webnovel

Tidak Seromantis Kelihatannya

Harusnya suasana malam yang romantis, alunan biola yang syahdu, juga pria tampan yang memeluknya dan mereka bergerak mengikuti alunan musik menjadi moment manis yang mendebarkan. Sayangnya hal itu sama sekali tidak terjadi pada Regina. Ya, bagaimana bisa dia berdebar seperti orang kasmaran kalau raut pria di depannya tampak begitu tertekan dan uring-uringan. Entah apa yang Adhi khawatirkan, Regina tidak bisa menebaknya. Tapi yang jelas pria itu sedang terganggu akan sesuatu.

"Aku tau, kamu ingin sekali pergi dari situasi ini, Tapi … demi menghindari gossip dan keramaian, bisa 'kan tahan dirimu sedikit lagi? Setidaknya berpura-puralah menjadi pasangan Bahagia sampai acara ini selesai." Regina tidak tau apa yang membuatnya berkata begitu. Yang jelas, kalimat yang muncul tanpa pikir panjang itu langsung bisa memancing reaksi Adhinatha sehingga menatapnya penuh dan tajam.

"Berhenti mengaturku, Regina."

"Aku hanya mencegah kamu melakukan tindakan bodoh, apapun itu."

Rahang pria itu mengetat marah. Egonya jelas tersentil mendengar kalimat Regina yang secara tidak langsung mengatainya bodoh.

"Kamu tidak perlu khawatir, Nona Regina. Aku bisa menjamin kalau diriku tidak akan melakukan hal bodoh seperti yang kamu khawatirkan. Jadi … pikirkan saja dirimu sendiri."

"Mana bisa?" balas Regina dengan raut datar.

"Mulai sekarang, kamu resmi jadi calon suamiku, 'kan? Maka dari itu urusanmu jadi urusanku mulai sekarang."

Mendecih, Adhinatha benar-benar jengkel dengan kalimat Regina yang entah bagaimana selalu bisa memancing emosinya. Lengannya sudah mengendur, hendak melepaskan rengkuhannya pada pinggang Regina, tapi wanita itu menahannya agar tetap melingkar di sana.

"Sudah aku bilang untuk bertahan sampai acara ini selesai, bukan? Setidaknya kalau sulit bersikap tulus, berpura-puralah." Tegas sekaligus tajam, Regina benar-benar tidak menahan diri di depan Adhinatha yang melotot tidak percaya.

"Kenapa sekarang kamu menjadi melewati batas dan berani mengaturku, hm?"

"Aku berhak melakukannya."

"Kita perlu membuat perjanjian saat menikah nanti dan memperjelas batas satu sama lain," pungkas pria itu akhirnya menyerah untuk melepaskan pelukannya. "Aku benci diatur seperti ini oleh orang sepertimu."

"Baiklah. Kita buat nanti. Yang detail dan saling menguntungkan."

***

Rupanya seorang Adhinatha tidak bisa bertahan seperti yang Regina pinta. Karena pria itu langsung pergi begitu sesi dansa itu berakhir. Tanpa repot membuat alasan atau pamit kepada orang tuanya, pria itu pergi begitu saja menyisakan ego Regina yang cukup terluka.

Beruntung Regina bisa menutupi itu semua karena dirinya tiba-tiba disapa oleh salah satu kolega yang kebetulan datang di acara itu. Mengobrol sembari menyesap minuman manis di tangannya, sudut mata wanita itu masih bisa menemukan sosok Adhi sebelum pria itu benar-benar menghilang di balik kerumunan. Pria itu berjalan terburu, seperti tengah mengejar seseorang entah siapa.

Regina sebenarnya ingin memastikan siapa yang pria itu temui, tapi sayang sekali dirinya harus bertahan lebih lama demi menghormati teman lamanya yang tengah sibuk bercerita tentang pengalaman liburan menyenangkan yang Regina rekomendasikan.

"Switzerland memang indah sekali, Regina. Aku ingin ke sana lagi kapan-kapan." Regina mengangguk dan tersenyum ramah menanggapi ucapan pria di depannya itu.

"Oh iya aku sampai lupa. Undangan untukmu." Selembar undangan muncul dari saku jas membuat sepasang mata Regina membeliak terkejut.

"Za?"

Pria Bernama Eza itu tersenyum lebar menjawab tanya wanita itu. "Yap. Aku akan menikah."

"Tiba-tiba sekali. Kamu benar-benar mengejutkan!"

Pria dengan rambut cukup panjang itu tergelak. "Kamu juga berhasil membuatku terkejut tadi. Kita impas, bukan?"

Mencebik, masih terlihat sebal, Regina membuka bungkus undangan berwarna silver itu. Dibacanya dengan teliti nama mempelai wanita dan lagi-lagi tatapannya tampak tidak percaya.

"Liana? Liana anak OSIS dulu yang suka berdebat denganmu?"

"Sepertinya kamu benar-benar terkejut, ya?" Menggeplak lengan pria itu pelan, Regina benar-benar kesal dibuatnya.

"Bagaimana aku tidak terkejut, huh? Bertahun-tahun kita kenal, kamu tidak pernah menceritakan kedekatanmu dengan wanita manapun. Aku bahkan sempat mengira kamu aseksual, tau?!"

"Heh! Sembarangan! Bisa-bisanya kamu mengira aku aseksual, Gin. Ya ampun, begini-begini aku normal."

"Ya jangan salahkan aku, dong. Salahmu sendiri terlalu tertutup begitu."

Pria itu nyengir lebar. "Biar misterius."

Dan umpatan tertahan Regina akhirnya meluncur dalam bentuk desisan.

"By the way, aku juga kaget lho sama berita barusan. Calon menantu Keluarga Prabu, eh?"

Regina hanya tersenyum hambar mendengar topik yang akhirnya Eza bahas. "Kok aku tidak tau kalau kamu tengah menjalin hubungan sama Adhinatha itu? Tau-tau tunangan saja."

Memang tau-tau tunangan. Setiba-tiba itu, memang.

"Ya gitu, lah."

"Kapan nikahnya?" tanya Eza lagi membuat Regina menjelingkan mata ke atas, berpikir.

"Mungkin dalam tahun ini."

"Sip. Kalau begitu ajak tunanganmu itu ke pernikahanku besok, ya? Jangan sampai datang sendirian dan terlihat menyedihkan."

Regina mencebikkan bibirnya mendengar peringatan Eza. Pria itu memang selalu bisa membaca apa yang terjadi tanpa perlu Regina jelaskan panjang lebar. Dan melihat Regina yang sendirian padahal baru satu jam yang lalu diumumkan kalau dirinya bertunangan, Eza jelas tahu kalau hubungan Regina dengan tunangannya tidak seharmonis seperti pasangan normalnya.

Maka dari itu pria itu mewanti-wanti agar Regina datang dengan sang tunangan besok. Agar ada moment kebersamaan keduanya.

"Eh, Gin, sepertinya aku harus ke sana. Aku perlu menyapa beberapa klienku. Kamu tidak masalah kalau aku tinggal dulu?"

Tersenyum tulus Regina mengangguk guna menunjukkan pada pria itu kalau dirinya baik-baik saja.

"Pergilah. Memang tujuanmu ke sini untuk memperluas relasi, bukan?"

Nyengir lebar, Eza tanpa sungkan mengangguk. "See you besok, ya? Dan aku menunggu kado terbaikmu."

Sebelum pergi Eza masih sempat-sempatnya melontarkan kalimat mengesalkan seperti barusan. Regina hanya bisa mendelik sebal yang mana membuat Eza kian tergelak. Pria itu senang sekali melihat Regina yang terlihat ingin mengumpat tapi menahan diri sebisa mungkin karena ini tempat umum dan banyak pasang mata yang mengamati.

Selepas kepergian teman baiknya, Regina melarikan pandangannya ke pintu tempat Adhi menghilang tadi. Pria itu masih belum kembali, jadi Regina berinisiatif menyusul dan mencari peruntungan bisa menemukan tunangannya itu.

Langkah membawanya ke parkiran yang sangat sepi karena orang-orang jelas lebih sibuk menikmati acara daripada berdiam di parkiran, bukan? Berjalan menyusuri mobil-mobil yang berjajar, Regina akhirnya bisa mendengar suara berdebat yang samar.

Dia menyembunyikan tubuhnya dibalik mobil saat melihat Adhinatha tengah berdebat dengan pria berjas yang terlihat memancarkan emosi marah.

"Aku tidak tahu kalau ibuku akan mengumumkannya sekarang. Maaf."

"Maaf katamu? Cih." Pria itu terlihat benar-benar marah.

"Aku bahkan masih ingat janjimu, Mas. Terus bersama apapun yang terjadi? Cih, makan tuh bualanmu."

"Aku tidak membual," sanggah Adhi terlihat tidak terima. Mengusap wajahnya kasar, ditatapnya pria di depannya dengan raut serius.

"Aku akan ke apart malam ini dan akan aku jelaskan semuanya, oke?"

Regina menggeleng-gelengkan kepala melihat interaksi dua pria di depan sana yang berbicara begitu serius dengan bertatapan intens. "Mereka bukan pasangan sesama jenis, 'kan?"

Próximo capítulo