webnovel

Si Tanpa Wajah

Sunshine berwajah serius saat menuangkan air panas ke dalam mangkuk tea yang bentuknya menyerupai pola daun teratai. Dia lalu meletakkan sekuntum bunga lotus ke dalamnya. Wajahnya terlihat rileks ketika menata kelopak bunga itu. Dengan khidmat dia membuka kelopak bunga lotus satu per satu sampai terlihatlah lotus yang mekar di dalam mangkuk. Aroma lotus juga mulai tercium saat semua kelopaknya sudah terbuka. Dia lalu menoleh pada Elia yang tertidur. Wajahnya seperti tanpa beban, pikir Sunshine kemudian perhatiannya berpindah pada seseorang yang baru saja masuk.

"Theria tolong jaga dia, kalau sudah sadar nanti, beri dia teh lotus ini."

Laki-laki bertubuh sedang itu mengangguk.

"Apa yang akan Anda lakukan?" wajahnya khawatir.

Sunshine tersenyum. "Kamu tidak usah khawatir. Aku juga tidak akan meninggalkan orang-orangku." Sunshine menatap lembut pada Elia. "Kamu bisa kuandalkan untuk ini bukan?"

"Apa dia sangat penting untuk situasi ini?"

"Sepertinya," Sunshine kemudian mengubah gesture tubuhnya.

"Aku pergi dulu."

Theria mengangguk dengan hormat.

Sunshine lalu berjalan keluar. Dia menutup pintu dengan lembut. Ketika berjalan di lorong dalam hati dia berkata, tidak hanya siluman atau setengah siluman yang bisa mengubah manusia jadi Draft, aku juga , dan ada beberapa lagi yang bisa. Bibi pasti terlibat dengan salah satunya. Sunshine membelok , memasuki sebuah lorong berorientasi warna kayu jati. Dia masuk ke sebuah kamar ganti. Dengan santai dia memilih pakaian. Pilihannya jatuh pada atasan tank top. Dia mengenakannya tanpa bra. Kemudian mengganti celana dalamnya dengan celana dalam warna hitam. Untuk bawahan, dia memilih rok panjang warna hitam dengan belahan panjang di sisi kanan. Dengan penampilan seperti itu, dia terlihat polos. Setelah itu, dia tidak memilih alas kaki. Dia juga tidak merias diri. Dia membiarkan rambutnya tergerai. Setelah yakin dengan penampilannya, dia keluar dari ruang ganti. Dengan kakinya yang telanjang, dia berjalan dengan kepercayaan diri tinggi memasuki taman rumah kacanya. Dia berdiri di depan bunga wisteria. Dalam beberapa saat dia merenung di depan bunga itu.

"Melianor!"

Perempuan berambut pirang itu menoleh ketika ada seseorang yang muncul dengan memanggil nama aslinya.

Max berlari masuk ke taman. Dia terhenti beberapa langkah di belakang Melianor. Dia berdiri di ambang batas tempat bersantai dengan tanaman wisteria. Secara refleks dia tidak mau mendekati bunga wisteria. Titik hentinya adalah jarak aman yang telah diciptakan oleh Melianor sendiri.

"Benarkah?" Max buru-buru ingin tahu. "Si Tanpa Wajah muncul?"

Melianor mengangguk, kemudian berjalan mendekati Max. Tanpa basa basi dia mencium bibir Max. Mereka berpagutan cukup lama. Suasana telah berubah bagi Sunshine alias Melianor. Tadi dia merasa tegang, tapi saat Max datang dan membalas ciumannya dengan ciuman balik yang panas, dia jadi lebih rileks. Kaki Melianor keluar dari belahan roknya. Max membeli pahanya yang semampai kemudian mengangkat tubuh Melianor. Max membawanya ke kamar yang sudah biasa mereka pakai, tempat itu tak jauh dari taman wisteria. Dari kamar itu Max dan Melianor bercinta dengan pemandangan bunga wisteria. Tak ada siang atau malam, momen ketika sama-sama menginginkan akan jadi momen bercinta. Max dan Melianor lupa pada si Tanpa Wajah. Sebagai gantinya, Melianor menikmati setiap sentuhan dari Max.

Saat bulan berada di tengah-tengah khatulistiwa, Max bangun lebih dulu lalu memakai celananya dan duduk di ambang jendela memandangi taman wisteria sementara Melianor masih tidur. Max menoleh dan melihat pose Melianor yang erotis. Max mendekatinya dan mencium lagi bibirnya. Dia mendapat respon dari Melianor. Max tersenyum.

"Bangunlah, kamu harus memberitahuku tentang Tanpa Wajah ini."

"Biark aku mandi dulu, hum..."

Melianor mengeluh karena harus kembali ke kenyataan.

"Oke."

Max lalu menyingkir dari atas Melianor. Perempuan itu bangun dan tanpa malu berjalan telanjang ke kamar mandi, menyalakan shower dan setelah selesai dia minta Max untuk mengambilkan pakaiannya. Max menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menemukannya. Dia memberikan semuanya sekaligus. Sementara Melianor berpakaian, Max duduk di ambang jendela menyalakan rokok.

"Aku memiliki gambaran besarnya tapi masih nggak jelas."

Melianor bicara sambil keluar kamar mandi. Dia berjalan menghampiri Max dengan rambutnya yang basah. Handuk tidak cukup untuk mengeringkannya. Dia minta sebatang pada Max lalu menyalakannya dengan tenang kemudian ikut duduk di ambang jendela. Ambang jendela itu cukup sebagai tempat duduk dua orang.

"Seperti yang kamu duga, ada sesuatu yang bermain di belakang kematian Bibi," Melianor mereview kembali percakapan mereka sebelum membaca tarot dengan Elia. "Ada sesuatu dalam ingatan Elia dan aku tidak menyangka jika si Tanpa Wajah ikut campur, makhluk ini hampir tidak pernah mau berurusan dengan makhluk lain kecuali ada hal yang tak bisa ditolaknya."

"Seperti apa dia sebenarnya? informasi tentangnya sangat terbatas di luar sana."

"Tentu saja, karena eksistensinya bahkan diragukan. Hanya yang sepertiku yang mungkin mengetahuinya."

"Itu artinya Bibi berhubungan dengan makhluk yang di luar dugaan kita?"

Melianor menghela nafas.

"Aku jadi khawatir ini sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang bahkan harus disembunyikan oleh Bibi dari kita. Kemudian siapapun itu, pasti menyadari tidak bisa mengakses ingatan Elia dengan mudah. Dia lalu membuat skenario, membuat Elia keluar dengan sendirinya dari tempat persembunyian, hingga sampai pada kita."

Max berpikir dengan keras.

"Aku juga menduga hal yang sama. Sebelum ke sini, aku melihat Draft membantai Org di kota, aku tadi bertemu dengannya dan menanyakan hal itu. Dia melihat Org itu mondar-mandir. Tak perlu dikatakan lagi apa yang terjadi selanjutnya."

"Org itu tidak memberitahu Draft apa urusannya di kota?"

Max menggeleng.

"Ditanya berapa kalipun, makhluk itu memilih untuk kabur dari Draft."

"Bahkan makhluk itu kini semakin pandai menjaga rahasia," Melianor mencemooh. "Jika aku jadi Draft, aku pun takkan tanggung-tanggung membabatnya."

Max menyeringai. Dia sependapat dengan Melianor.

"Masalahnya sekarang, apa yang disembunyikan oleh Bibi?"

Saat memikirkannya, Melianor jadi tidak bernafsu untuk menghisap rokoknya.

"Jika si Tanpa Wajah terlibat, hal ini pasti sesuatu yang membahayakan beberapa lapis dimensi alam semesta. Mungkin saja ada pihak yang bermaksud memanfaatkan pihak lain, menguasai sumber daya alam sendirian, atau mungkin lebih buruk dari itu. Meskipun tak bisa mempercayai hal ini, mungkin saja Elia mengetahui kunci untuk membuka rahasia itu dengan tanpa sengaja, sehingga Bibi mengunci ingatannya agar tak membimbing makhluk serakah itu ke arah kunci yang benar."

Max sependapat dengan Melianor.

"Apa saranmu? menghipnotis Elia agar melupakan semua ini, membuatnya percaya dia tak punya ibu, lalu biarkannya hidup di antara manusia hingga tak pernah ditemukan?"

"Kita tak bisa melakukan itu. Alam bawah sadar Elia cukup kuat. Sekuat apapun kita berusaha, alam bawah sadar itu akan membimbing Elia pada kebenaran. Tanda-tanda itu juga membuatku takut. Makhluk macam apa yang sudah dikawini oleh Bibi?"

Max ikut tegang.

"Kekuatan silumannya sangat besar. Elia hanya belum menyadarinya. Jika dia menyadarinya dan mulai mengelolanya, kamu pun mungkin tak bisa menghadapinya."

"Itu artinya makhluk itu lebih buruk dari anjing neraka?"

Melianor gusar sampai tubuhnya menggigil. Max berdiri menghampirinya lalu memeluknya.

"Bisakah kita melakukannya lagi?"

Melianor mengangkat wajahnya dengan harapan besar. Max memenuhi permintaan Melianor. Tangan Max bergerak mengangkat kain tank top di tubuh Melianor. Max lalu mencium bibir Melianor. Selanjutnya, Max dan Melianor menikmati waktu untuk bercinta. Dua hari kemudian Max dan Melianor baru keluar dari kamar itu.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Mutayacreators' thoughts
Próximo capítulo