku kosong. Lalu dengan segera matanya menatap ke arah kaki kiri Andin, terlihat masih ada kain yang menutupi bekas sengatan.

"Ya, Ndin. Semua kembali seperti semula, tapi ada siswa yang hilang. Siswa yang sempat meledak karena sengatan lebah pada wajahnya," ucap Dito setengah berbisik.

Seketika pandangan Andin mengitari sekitaran. Apa yang Dito katakan benar, semua nyata begitu pula dengan kain yang masih menempel di kakinya. Namun, keadaan kelas kembali seperti awal, rapi dan tertata. Padahal sebelumnya meja dan kursi berhamburan tak tentu arah karena saling bertubrukan kuat.

"Eh, Jia mana?"

"Ada apa ini?"

"Aku mau pulang!"

"Hiks, hiks, hiks," semua anak merasa takut dan cemas. Merek menjerit dan menangis. Tidak pandang bulu, anak lelaki juga menunjukkan ketakutan yang dahsyat.

Guncangan kembali terasa, pelan namun perlahan menjadi semakin kuat. Para siswa yang sedrai awal sudah merasa takut dengan segera berdiri di atas meja. Mereka merapatkan diri ke dinding dan berpegangan erat dengan bingkai jendela. Tidak terkecuali Andin, Dito, Jessy dan Beni. Mereka berdiri di tempat yang berdekatan.

Seorang siswa dengan kasar mendorong Beni hingga membuat ia terjatuh, sedangkan tempat semula Beni kini ditempati siswi tadi. Beni yang ketakutan dan kesakitan kini hanya bisa terduduk di lantai. Tangan Andin berulang kali berusaha menggapai Beni, namun keberadaan bangku yang terus bergoyang membuat Beni kesulitan meraihnya.

Gempa kian kencang, namun kali ini diikuti dengan hujan batu. Yah, bermula dari tetesan kecil bak hujan, namun terasa sakit saat mengenai tubuh. Lambat laun, tetesan yang jatuh semakin besar dan juga semakin sakit saat menghempas tubuh.

"Ahk!" teriak anak-anak yang merasa kesakitan.

Dito dengan berani menengadahkan telapak tangannya lebih ke tengah untuk memastikan akan air yang membuat teman-temannya menjerit.

"Akh!" teriak Dito yang dengan segera menarik tangannya. Ia melihat tidak ada jejak air, malah sebuah tanda merah seakan baru saja dihantam benda keras. Meskipun berukuran kecil, namun benda itu padat seperti batu.

"Dit, apa yang kamu lakukan?" tanya Andin dengan wajah cemas.

"Ini bukan air, dia tidak basah, Ndin. Melainkan keras dan padat seperti batu. Namun, benda itu hilang setelah menabrak telapak tanganku," jelas Dito yang menunjukkan tatapan cemas sekaligus bingung.

Tetesan yang jatuh semakin lama semakin lebat, sudah banyak anak yang terkena imbasnya. Mereka yang terus-terusan ditimpa tetesan hujan kini meringis kesakitan. Tubuh mereka lebam dengan warna merah berukuran kecil. Lebam-lebam itu membuat mereka tak lagi bisa berkonsentrasi pada pegangan. Hingga membuat mereka terjatuh saat terlepas dari bingkai jendela.

Awalnya tubuh merek hanya tergeletak di lantai dengan tangan yang terus berusaha menggapai ke atas meja. Namun, kuatnya goncangan membuat mereka terhimpit dengan meja dan kursi yang terus saja bergerak terbawa kuatnya goncangan.

Tidak ada yang ingin membantu, karena mereka sendiri mengalami kesulitan dalam bertahan. Saling tak perduli dan sibuk menyelamatkan diri. Ini menjadi sikap mereka selama mengatasi banyak ujian aneh yang ada di kelas.

Tubuh-tubuh yang terkena tetesan air itu akan semakin membiru setelah mengalami ruam merah. Membiru hingga menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan. Membuat tubuh mereka gemetar dan menjadi begitu lemas. Tak heran jika mereka berakhir dengan jatuh, lalu sulit untuk kembali bangkit.

Meskipun tangan mereka terus bergerak ke atas, namun tak ada seorangpun yang berniat menolong. Bahkan untuk melirik saja pun tidak. Seakan mereka tak melihat bahkan tak saling kenal.

Miris, namun ini realita yang ada. Semua masa kebersamaan mendadak lenyap ditelan keegoisan.

Sesuatu yang sulit dijelaskan, Dito terus menatap ke arah turunnya air hujan yang terus jatuh dengan lebatnya. Namun, seakan memilih, hujan itu tidak mengenai seluruh siswa. Tidak dipungkiri, mereka terkena satu atau dua tetesan. Namun, hanya segelintir orang yang terhantam deras hingga menyebabkan mereka terjatuh dan lagi-lagi mati dengan mengenaskan.

Tulang belulang mereka patah dan saling menghimpit. Lebam yang sudah membiru itu perlahan menjadi hitam lalu kembali meledak. Hingga menyebabkan banyak darah mucrat ke area sekitar.

"Au!" teriak para siswa yang merasa kaget saat muncratan darah mengenai tubuh mereka. Tak mampu menghindar, bagi mereka masih bisa bertahan pada pegangan saja sudah begitu baik.

Di sisi lain Andin masih berusaha hendak menolong Beni. Ia berupaya mengambil kayu panjang yang mereka simpan di bingkai jendela. Beruntung, kayu panjang itu masih berada di sana. Dengan segera Andin menjulurkan kayu itu ke arah Beni yang masih terduduk. Sepertinya Beni terlindungi, terlihat dari tubuhnya yang masih terlihat utuh. Tidak seperti tubuh anak-anak yang lainnya.

Beni sambil menahan nyeri di kakinya berusaha menggapai kayu pemberian Andin. Melihat Andin yang kesulitan, Jessy yang berada lebih dekat dengan Beni pun meraih kayu itu lalu membantu menjulurkan ke arah Beni. Hingga kini dengan mudah kayu itu tergapai. Dengan sangat kesulitan Jessy mencoba menarik Beni, hampir saja pegangannya terlepas. Syukurnya Andin dengan segera menggapai tangan kiri Jessy. Namun, sepertinya Andin tidak mampu menahan berat kedua badan temannya. Membuat pegangannya pada bingkai jendela semakin rapuh.

Tepat di saat pegangan Andin nyaris lepas, Dito dengan segera meraih tubuh Andin dalam pelukannya. Ia dengan kuat dan erat mendekap tubuh Andin. Membuat Andin merasa malu, namun semua perasaan itu ia abaikan dan kembali fokus menarik kedua temannya.

Berhasil, Beni dan Jessy kini sudah kembali pada tempat semula berpegangan pada bingkai jendela. Sedangkan Andin menggunakan kedua tangannya untuk berpegangan hingga memaksa Dito melepas pelukannya.

"Aku tidak menyangka mendapatkan kesempatan itu," bisik Dito dalam hati.

Jeritan demi jeritan kembali terdengar. Air itu terus turun dan semakin deras. Membuat Dito berpikir keras mencari cara untuk menghentikannya.

Lagi-lagi Beni berinisiatif. Ia dengan tenang berkata, "Kipas angin. Yah, kita harus menyalakan kipas angin. Bukankah kipas angin akan membuat air hujan menjadi menguap?" ungkapnya dengan wajah ceria.

Dito, Andin dan Jessy hanya bisa saling melempar pandang. Mereka bingung akan ide Beni, namun mereka tidak bisa menolak karena takut menyakiti hatinya.

"Mengapa? Apakah ideku salah?" tanya Beni dengan wajah bingung.

"Ini bukan hujan air Ben," ucap Dito mencoba menjelaskan.

Mereka berempat menjadi bingung sendiri. Terdiam cukup lama untuk saling memutar otak mencari jalan menghentikan semuanya.

Jeritan terus saja terdengar, satu demi satu siswa terjatuh dan mati dengan cara menjijikkan. Semua kacau dan sangat menakutkan. Hingga membuat Andin sempat menjerit kala memandang ke arah lantai.

"Ah!"

"Jangan lihat! Itu akan membuatmu semakin takut, Ndin!" ucap Dito yang dengan segera menarik kepala Andin hingga kini menghadap ke dadanya.

"Sebaiknya kita fokus mencari solusinya, aku tidak ingin mati mengenaskan di sini," ucap Jessy dengan tatapan iri. Sepertinya ia tahu bahwa Dito menyukai Andin dan itu yang membuat Jessy merasa geram sendiri.

"Mengapa kita tidak mencoba cara yang Beni katakan?" pujuk Andin sambil menatap ke arah Jessy dan Dito bergantian. Keberadaannya di antara Dito dan Jessy membuatnya kikuk sendiri.

"Tapi ...."

"Coba saja, pada dasarnya ini seperti hujan. Maka tidak menutup kemungkinan cara mengatasinya sama dengan layaknya hujan beneran," ungkap Dito yang mulai berpikir keras cara menyalakan kipas angin besar yang berada di tengah ruangan.

Próximo capítulo