webnovel

Bab 9 Menipu Si Polos Kaylee

Wajahnya, yang tadinya tampak hidup, kini memutih dan panik, memikirkan apa yang akan terjadi jika Tuan dan Nyonya Larson mengetahui bahwa dia menyamar sebagai putra bungsu mereka.

Apa yang harus dia lakukan? Bukankah lebih aman jika dia menghentikan tindakan ini? Bagaimanapun, Nicholas sudah diterima di universitas, jadi perannya sebagai 'Nick' sudah berakhir.

Plok!

Tepukan lembut di bahu memotong lamunannya, dan sebuah tawa yang membahana tiba-tiba menyerang telinganya.

"Hahahahahahahahahaha… oh my god! Kau percaya omonganku?"

Dahi Kaylee bahkan lebih mengernyit tanpa tahu apa-apa, dan dia hanya menatap sahabatnya dengan bingung.

"Sayang, adikku hanya bercanda. Orang tua kita tidak akan melakukan apa yang dia katakan. Lagipula, mereka sudah tahu dan menyetujui rencana kita. Mereka tahu bahwa Nick tidak ingin kuliah karena dia sudah punya band sendiri... jadi, ya begitulah."

Kaylee menatap Nick dengan jengkel dan luar biasa marah. Beraninya anak ini menakut-nakutinya sampai mati?! Dia hampir kena serangan jantung!

Meskipun ada begitu banyak yang ingin dia keluhkan kepada anak remaja itu, Kaylee tetap tidak bersuara dan mengatupkan rahangnya.

Inilah kelemahan Kaylee yang introvert. Dia dengan mudah mempercayai apa yang dikatakan orang lain tanpa berpikir bahwa mungkin ada kemungkinan orang tersebut menipunya. Tidak sedikit orang yang ingin memanfaatkannya dan membohonginya dengan terampil. Itulah mengapa Kaylee lebih suka mengasingkan diri dan tetap rendah hati sehingga tidak ada yang menyadari keberadaannya.

Sebaliknya, dia berharap dia memiliki kekuatan supernatural yang bisa membuatnya tidak terlihat… yang merupakan pemikiran yang tak masuk akal.

Untungnya, Wendy bukanlah orang yang suka memanfaatkan kelemahan orang lain dan dengan tulus berteman dengan Kaylee. Bahkan Wendy dan Nick akan membelanya jika ada yang mencoba mengganggunya atau menipunya.

Hanya saja ... kali ini, mereka benar-benar harus meminta bantuan Kaylee, dan mereka tidak punya cara lain untuk membuat Kaylee menuruti permintaan mereka selain dengan menipunya secara licik.

Saat itu, Wendy membuat hati Kaylee merasa senang dengan acara yang sangat menggembirakan hatinya. Kaylee sangat bersemangat menghadiri festival musik tahun ini di Boston. Ketika Kaylee sedang lengah, Wendy mengajukan serangkaian pertanyaan, yang membuat Kaylee tidak memiliki pilihan selain menjawab 'ya'.

"Apakah kau bahagia hari ini?" tanya Wendy dengan suara lantang karena betapa ramai kebisingan musik festival.

"Iya!" jawab Kaylee dengan suara menggelegar yang sama dengan temannya sambil melompat-lompat mengikuti irama musik yang keras.

"Apakah kau menyukai kejutanku?"

"Iya!"

"Apakah kau penggemar Black Moon?"

"Dobel iya!!"

"Kamu mau menolongku, kan?"

"Iya!!"

"Kalau begitu, kau pasti bisa menyamar sebagai Nick dan kuliah di M University,k kan?"

"Iya!!" saat itulah Kaylee berhenti melompat dan menatap temannya dengan bingung. "Ha??"

"Kau sudah menjawab ya, jadi kau tidak boleh menariknya kembali."

Itulah awal mula kenapa Kaylee menuruti permintaan sahabatnya meski sebenarnya dia tidak ingin menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Meskipun tidak mengerti cara untuk menjadi seseorang seperti Nick, Kaylee tidak menolaknya karena dia sudah menganggap Nick sebagai adik laki-lakinya dan dengan tulus ingin membantu bocah itu.

Wendy dan Kaylee telah berteman sejak mereka masih kecil. Kaylee bahkan menyaksikan Nick tumbuh dewasa. Langkah pertama Nick, kata pertama yang diucapkan Nick, serta yang membantu Ny. Larson, mengganti popok anak itu adalah Kaylee.

Karena itu, Kaylee juga sangat menyayangi Nick seperti saudara kandungnya sendiri. Hanya dengan Nick, Kaylee tidak merasa canggung. Namun saat berhadapan dengan pemuda lain, Kaylee justru terdiam dan ingin segera menjauh dari pria tersebut. Termasuk kandidat calon 'tunangannya'.

Ketika Declan mengunjungi rumahnya bulan lalu, Kaylee tidak banyak bicara dan hanya menjawab ketika ada yang bertanya. Pertama, dia tidak ingin terlalu dekat dengannya. Kedua, dia tidak ingin Declan menyadari bahwa 'Nicholas' yang bermain piano saat itu adalah dirinya.

Declan tampaknya juga tidak tertarik untuk lebih mengenalnya. Dengan demikian, Kaylee bisa bersantai di tempatnya. Sepertinya perjodohan ini akan dibatalkan, mengingat tidak ada pihak yang tertarik untuk menikah.

Kaylee mengira ibunya telah menyerah padanya dan tidak memaksanya untuk menikahi Declan. Sejak itu, pria itu tidak pernah lagi datang ke rumahnya. Dan diskusi tentang perjodohan mereka juga tidak lagi dibahas.

Sayangnya, tanpa sepengetahuannya, Ny. Black dan ibunya sudah mempersiapkan acara pertunangan mereka. Yah, Declan juga tidak tahu tentang ini, jadi Kaylee tidak akan menjadi 'korban sembelihan' sendirian.

[Kaylee: Apa maksudnya itu?]

"Hei, apa yang kau pikirkan?" panggil Wendy memecah lamunannya.

"Tidak ada," adalah jawaban singkatnya. "Sepertinya aku harus mengurangi setengah dari pekerjaanku setelah tahun ajaran dimulai." Kaylee bisa membayangkan kesibukannya sebagai mahasiswa baru semester pertama, dan pekerjaannya pasti akan terabaikan.

"Ah, benar. Tenang saja. Aku akan membantumu."

"Terima kasih. Kau benar-benar pahlawanku."

Wendy tertawa mendengarnya. "Kau tidak perlu berterimakasih, malahan Nico yang seharusnya bersyukur. Coba lihat. Anak tak tahu berterimakasih itu sudah pergi begitu selesai melihat pengumuman. Ckckck."

Kaylee baru sadar bahwa Nick sudah tidak ada lagi bersama mereka dan pergi ke suatu tempat ketika dia sedang melamun.

Kali ini Kaylee yang tertawa. "Tidak apa-apa. Itu kebiasaannya, kan?"

Keduanya terkikik bersama. Nicholas dikenal sebagai anak yang sangat manja, tetapi pada saat yang sama, dia bisa bersikap sopan dan sadar diri saat berhadapan dengan orang lain yang lebih tua.

Anak itu juga terkenal karena emosinya yang berapi-api ketika ada yang membuatnya kesal. Namun hanya untuk kedua 'kakaknya', Nico bertingkah seperti anak manja dan tidak pernah ragu untuk meminta apapun.

Hari berlalu dengan cepat, dan hari disaat Kaylee memasuki kampus untuk menggantikan Nick tiba sebelum dia menyadarinya.

Kaylee harus bangun pukul empat pagi untuk melakukan rutinitas penyamarannya. Dia memakai alis palsu untuk membuat alisnya terlihat tebal. Tambalan kulit imitasi di sisi wajahnya membuatnya tampak lebih maskuli, dan dia menggulung rambut hitam panjangnya menjadi sanggul sebelum ditutup dengan wig pendek berambut coklat terang yang mencolok.

Dia juga harus melilitkan kain putih di sekitar dadanya agar dadanya yang berukuran sedang tidak menonjol. Kaylee mengenakan kaus putih berukuran besar dan kemudian menggandakannya dengan kemeja kotak-kotak berlengan. Dia juga mengenakan jeans robek, dan selesai sudah penyamarannya menjadi seorang Nicholas Larson.

Sekarang Kaylee berdiri di depan gerbang kampus dengan tatapan ragu. Apakah dia akan baik-baik saja? Akankah penyamaran ini berjalan mulus?

"Hei, Nick. Kita bertemu lagi!"

Sekali lagi, seorang anak laki-laki memeluk bahunya dengan kasar nyaris seperti memiting lehernya. Apakah anak muda ini berniat untuk mencekik lehernya hingga mati!? Apakah semua pria menyapa teman mereka seperti ini? Dan dia harus belajar membiasakan diri?

"Yup. Kita akhirnya berhasil di sini. Aku merasa seperti bermimpi." Kaylee meniru gaya bicara Nick yang bersemangat dan energik sambil mencoba melepaskan 'cekikan' teman barunya.

"Aku tahu persis apa yang kamu maksud. Semuanya seperti mimpi. Bayangkan, dari lima ratus yang mendaftar, hanya dua puluh orang yang diterima. Dan kita adalah dua puluh orang itu. Lihat, tubuhku sangat bersemangat hari ini." anak laki-laki itu melompat kegirangan untuk menunjukkan antusiasmenya.

Kaylee menertawakan tingkah lucunya yang sangat mirip dengan Nick. Mungkin karena baru saja lulus dari SMA, Kaylee bisa melihat sikap kekanak-kanakan yang dia temui di hampir setiap 'teman' baru yang dimilikinya.

Kaylee mencoba memikirkan semua cowok yang akan menjadi temannya selama masa 'kuliahnya' adalah Nick.

Rasanya jauh lebih nyaman membayangkan anak laki-laki itu sebagai Nick, dan dia bisa berteman dengan mereka semua.

Dia sangat berharap begitu.

Próximo capítulo