webnovel

Perubahan 180 Derajat

Elia mengikuti Max yang sedang sibuk berkemas. Dia juga melakukan pekerjaan yang diintruksikan Max padanya. Di antara semua kesibukan itu, dia masih tidak yakin bahwa semua ini adalah kebenaran yang harus diterimanya. Apa mungkin semua ini hanya akal-akalan Max untuk mengalihkan perhatianku? tapi jika melihat ekspresi Max yang sangat serius seperti itu rasanya ini bukan drama pengalihan. Ini sungguhan, tapi aku selama ini besar dan hidup dengan cara orang pada umumnya. Aku memahami diriku sebagai manusia. Bagaimana aku harus beradaptasi dengan semua ini?

"Max..." Elia memanggil dengan mengharapkan dapat perhatian khusus. Max mengangkat wajahnya dari kesibukannya mengepak barang. Walaupun sudah mendapatkan perhatian, dia bingung bagaimana mengungkapkan kebingungannya.

"Kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan saja." Max menunjukkan kesabarannya.

"Um, yah, ada tapi aku sendiri bingung dengan semua ini. Perubahan seratus delapan puluh derajat. Itu membuatku membayangkan banyak hal. Seberapa luas dunia Bawah Tanah, seperti apa dunia itu, dan beragam hal lain muncul di kepalaku, sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mana yang hanya tokoh rekaan dan mana yang makhluk asli."

Max melanjutkan aktivitasnya seperti tak punya waktu lagi, meskipun begitu dia tetap menyempatkan diri untuk menjawab, "Dunia itu luasnya sama seperti dunia manusia. Mereka hidup di antara manusia, yang artinya mereka juga bekerja di antara manusia, menjadi pegawai, menjadi pejabat, menjadi masyarakat biasa, intinya mereka sangat dekat dengan kita."

Masih ada banyak hal yang belum diketahui oleh Elia dan itu membuatnya ingin segera tahu. Satu hal yang pasti, dia percaya kalau pengetahuan dapat membuatnya bertahan dari apapun nantinya.

"Apa mereka bisa saling mengenali? maksudku antara siluman dengan siluman, yang setengah siluman dengan setengah siluman, dan seterusnya."

Max mengangguk sambil memasukkan sebuah kotak berukir bunga lotus ke dalam tasnya. "Mereka bisa saling mengenali dengan berbagai cara, tapi yang paling mendasar adalah dari aroma mereka," Max berpikir.

Elia menunggu Max melanjutkan kalimatnya. Meski tahu itu mungkin akan sulit untuk dipahaminya, dia tetap ingin tahu pada saat itu juga. Dalam keadaan setengah memaksa, dia menantikan Max menjelaskan, setidaknya hal-hal mendasar yang harus dia ketahui.

"Mereka yang berada di tingkat terbawah akan dapat dikenali dari aroma mereka, misalnya tercium aroma belerang, bau amis, dan lain-lain. Kemudian mereka yang masuk ke dalam golongan tingkat menengah akan dapat dikenali dari aura mereka. Dan yang paling sulit adalah mereka yang berada di kalangan atas, mereka bisa menyerupai manusia dalam segala macam hal, sehingga baik aroma maupun aura mereka tidak dapat dikenali oleh sesama, tidak dapat dibaca bahkan oleh seorang 'pembaca' handal sekalipun, mereka yang berada dalam kalangan VVIP, sebut saja seperti itu, lebih sulit lagi untuk dikenali kecuali mereka memperlihatkan diri pada kita."

"Lalu bagaimana denganmu, apa kamu bisa mengenaliku dari sejak aku lahir, tapi kenapa aku tidak bisa mengenali diriku sendiri dan tidak tahu apa-apa soal ini? kenapa aku tidak bisa mengetahui kalau kamu setengah siluman?"

"Gampang, itu karena kamu dibesarkan oleh seorang manusia di lingkungan manusia. Lagipula karena kita setengah manusia, kita jadi lebih mudah berbaur dengan manusia lainnya, inilah kenapa makhluk tidak murni seperti kita bisa bertahan lebih baik daripada makhluk murni jika ada perang antar ras."

Elia mencoba mengkalkulasi penjelasan Max.

"Kamu akan bisa mengenali mereka nanti, setelah kamu terbiasa. Dan... ya, aku bisa mengenalimu sejak awal, tapi aku tidak tahu kamu keturunan klan mana. Aku tidak pernah melihat tanda itu."

Elia menangkap suatu nuansa yang tidak disukainya dari kalimat Max.

"Apa itu buruk?"

"Entahlah. Aku dan Bibi memang dekat, tapi bukan bearti dia akan memberitahuku segalanya."

Kedua mata Elia terbelalak, dia baru ingat sesuatu. Segera ketika ingat, dia mengatakan, "Berapa umurmu? dari yang kuingat, sejak pertama kali bertemu denganmu....waktu itu...kamu terlihat sudah dewasa..." dia lalu tercekat.

"Coba tebak."

Elia jadi merasa telah bersikap tidak sopan pada seorang kakek.

"Jangan bilang kalau sudah lebih dari 100 tahun!"

Max tertawa. "30 Tahun," katanya.

Elia tidak percaya. "Tidak mungkin! sekarang aku 20 tahun, waktu melihatmu dulu sepertinya kamu sudah dalam umurku saat ini!"

Max tertawa. "Sudahlah, itu tidak penting sekarang. Mau melanjutkan rencana atau tidak?"

Elia lalu memperbaiki sikapnya. "Ya tentu saja. Aku punya banyak hal yang ingin kuketahui. Bahkan sekarang rasanya aneh jika aku berbaur dengan manusia setelah kamu mengatakan semua ini."

Elia menerima benda yang disodorkan oleh Max. "Apa ini?"

"Bawa itu, jangan sampai jatuh atau hilang."

"Memangnya ini apa?"

"Isinya kartu tarot, benda kesukaan Sunshine. Dia tidak akan melakukan permintaanku secara gratis. Dia selalu bilang, "tidak ada yang gratis" di dunia ini."

"Waw...semua orang sama saja. Bahkan makhluk Bawah Tanah juga sama saja. Tidak mau melakukan sesuatu secara gratis."

"Kita hidup berdampingan untuk saling memanfaatkan."

Elia lalu memeriksa setiap detail dari benda itu. Bentuknya silinder, ringan, seperti terbuat dari kayu.

"Kartu tarotnya berbentuk lingkaran? ini terbuat dari apa?"

Max yang sedang meriksa lacinya yang lain menjawab, "Itu terbuat dari kayu gaharu. Isinya kartu tarot yang terbuat dari getah karet, dan ya bentuknya lingkaran."

"Jadi ini benda langka? punya kekuatan?"

"Ya. Hanya orang seperti sunshine yang bisa menggunakannya."

"Ahhhh, artinya pemain tarot di pinggir jalanpun bisa?"

Elia merasa pertanyaannya adalah pertanyaan bodoh ketika Max menatapnya dengan wajah 'yang benar saja'. Suara laci yang didorong kemudian dikunci oleh Max membuatnya rileks.

"Sudah kubilang hanya orang seperti sunshine yang bisa menggunakannya. Artinya orang yang tidak memiliki kekuatan sebagai 'pembaca' sejati, tidak akan mampu melihat isinya. Lembaran tarot itu akan terlihat kosong oleh mereka."

Elia jadi merasa dirinya jadi begitu bodoh dalam dunia yang sangat asing itu. "Sorry, sudah kubilang aku butuh waktu untuk mengetahui semuanya. Jadi...tolong jelaskan perlahan-lahan, satu per satu."

"Aku sudah selesai berkemas, bawalah tas yang itu, dan itu jangan sampai ketinggalan."

Elia terkejut sebentar ketika Max mengubah objek pembicaraan secara tiba-tiba. "Oke," Elia menjawab dengan tergagap.

"Sudah kubilang, kamu akan mengetahui semuanya sambil jalan. Penjelasan saja tidak akan cukup untuk membuatmu mengetahui eksistensi tiga dunia ini. Hanya dengan menyelaminya kamu akan melihatnya. Ingat bahwa dunia ini masih tetap sama, mata kita yang berbeda."

Elia jadi merasa semakin tak nyaman dengan ketidaktahuannya, meskipun Max memberitahunya dengan jelas. Aku harap aku bisa lekas terbiasa. Aku tidak ingin tidak bisa mengetahui apa yang menyebabkan ibuku seperti itu. Aku harus tahu semuanya, katanya dalam hati lalu mulai menekan ketidaksabarannya. Dia lalu mengikuti Max naik kembali ke permukaan dengan membawa tas-tas yang ditunjuk Max untuk dibawa olehnya.

"Kalau begitu, aku boleh bertanya padamu kapan saja aku memiliki pertanyaan bukan?"

"Ya tentu."

Elia merasa lega.

Próximo capítulo