Sejak pengalaman berpindah tempat dalam waktu sangat-sangat singkat bersama Theria, perut Elia sudah mulai keroncongan. Waktu itu sepertinya Theria juga sadar kalau aku lapar, tapi kan malu kalau ngaku udah lapar banget padahal baru makan, kata Elia dalam hati saat dia mulai memilih makanan mana dulu yang akan dinikmatinya.
Aroma masakan Theria sangat mengundang selera makan. Aku penasaran apa resep rahasianya. Eh, tapi ya percuma juga ding aku minta resep rahasianya, aku toh nggak pernah masak sendiri.
Sebelum makan, Elia sempat memperhatikan interior ruangan yang didominasi warna cokelat kayu, pencahayaan sederhana nan alami dari binatang mirip kunang-kunang menempel langit-langit di atas meja makan.
Meskipun mendapatkan suasana tenang, Elia tak bisa makan dengan lahap. Dia lambat saat menggerakkan sendok ke mulutnya. Padahal makanannya enak. Aku kok nggak selera makan ya.
Elia melihat sisi kanan dan kiri. Aku merasa akrab dengan tempat ini. Seperti sudah lama tinggal di sini. Sejak pertama kali melihatnya, rasanya aku sudah lama mengenalnya.
Elia melihat rak buku di sudut. Theria memang punya selera tata ruang yang apik. Benda yang sebelumnya tak ada bisa dibuat menyatu dengan seluruh ruangan ini, seolah dia sudah di sana sangat lama. Elia tersenyum mengagumi kepandaian Theria yang tak dibicarakannya.
Karena selera makan tak baik, Elia memilih untuk menghibur diri dengan salah satu buku di rak itu. Dia duduk kembali ketika sudah membuat keputusan. Buku di tangannya bersampul keras warna hijau.
Waw, penjilidan buku ini luar biasa, pikir Elia. Aku belum pernah melihat buku sekokoh ini. Apa ya isinya?
Elia membukanya dengan rasa penasaran yang membuatnya tak ingin menunda mengetahui isinya. Di sampul buku tidak tertulis judul, jadi dia harus membuka halamannya. Di halaman pertama tertulis "Manusia Setengah Burung."
Oh, ini pasti fairytail. E tapi, dunia ini kan dunia maya yang isinya makhluk-makhluk yang dianggap mitos semua oleh dunia lain. Apa mungkin ini cerita nyata, setidaknya bagi dunia ini. Manusia setengah burung, apa mungkin ada? Sebentar, siapa penulisnya?
Elia mencari keterangan penulisnya di halaman terakhir buku sebab di halaman depan tak ada, begitu pula di sampulnya, seolah penulis itu ingin menjadi hal terakhir yang diketahui oleh pembaca. Elia menemukan namanya "Kinnaras."
Kinnaras? nama yang aneh. Elia mengeja namanya sekali lagi. Kenapa dia pilih nama Kinnaras? apa buku ini jadi hits pakai nama Kinnaras? Rasanya tidak ada penulis di dunia lain yang pakai nama Kinnaras. Ini pertama kalinya aku tahu.
Walau tak yakin, Elia tetap membuka halaman buku. Sepertinya ini puisi. Ah, aku tidak pernah menikmati puisi. Bagaimana cara menikmati puisi. Apa dibaca saja cukup atau harus pakai irama tertentu. Alah, baca sajalah.
Elia lalu menikmati bait-bait yang tertulis. Tiap bait diberi nomor. Setiap nomor seperti menjelaskan setiap adegan. Hal-hal apa yang terjadi pada tokoh dijelaskan pada satu nomor. Kemudian nomor selanjutnya berisi perasaan tokoh. Selanjutnya lagi berisi adegan dan seterusnya.
Puisi jaman sekarang yang kutahu tidak terformat seperti ini. Narasinya dibuat secara linier tanpa penomoran. Apa makna nomor ini ya. Elia penasaran tapi tak ada orang yang bisa diajak bicara. Kemudian dia menghela nafas. Rasanya membaca karya Kinnaras bukan cara yang tepat untuk menunggu Theria kembali. Entah kenapa aku terima saja ditinggal di sini, katanya. Apa tadi aku dihipnotis oleh Theria? Bisa-bisanya aku merasa nyaman di tempat asing begini. Yah, tidak sepenuhnya asing sih. Hanya saja, ini bukan rumahku. Well, rumahku pun tak terasa seperti rumah. Aku sudah terbiasa sendirian. Mungkin karena itu aku jadi betah di tempat baru ini. Semua tempat jadi terasa familiar saat aku sendirian.
Elia beralih ke buku yang lain. Sepertnya itu novel, penulis masih sama, Kinnaras. Ketika membaca halaman pertama, Elia sudah disuguhi fakta gaya penulisan yang sangat berbeda dengan penulis jaman sekarang. Elia mulai bisa merasakan hal-hal unik dari buku Kinnaras. Pokok bahasannya juga mendalam. Temanya sama, percintaan, tapi pendalamannya berbeda. Aku bisa merasakan penulisnya jatuh cinta yang teramat dalam pada karakter-karakternya. Tak hanya itu, latar tempat yang jadi setting cerita juga, dia seperti sangat menikmati tempat itu, seolah-olah penulis berada di lokasi. Apakah mungkin Kinnaras adalah penulis yang hidup di masa itu? Elia berpikir lagi. Mungkin saja. Sudah ada banyak hal aneh yang terjadi padaku sejak kematian ibu. Bahkan jika dipikir-pikir, sebelum ibu meninggal pun, aku kerap mengalami hal-hal tak terduga. Aku pikir aku berhalusinasi, tapi kalau dipikir-pikir sekarang, setelah semua ini, kurasa itu bukan halusinasi.
Elia sekonyong-konyong duduk tegak karena teringat percakapannya dengan Melianor.
"Sunshine bilang aku bisa menemukan hal yang kulewatkan dengan tarot itu. Bagaimana kalau selama ini orang yang mengincar ibu sudah ada di dekatku tapi aku tak menyadarinya?"
Elia jadi gelisah.
"Bagaimana jika dia bukan orang, melainkan makhluk tak kasat mata, seperti hantu atau siluman. Gelagat Max dan semua orang di sini mengatakan padaku kalau kematian ibu berhubungan dengan dunia bawah."
Elia berdiri tegak. Dia pikir dia harus mencari Theria dan bicara dengannya daripada menunggu. Dia ingin melakukan sesuatu sesegera mungkin agar bisa menemukan kepastian soal kematian ibunya. Dia tidak ingin duduk menunggu lagi seperti ini.
Elia berlari ke pintu. Saat menyentuh pintu, Elia tersentak. Dia kaget oleh daya listrik yang mengenai tangannya.
Oh shit!
Elia melihat telapak tangannya yang terasa panas. Cepat-cepat dia meniupnya. Tubuhnya ikut terasa terbakar. Sensasi kaget itu membuatnya naik pitam. "Sialan! Apa yang kalian semua sembunyikan dariku?!"
Elia berteriak pada ruang kosong. Tak ada yang menjawab. Dia merasa makhluk-makhluk yang menerangi ruangan itu dengan cahaya remang-remang sebenarnya memahaminya, tetapi mereka memilih diam. Sadar tidak akan ada yang menjawab kekesalannya, dia lalu mengatur napasnya.
Elia Lalu berdiri berpegangan pada sisi meja. Sensasi sengatan listrik itu masih belum hilang dari tangannya. Dia merasa tangannnya mati rasa untuk sesaat dan kini sudah mulai pulih.
Bagaimana kalau semua ini hanya jebakan? Bagaimana kalau Max sebenarnya bersekongkol dengan mereka untuk menjebakku? Apa yang mereka inginkan dariku?
Elia mencoba berpikir dengan tenang. Masalahnya dia tidak tahu apa-apa sehingga tidak tahu apa yang harus dipercaya dalam situasi itu. Dia merasa hilang. Setiap inderanya seperti tak mau bekerjasama dengannya. Pikirannya mandeg bekerja, yang tersisa hanyalah rasa putus asa.
"Max..." Elia berbisik. "Apa yang kamu lakukan sebenarnya? kamu sengaja membawaku ke sini untuk mengunciku di sini?"
Elia melihat sekeliling. Barulah disadarinya jumlah makanan sangat banyak, terlalu banyak untuk sekali makan untuk satu orang. Makanan itu didominasi oleh roti yang tidak akan kadaluarsa selama seminggu. Buah-buahan, minuman, dan cemilan lainnya juga jumlahnya cukup untuk seminggu atau mungkin lebih.
"Jangan-jangan ...." Elia tidak mau memikirkan hal buruk tapi itu terjadi begitu saja. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rak dengan buku-buku itu menarik perhatiannya dan segera dia merasakan suatu tujuan tersembunyi dari keganjilan itu.
"Theria sengaja menyiapkan semuanya. Jadi seminggu, kalian mengunciku di sini selama seminggu? disini? kenapa?"
Elia menganalisis, mereka mengunciku di sini dengan tujuan yang baik. Aku rasa begitu, jika dilihat dari cara mereka meninggalkan makanan dan buku untukku. Mereka tidak ingin aku kelaparan dan juga tidak ingin aku bosan.
"Makanan untuk seminggu dan buku untuk membuatku betah di sini," Elia lalu tertawa getir. "Seberapa genting situasi ini sih?! kenapa aku tidak dilibatkan langsung saja?"
Elia lalu teringat kata-kata Theria yang menjelaskan Melianor dan Max bermaksud membuatnya terbiasa dengan magi, sehingga Melianor membawanya ke mansionnya. "Apakah ini ada hubungannya dengan itu?"
Cara mereka cukup kasar. Kenapa mereka tidak mempertimbangkan perasaanku?