webnovel

31. Cerminan Diri Dari Seorang Ibu.

"Keluarlah dari sini ibu, jika ibu masih ingin aku mengurus bisnis ini sebaiknya ibu jangan banyak bicara dan membuatku marah," ucap Tae Woo memilih berjalan masuk menuju ruangannya dan duduk di sofa, pria itu tidak ingin membuat masalah dengan bu dan kakak sepupu laki-lakinya lagi.

Dia hanya masih merasa sangat terkejut dengan infomasi yang Tae Woo dapatkan dari Jung Ki mengenai ayahnya. Ini sangat membuatnya pusing, dan Tae Woo benar-benar tidak ingin kemarahannya justru menyerah ibunya dan membuat Tae Woo menjadi anak laki-laki yang buruk untuk ibunya.

"Kim Tae Woo!" Pria itu melirik pelan pada ibunya dan kembali mengambil ponselnya. "Tolong jangan ganggu aku," jawabnya membuat Hoo Sik menelan ludahnya sukar, doa hanya ingin berusaha keluar dari ruangan Tae Woo dan membiarkan Tae Woo dan bibinya berbicara. Sayangnya dia tidak bisa melakukannya sama sekalo, tangannya dicekal oleh bibinya dan Kim Tae Woo yang angkat bicara.

"Kak, tidak bisakah kau tidak mengatakan pada ibu apa yang terjadi antara kau dan aku?"

"Aku ingin berdamai denganmu, tapi jika kau bicara pada ibu, semua menjadi semakin sulit Kak. Menjadi masalah juga, ku rasa kau memang sepertinya sudah cocok menjadi ayah tiriku saja daripada menjadi kakak sepupu---"

"KIM TAE WOO! JAGA BICARAMU, NAK!!" Tae Woo memutar bola matanya malas, dia kembali mengambil beberapa barang, laptop dan sesuatu yang ada di tasnya bekerja.

"Aku tidak mendengar suara apapun," jawabnya santai dengan membuka email untuk memgirim pesan pada sekretarisnya, hanya sebuah pengunduran meeting.

/Atur ulang jadwal meeting untuk dua jam kedepan./

/Siap, tuan./

Tae Woo tersenyum miring dan menaikan satu alisnya pelan. "Kau menjadi putraku dan kau yang memperlakukan buruk ibumu sendiri."

"Dimana kewarasanmu, Kim Tae Woo." Pria itu menghela nafasnya berat, dia berdiri untuk berbicara empat mata dengan ibunya dan mendekatkan wajahnya agar lebih leluasa berbicara daripada dengan menaikam suara mereka.

"Lupakan kesehatanku, ibu." Tae Woo menjawab sekenanya membuat ibunya malah dengannya atau bahkan lebih. "Kenapa kau selalu membuat ibumu marah Kim Tae Woo, bukankah kau juga lelah jika ibu selalu memperlakunmu buruk?" Tae Woo mengangkat bahunya malas tidak menjawab, dia kembali menujuk dada kiri ibunya dan berjalan menuju kursinya.

"Apapun masalahnya, dan dimanapun jalan keluarnya, aku hanya ingin ibu tahu jika aku hanyalah pria kecil yang memaksakan diri untuk dewasa."

"Ibu, aku tidak perduli ibu akan menyetujui pilihanku atau tidak, aku hanya ingin mengatakan, aku bahagia jika ibu tidak ikut campur pada privasiku," sambung Tae Woo lagi hanya ingin menyuarakan haknya jika selama ini dan sejauh ini juga hidupnya bersama dengan wanita tadi sama sekali tidak membuatnya senang dan bahagia.

Tae Woo selalu tertekan dan dia tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan sejak lama juga. Tae Woo bersama ibunya sama saja Tae Woo kesulitan untuk hidup, selebihnya nol besar.

"Didikan liar seperti in darimana kau mendapatkannya, Kim Tae Woo?" tanya ibunya yang mampu membuat Tae Woo hanya diam saat ibunya menurunkan nada bicaranya, Hoo Sik yang saat itu sedang melihatnya hanya bisa menelan ludahnya sukar.

"Ibu ingin tahu?" tanya balik Tae Woo membuat wanita tadi menganggukkan kepalanya tegas dan butuh jawabannya juga. "Ya, ibu benar-benar ingin tahu," jawabnya lagi.

Tae Woo tersenyum tipis, pria itu menaikan satu alisnya kecil dan tersenyum miring. "Bagaimana aku menjadi pembangkang, dan seburuk apa aku memperlakukan ibu, sebaik apa aku membiarkan ibu tetap mengaturku, bagaimana aku menerima semua perlakuan buruk dari ibu adalah bagaimana ibu dan aku bercermin."

"Sikap kasar, keras, egois, sulit diatur dan selalu melakukan apapun yang aku inginkan dengan bebas adalah bagaimana ibu juga memilikinya. Nakal dan bangsatnya aku hanyalah ibu versi pria, mau bagaimanapun ibu marah dan kesal padaku. Semuanya hanyalah cerminan diri ibu semasa kecil, saat ibu sudah dewasa dan memperlakukan hal buruk padaku bagaimana kakek dan nenek memperlakukan ibu, aku hanya berusaha mematahkan semua itu."

"Percuma ibu, semakin ibu menekanku, maka semakin aku lebih keras memberontak karena ibu menekanku terlalu keras." Tae Woo kembali mengalihkan tatapan ibunya yang sudah marah padanya dengan membuang wajahnya, kali ini Tae Woo hanya tidak ingin berbicara atau bahkan melihat ke arah ibunya setelah dia mengatakan begitu banyak sikap buruk pada ibunya sejauh ini.

Hahaha, tiga bulan setelah Tae Woo dan ibunya pada akhirnya bertemu setelah sekian lama.

Selalu ibunya yang datang, karena pada dasarnya Tae Woo benar-benar sudah angkat kaki dari rumah itu. Pria itu tidak akan datang ke rumah lagi apapun tang terjadi.

"Kim Tae Woo, aku ibumy Aku wanita yang melahirkanmu, bagaimana bisa kau berbicara padaku seperti ini sedangkan kau masih tidak paham kesalahanmu dimana."

"Meninggalkan rumah dan membeli apartemen paling dekat dari kantor bukanlah jawaban kenapa kau pergi."

"Dan lagi, jika kau benar-benar marah dan tidak menyukai sikap baik ibu pada Jung Hoo Sik, kau hanya perlu meminta hal manis semacam apa yang kau butuhkan."

"Ibu hanya ingin berusaha adil padamu dan pada Jung Hoo Sik, kau adalah putra ibu, dan Hoo Sik juga sudah ibu anggap menjadi putra ibu, kenapa kau harus menyiksa diri dengan hidup sendiri dan membenci ibu dan juga Jung Hoo Sik jika sebenarnya diantara ibu dengan Hoo Sik tidak memiliki hubungan apapun, Tae Woo."

Pria itu masih sibuk mengirim pesan, dan dia sama sekali tidak perduli dengan apa yang ibunya katakan padanya, bahkan dengan meletakkan ponselnya kembali, Tae Woo berjalan mengambil laptopnya dan beberapa berkas untuk meeting.

Tae Woo benar-benar tidak menganggap ada dan tidak ada ibunya di ruangannya, pria itu sibuk dengan pekerjaannya dan membiarkan ibunya terus mengoceh.

Seseorang mengetuk pintu ruangan Tae Woo, dan pria itu berjalan mendekat ke arah arah pintu dan membiarkan ibunya masih berdiri di tempat yang sama. "Terimakasih," jawan Tae Woo kembali ke kursinya dan kembali sibuk pada pekerjaannya.

"Kau hanya perlu pulang ke rumah dan tinggal bersama ibu lagi."

"Kim Tae Woo, darimana saja kau sampai sesiang ini? Kemana saja kau saat saham bulan ini turun dan kau datang ke perusahaan pukul sepuluh pagi?"

"Ya! Apa kau ingin perusahaan kakekmu bangkrut karena kinerjamu yang tidak bisa diandalkan karena selalu main dan membuang semua waktumu untuk---"

"Bisa ibu diam?" tanya Tae Woo mulai gerak saat ibunya kembali menyudutkannya. "Bagaimana bisa diam, perusahaan keluarga ibu hampir bangkrut dan saham turun, kau justru memerintahkan ibu untuk diam?" tanya ibunya tidak menyangka jika putranya mengatakan hal itu.

"Iya, percuma juga jika terus berbicara. Semua tidak akan mengubah apapun, saham tidak naik, dan ibu membuang waktu bekerjaku."

"Ibu pikir aku pergi keluar, dan datang ke perusahaan siang dan setelah makan siang aku tidak bertanggung jawab?"

"Jangan asal menuduhku seperti itu, ibu. Kau berlebihan!"

Ibunya memutar bola matanya malas, wanita itu menatap tajam putranya dan memulai berbicara lagi. "Ibu mendidikmu tegas karena ibu tidak memiliki siapa-siapa lagi selain dirimu," ucap ibunya membuat Tae Woo hanya bis amenghela nafasnya berat.

Di sini pria itu sedang dilema, antara dia senang mendangarnya Tae Woo bahkan merasa terbebani setelah mengingatnyaa.

"Aku tahu," jawabnya. "Tapi jika ibu bermaksud baik padaku, jangan membuatku marah dan terlihat membencimu bahkan saat aku mendengar suaramu. Itu menggangguku," sambung Tae Woo menjelaskan kembali pada ibunya jika dia butuh privasi, kebebasan, dan senang-senang.

Sejujurnya jika ibunya sedikit lebih memberi Tae Woo kebebasan, waktu luang dan kesempatan baru Tae Woo akan betan dan nyaman di rumah.

Setelah kedatangan Hoo Sik datang ke rumah Tae Woo mereka menjadi semakin akur, hanya saja semuanya terasa begitu canggung setelah Tae Woo mulai dianggap remeh, dianding-bandingkan dengan Hoo Sik dan masih banyak lagi.

Tae Woo yang memiliki tipe dan kepribadian yang selalu mendapatkan perhatian sebelum datangnya Hoo Sik, semua itu juga karena ibunya yang menjadi tidak adil.

Tae Woo terlalu gerah, dia tidak bisa bertahan dan memilih kabur dari rumahnya. Dan dua tahun penuh itu juga Tae Woo tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah rumah miliknya.

Sejujurnya kejam dan mengerikan, hanya saja Tae Woo benar-benar tidak bisa menerimanya setelah itu.

"Kau iri?" tanya ibunya membuat putranya hanya meneguk minumannya dan menaikan satu alisnya pelan pada ibunya. "Awalnya iya."

"Tapi akhir-akhir ini aku berpikir jika ibu dan Kak Hoo Sik layak menjadi suami istri." Total marah saat itu, siapapun pasti tidak akan suka jika diperlakukan buruk seperti ini, terkadang Tae Woo juga tidak seharusnya melakukan hal semacam ini.

Karena hal ini juga yang mampu membuat ibunya dan Hoo Sik menjadi semakin tidak senang. Diantara ibu Tae Woo dan Hoo Sik sama sekali tidak memiliki hubungan, dan penilaian Tae Woo benar-benar membuat siapapun akan marah. Walaupun Tae Woo sendiri juga marah.

PLAK.

Pukulan keras dengan suara kencang membuat Hoo Sik yang saat itu sedang menundukkan kspalanya snagat terkejut mendengarnya.

Ibu Tae Woo menampar keras wajah putranya karena apa yang dikatakan Tae Woo benar-benar keterlaluan.

"Sekali lagi ibu mendengar kau mengatakan itu, habis kau di tangan ibu Kim Tae Woo!!" Pria itu sedikit memberi ancaman agar putranya sedikit menurutinya, hanya saja pria itu hanya terkekeh kecil.

"Ibu menamparku?" Tae Woo terlihat beeyanya dengan menujuk wajahnya yang tertampar keras. "Tae Woo, ibu tidak bermaksud---"

"Ibu menamparku?" tanya Tae Woo ulang membuat ibunya menjadi sedikit tidak sadar jika dia berhasil mengangkat tangannya untuk menyakiti perasaan puteanya sendiri. "Ibu berani menamparku hanya karena Jung Hoo Sik?"

"Sekarang biarkan aku yang bertanya, dimana akal sehat ibu sekarang?" tanya Tae Woo dengan memperlihatkan wajah benar-benar datar dna tidak merasakan sakit apapun.

"Ibu menjual tubuh ibu pada Jung Hoo Sik karena ibu membunuh ayah, begitu?" tanya Tae Woo diluar dugaan membuat Hoo Sik terkejut bikan main mendengar hal tersebut.

"KIM TAE WOO, JAGA BICARAMU!" Tae Woo terkekeh begitu kembali suara nada tinggi dari ibunya. Dia tertawa kecil dan menyeka sedikit darah disudut bibirnya.

"Ibu menghilangkan jejak ayah hanya dengan mengatakan ayah meninggal, tidak tahukah ibu jika aku baru saja bisa mendengar suara ayah setelah sekian lama aku kehilangan sosoknya?"

Saya akan datang sesekali.

sakasaf_storycreators' thoughts
Próximo capítulo