webnovel

Kecurigaan Elia

Elia merasakan teror di balik sikap Max yang tiba-tiba berubah. Sebelumnya Max terasa hangat dan mengkhawatirkannya. Itu membuatnya merasa akan memenangkan argument tapi ketika dia mengatakan seseorang menelponnya pagi-pagi untuk pergi ke Departemen Autopsi, Max terasa berbeda. Itu membuat Elia tercekat juga.

"Max?"

"Ada apa sebenarnya?"

Elia mencoba membaca ekspresi Max tapi tidak bisa. Max cukup pandai untuk menyembunyikan isi pikirannya sekacau apapun masalah yang dipikirkannya. Mungkin karena dia seorang seniman tato yang tidak akan bisa melakukan tugasnya dengan baik jika tidak mampu mengontrol pikirannya.

"Aku akan mencari tahu. Untuk sementara kamu bisa tinggal di sini, jangan di hotel atau motel," pinta Max.

"Aku memang berencana begitu."

Dia membuat gerakan acuh tak acuh dengan tubuhnya dan tersenyum penuh kemenangan ketika melihat Max menerimanya. Setelah itu dia putuskan untuk menjadi lebih sabar dalam menghadapi Max untuk mencapai tujuannya. Dia berencana bersikap lunak dan mulai menjalankannya sekarang.

"Aku tahu kamu juga penasaran ada apa di balik kematian ibuku bukan?"

Dia bisa melihat Max bereaksi atas ucapannya. Itu membuat harapannya sedikit melambung.

"Aku tidak punya siapa-siapa untuk kuajak bicara tentang ibuku. Semalam aku merasa kacau sekali. Aku berhenti di Bar Jam, sepertinya kamu sudah tahu itu," dia menunduk. Fakta bahwa Max membawakan blushnya yang tertinggal di kamar Jam menjawab pertanyaannya kemana Max pergi dengan meninggalkanya dalam posisi tak menyenangkan itu.

"Aku rasa kamu benar, aku gegabah dalam kekacauan itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa, satu-satunya yang kupikirkan hanyalah kenapa ibu harus ditemukan dalam keadaan seperti itu. Kenapa dia harus kembali ke sana dan meninggalkanku sendirian di luar negeri. Kenapa dia memilih untuk jadi mengenaskan daripada bahagia bersamaku," akhirnya Elia merasa bisa meluapkan perasaannya dengan benar.

"Lalu ku pikir satu-satunya cara mencari jawaban itu hanyalah dengan mendatangi tempat itu. Kemudian kudengar dari Jam, Bawah Tanah bukan tempat yang bisa dimasuki dengan bebas seperti sebuah bar miliknya. Bawah Tanah tempat yang tertutup dan aku harus masuk dengan akses khusus, orang dalam, misalnya. Atau seseorang yang secara khusus pergi ke sana untuk berbisnis. Itu pun dia harus sudah dikenali sebagai member Bawah Tanah. Aku bertanya lebih jauh pada Jam soal membership itu, dia tidak bisa memberitahuku. Dia mengaku tidak tahu apa-apa, lalu dia bilang kamu lebih tahu daripada dia karena sering membawa wanita ke sana. Selebihnya dia tidak memberiku gambaran yang sempurna, kamu tahu dalam keadaan mabuk dia bisa bicara macam-macam tapi untuk yang satu ini dia benar-benar mengunci mulutnya."

Saat Elia menatap Max lagi, dia bisa melihat Max tidak cukup senang dengan penjelasannya.

"Yah, hampir terjadi sesuatu yang tidak ku rencanakan juga sih, tapi aku berhasil menguasai keadaan dan kabur dari sana," kata Elia. Dia berharap itu cukup untuk mengklarifikasi alasan kenapa blushnya tertinggal di kamar Jam.

"Tidak perlu dijelaskan secara mendetail," kata Max sambil mengambil sebungkus rokok dari laci. Dia menyalakan sebatang. Elia menjulurkan lengannya. Dia mencoba mengambil satu batang rokok milik Max. Posisinya agak jauh darinya sehingga dia harus mengerahkan sedikit tenaga. Max cukup baik karena mau mendekatkan sebatang rokok dan sebuah korek padanya.

"Terima kasih," kata Elia lalu menyalakan korek api dan meletakkan sebatang rokok itu ke bibirnya.

"Ceritakan semuanya. Mulai dari awal. Bagaimana kehidupanmu di sana pada awalnya sampai pada karakter suara orang yang menelponmu."

Ujaran Max terdengar seperti sebuah alur interogasi bagi Elia tapi dia tidak keberatan karena itu menunjukkan ketertarikan Max pada kematian ibunya. Dalam keadaan mulai mengingat-ingat masa-masa kepindahannya, harapannya untuk bisa menemukan jawaban melambung.

"Yah, kamu tahu setelah berpamitan denganmu hari itu, kami langsung pergi. Umm, tidak, ibu pergi dulu ke suatu tempat lalu kembali hampir tengah malam dan langsung ke bandara denganku. Sebenarnya aku kurang nyaman dengan waktu yang dipilih ibu untuk bepergian, tapi apa boleh buat. Perjalanan berlangsung aman sampai ke tujuan. Ibu sudah menyiapkan sebuah rumah di pinggiran kota. Area itu berdekatan dengan peternakan yang sangat luas. Pemandangannya luar biasa. Kupikir kami akan menghabiskan hari-hari menyenangkan di sana selamanya. Hidup berdua saja. Uang ibu tidak akan habis karena dia punya aset properti dan beragam pasive income lain, itu membuatku tenang dan berpikir kalau kami benar-benar tidak perlu pergi dari sana dan ibu tidak perlu aktif bekerja lagi," Elia terhenti. Dia menyadari Max menunggunya melanjutkan ceritanya. Dia memberi sinyal butuh mempersiapkan diri selama beberapa saat. Saat bertatapan dengan Max, dia tahu Max juga memberinya jeda, kesempatan untuk bernafas dan mengatur kembali ingatannya.

"Semua sempurna dalam seminggu, sampai hari itu aku tidak mencium aroma roti panggang atau masakan sesuatu sebagai cemilan pagi, ibu biasanya membuat sesuatu. Waktu sudah pukul 12 siang saat aku melihat jam dinding. Aku bergegas keluar kamar karena kupikir aku melewatkan cemilan pagi. Nyatanya, aku memang tidak melewatkan cemilan pagi kami, aku melewatkan kesempatan untuk menghentikan ibu meninggalkanku lagi. Pada saat itu aku menyadari, semalam ibu memberiku obat tidur. Aku tidak menyadarinya karena berpikir teh yang dibuat ibuku pasti aman. Dia sengaja melakukannya supaya aku tidak mendengar apapun. Aku lari ke kamarnya. Sudah tidak ada apa-apa. Barang-barangnya bersih, mobil tidak ada, aku sendirian. Tak ada ucapan perpisahan secara langsung, juga tidak ada ucapan lewat note. Seandainya ibu membuat note lalu menempelkannya di kulkas, mungkin perasaanku akan lebih baik. Aku tidak melakukan apapun hari itu. Makan, minum, tidur, aku lupa semuanya. Aku hanya duduk bengong di dalam rumah cukup mewah dan bisa disebut sebagai vila dalam sebuah kota yang masih belum kukenali. Aku tidak bisa menangis Max. Keesokan harinya, aku mendengar kabar yang membuatku bengong. Aku tidak tahu apakah aku bahagia atau sedih. Aku sempat mengumpat agar ibuku jangan pernah kembali, kalau perlu selamanya. Alam semesta seperti mengabulkan permohonan ku. Aku datang ke Departemen Autopsi begitu saja, aku bahkan tak begitu ingat bagaimana aku bisa mencapai tempat itu sendirian."

Elia mengangkat wajahnya dan melihat Max dengan wajah tanpa ekspresi. Itu membuatnya takut. "Ada yang mengganjal?" tanyanya.

"Kamu tidak tahu pasti bahwa kamu melakukan perjalanan sendirian bukan? orang itu mengarahkanmu?"

"Ah iya, aku ingat, suara orang itu terdengar rendah di telingaku. Suara rendah yang dalam, ah aku tidak tahu bagaimana harus menggambarkannya. Kamu benar dia memberitahuku cara memperoleh tiket. Katanya dia sudah mempersiapkannya dan cukup mengambilnya di loket. Begitu aku sampai di sana, aku hanya perlu menyebutkan namaku, petugas loket memberiku tiket penerbangan bisnis eksekutif."

"Itu membuatmu tidak perlu transit. Kamu akan langsung sampai ke bandara tujuan. Apa lagi setelah itu?"

"Kamu benar, aku langsung sampai di bandara yang disebutkannya tanpa transit. Sesampai di sana, aku hanya perlu menggunakan taksi ke Departemen Autopsi, itu saja."

Elia melihat Max berpikir tapi sulit menebak apa yang dipikirkan Max. Ada satu hal yang jelas, Max mencurigai sesuatu dan dia perlu mengetahui kecurigaan yang dicurigai oleh Max saat itu. Meskipun begitu, dia tidak akan memaksa Max memberitahunya saat itu. Kalau memaksa, Max justru tidak akan memberitahunya. Dia putuskan untuk mencoba tetap tenang.

Próximo capítulo