•note: aku bukan ter-spesial, tapi aku akan buat aku bisa berarti buat kamu suatu saat nanti.
"GALIH!!" panggil Caca, gadis itu berlari kecil dengan baju serta rok kebesarannya yang menutupi lekuk tubuh gadis itu.
Merasa terpanggil, Galih menoleh ke belakang, pagi ini tumben sekali, Caca mencarinya, pasti ada sesuatu, pikirnya.
"Kenapa, Ca?" tanyanya saat gadis itu berjongkok di depannya dengan memegang kedua lututnya lelah.
"Anka mana?" tanyanya dengan nafas yang berantakan.
Baru saja Galih hendak menjawab, seseorang terlebih dahulu menyaut.
"Ke kelasnya Nabila,"
Caca menoleh ke belakang, dia menemukan Kelvin yang sedang berjalan cool dengan gaya badboy-nya.
Sebenarnya, Caca pernah sempat tertarik pada Kelvin dulu, sebelum ia mengenal Anka. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sebentar saja, mungkin karena dirinya hanya sebatas kagum saja lah pada laki-laki itu.
"Kok, Anka bisa di sana? Ngapain?" tanya Caca lalu berdiri tegak.
Kelvin mengangkat kedua bahunya, "nggak tahu," katanya lalu merangkul Galih dan keduanya pergi meninggalkan Caca sendirian di koridor itu.
Anak-anak SMA Rajawali, yang baru saja datang berjalan melewati Caca juga. Tak ada yang peduli dengan keberadaan gadis itu.
Caca cemberut, dia melangkah pelan.
"Tetap, Nabila, ya nomor satu?" gumamnya.
"Mau apa lagi sih, An?" dengus Nabila ketika baru saja datang ke sekolah sudah di samperin oleh, mantan kekasihnya ini.
Anka berdecak, "Bil, bisa nggak Lo_"
"Cukup! Aku nggak mau dengar apa-apa lagi dari kamu, hubungan kita udah lama selesai, kenapa coba masih di bahas-bahas?!"
"Karena gue masih cinta sama Lo, Bil!"
Nabila memejamkan matanya, lalu membukanya kembali, "sampai kapan kamu bisa paham, An? Mau sebesar apapun cinta kamu saat ini sama aku, aku nggak bakal bisa balas,"
Anka memandang Nabila dengan tatapan memelas, laki-laki tampan berseragam SMA yang tidak di masukkan itu meraih tangan Nabila dan menggenggamnya pelan.
"Bil, please... Ayo mulai sebuah hubungan lagi, gue nggak bisa tanpa Lo, Nabila..."
Gadis tersebut melepaskan genggaman Anka dari tangannya, kemudian menggeleng.
"We're done, Anka!"
Sementara seorang gadis yang mengintip di balik tembok, terus menyimak apa yang kedua nya ucapkan.
"Sekali sama, Nabila, kamu ngemis-ngemis. Lah, giliran sama aku, kamu usir-usir, gini amat nasib aku," gumamnya.
"Kita nggak pernah selesai, Nabila, kita tetap lanjut meskipun kamu anggap hubungan kita selesai!"
"GAL! Please... Jangan egois... Aku nggak mau kamu gini please..." pinta Nabila memohon pada laki-laki tampan tersebut.
"Kamu harus ingat, Caca, dia tulus sama kamu, jadi tolong, jangan sia-siain dia selagi dia masih selalu ada sama kamu,"
Sementara, Caca yang ada di persembunyiannya, menyadarkan punggungnya di tembok, matanya terpejam erat kemudian menitikkan air mata.
"Nabila, pantas kamu cinta mati sama dia, toh ternyata dia sebaik itu,"
Siang harinya, di jam istirahat. Caca dan Wendy bersiap-siap untuk ke kantin. Tapi gagal karena kehadiran, Doni yang tiba-tiba menyengat mereka di koridor.
"Mau apa lagi Lo?!" sahut Caca menantang.
Doni memasang wajah remeh, dia selalu menatap penampilan Caca dari atas sampai bawah.
"Lo cakep, tapi sayang... Penampilan Lo nggak banget," ejeknya.
"Siapa Lo?! Berani-beraninya mengomentari gue!" cibir Caca. Beradu mulut dengan Doni siang ini sepertinya seru.
Wendy menarik tangan Caca untuk mengajak gadis itu pergi saja dan mengabaikan Doni yang semakin hari semakin gencar mengganggu Caca, semenjak kejadian di lapangan itu.
Tapi apa yang Caca lakukan? Dia malah menepis tangan Wendy.
"Nanti dulu, Wen, aku harus selesaikan masalah aku sama dia!" tunjuknya pada cowok tampan yang tinggi di depannya.
"Apa?!"
"Lo yang apa?! Tiba-tiba cegat gue sama Wendy seenaknya, emang Lo pikir ini jalan bapak moyang Lo?!"
"Dih, siapa Lo? Suka-suka gue lah! Di sini gue punya hak kuasa sebagai kapten basket, sedangkan Lo? Cuma kuman yang berpenampilan acak-acakan!"
Wah-wah, memang ngajakin war nih, Caca menggulung lengan bajunya. Gadis itu membuat raut wajah seperti preman pasar.
"Maksud Lo apa ngomong gitu?!" tanyanya sambil mengangkat dagunya, berani.
Doni tertawa ngakak, lalu berjalan mendekat ke arah Caca kemudian mendorong kening cewek itu.
"Nggak usah sok-sok-an!"
Caca mengusap dahinya pelan, lalu dengan sekuat tenaga dia menendang tulang kering Doni hingga membuat laki-laki itu terpekik kesakitan.
Sebelum Doni mengumpat, Caca menarik tangan Wendy berlari.
Dan benar saja, tak lama Doni mengumpat kencang.
"SIALAN LO CACA!!"
Caca tertawa kencang bersama Wendy. Gadis itu puas sudah membalas Doni yang seenak jidatnya mendorong kepalanya. Ya meskipun tidak kuat, tapikan rasa kesalnya itu loh.
Saat sampai di kantin, Caca dan Wendy masuk, namun tidak ada satu meja pun yang kosong. Semuanya sudah penuh.
Mau gabung di meja pojok pun, rasanya Caca malas hari ini.
"Kenapa, Ca? Kok murung?" tanya Wendy.
Caca menggeleng lalu menarik tangan sahabatnya itu keluar dari kantin.
"Ca? Lo kenapa?" Wendy terus mendesak Caca agar berbicara, tak lama setelah ketawa tiba-tiba murung dan sedih seperti itu.
"Biasanya Lo langsung masuk dan duduk aja tuh di bangku Anka and the geng, kok lari?"
"Aku lagi nggak mood, aku lagi sakit hati,"
Wendy terkekeh, dia merangkul Caca yang lebih pendek darinya.
"Elah, nggak kayak biasanya Lo,"
Sementara, Anka, Galih dan Kelvin yang merokok bebas di kantin itu sambil bercerita-cerita sedikit tentang taktik dan strategi untuk balapan malam ini nanti.
Yang turun malam ini untuk balapan adalah Kelvin, bukan balapan serius sih, hanya balapan main-main saja karena geng yang menantang geng PASJI adalah geng yang sudah bersahabat lama dengan geng PASJI.
"Eh tadi Lo ada lihat, Caca, nggak sih?" tanya Galih menoleh pada pintu masuk Kantin.
Kelvin menggeleng, sementara Anka diam saja.
"Tadi gue sempat lihat, tapi nggak lama dia pergi gitu aja," kata Galih lalu mengigit gorengan yang ada di meja.
"Nggak biasanya," timpal Kelvin kemudian menyenderkan punggungnya ke punggung kursi.
Anka? Jangan kan mau bergabung membahas gadis itu, dia saja malah memakai earphone di telinganya.
Sementara Caca yang sedang berada di toilet seorang diri tanpa Wendy menatap pantulan wajahnya di cermin.
Penampilannya yang sangat jauh dari kata cantik membuatnya sadar jika memang benar dirinya ini bukan tipe cowok seperti Anka.
Banyak yang menyukai, Caca, tapi ya itu, Caca tidak peduli dan hanya fokus pada Anka. Laki-laki yang menyukainya kebanyakan kakak kelas yang tak kalah tampan dari Anka, bukan karena penampilan dan fisik, tapi mereka menyukai Caca karena sifat dan kepribadiannya yang menggemaskan.
Yang tulus padanya memang banyak, tapi sayangnya Caca hanya tulus pada Anka saja.
Ya begitu lah hidup, di saat orang-orang di luar sana mengejar kita, kita tidak memperdulikannya, dan saat kita mengejar seseorang, seseorang itu yang tidak memperdulikan kita.
Adil memang! Tapi terkadang manusianya saja yang tak bisa bersyukur dan membuka matanya.