"Syilla, sudah cukup marahnya kamu ke saya." Dhika menahan pintu kamar yang hendak di tutup gadis keras kepala ini.
"Saya nggak marah, saya MUAK liat bapak, ngerti nggak?!" Teriaknya dari balik pintu, gadis itu masih berusaha menutup pintu kamarnya.
Dengan sekali hentakkan Dhika pintu terbuka sempurna, akibatnya Arsyilla terhuyung menjauh dari pintu. Tidak ingin membuang kesempatan Dhika masuk dan mengunci pintu kamar Arsyilla.
"Kita ngomong di luar." Arsyilla tidak ingin berada satu ruangan yang sempit dengan Dhika.
"Kamu pikir saya bodoh? Kalau kita keluar, kamu kabur." Dhika berjalan mendekati Arsyilla yang berdiri dengan siaga, gadis yang memakai kaus oversize beserta jogger, rambut di cepol asal. Sangat menunjukkan dirinya remaja.
"Ya udah, bapak stop disana!" Intruksi Arsyilla, dadanya naik-turun.
"Ok, saya duduk di sofa, kamu di kasur. Tidak ada sentuhan fisik, jangan takut seolah saya seorang pedofil." Mengingat itu kepala Dhia berdenyut nyeri.
Umur baru 28 tahun, predikat yang di sandang malah pedofil, walau tidak secara gamblang tapi Dhika cukup tau untuk memahaminya.
"Ok." Arsyilla duduk di tepi ranjang sambil melirik Dhika tang berbalik menuju sofa.
"Kenapa kabur?" Tanya Dhika to the point.
"Saya nggak mau lagi tinggal di penthouse laknat itu." Alis Dhika nayaris bersatu.
"Kamu bilang apa?" Tanyanya sekali lagi, berharap telinganya yang bermasalah.
"Saya bilang, saya nggak mau lagi tinggal di penthouse laknat itu, pak!" Arsyilla membesarkan volume suaranya.
"Laknat?" Ulang Dhika dengan raut wajah tak percaya.
"Iya, penthouse itu kayak neraka pak, saya nggak mau terbuai terus mewajarkan setiap tindakkan bapak."
"Maksudmu?" Dhika belum bisa memahami kemana tujuan Arsyilla bicara ngelantur seperti ini.
"Bapak kasi saya tempat tinggal yang wow, kartu yang wow, terus bapak mau bertingkah seenaknya sama saya, bapak zina saya harus biarin dan menutupinya, saya nggak mau nurut, bapak main bentak saya, itu namanya bapak merendahkan harga diri saya, siapapun mahkluk yang berstatus manusia nggak mau di buat kaya gitu pak, apalagi saya. Ingat ya pak, saya nggak silau sama fasilitas yang bapak kasi, nggak nikmat juga." Panjang lebar Arsyilla mengomel sambil jalan-jalan kecil di tepi ranjang, dengan tangan mengayun-ngayun ke udara.
Dhika tidak mampu mendengar dan menyerap semua omelan Arsyilla, gadis itu seperti sedang baca puisi di depannya, hanya beberapa kata Arsyilla yang mampu di ingatnya.
"Siapa bilang saya zina? Siapa bilang saya suruh kamu menutupinnya? Dan siapa bilang saya bentak kamu karena kamu tidak menurut?"
Semua pertanyaan Dhika tidak mampu di jawab Arsyilla.
'Boleh phone the friend gak?' Batinnya.
"Kurang jelas apalagi pak? Malam bapak nelpon saya, saya dengar semuanya, bapak pikir saya tuli?"
"Apa yang kamu dengar?" Desak Dhika.
"Nggak usah pura-pura lah." Arsyilla nyolot.
"Saya tanya apa yang kamu dengar?" Suara Dhika jadi serius, bentar lagi ilang sabar pasti ngebentak, terus Arsyilla nangis.
"Suara perempuan," jawab Arsyilla sambil memalingkan wajah.
"Apa artinya saya zina hanya karena kamu mendengar suara wanita?"
"Tapi suaranya nggak normal! Ngerti nggak?" Arsyilla kesal kali udah sama manusia satu ini.
"Maksud kamu?" Sabar Dhika benar-benar di uji.
"Desah pak! Desahhhhhh!!! Masa gitu aja harus saya ucapin sih!!" Raung Arsyilla sambil menjambak rambutnya frustasi.
"Tapi saya nggak dengar dia desah."
"YA TUHAN, AMPUNI HAMBA!" Jerit Arsyilla sekuat tenaga.
"Terus yang desah itu hantu? Wewe gombel gitu, bapak gunduruwonya!"
"Kamu tenang dulu, kita urai masalahnya. Jangan berpikiran terlalu liar dan membenarkannya sepihak."
"Nggak usah di urai-urai pak, nggak ada solusinya juga. Pokoknya saya nggak mau pulang, dan saya akan minta cerai. Batin saya udah nggak kuat pak."
"Kamu seenaknya mengatakan kata cerai, terus batin kesiksa, di sini seolah saya mahkluk yang paling kejam."
'Emang iya, emang begitu' batin Arsyilla memperagakan suara seorang komedian, si raja pantun.
"Ya udah la pak, jangan di buat ribet, di selesaikan aja, cerai aman lagi. Kita itu nggak ada chemistry, entah sebagai guru dan murid, pria-wanita, adik-kakak apalagi suami istri. Nggak ada satupun yang cocok."
"Dengarkan saya lebih dulu bisa, sedari tadi kamu yang mendominasi perdebatan ini, Syilla." Arsyilla menarik nafas dan duduk di tepi ranjang.
"Silahkan," ucapnya.
"Pertama itu bukan suara desahan seperti yang ada dalam otak kecilmu, itu suara ringkihan seorang kenalan saya, dia sedang sakit, kedua saya tidak berniat membentakmu, malam itu saya kelepasan karena tuduhanmu, dan terakhir saya memintamu berbohong pada orangtua saya, itu karena alasan yang tidak bisa saya katakan padamu, yang jelas tidak ada zina dan semacamnya."
'Jago ngarang ni guru, cocoknya jadi guru bahasa bukan matematika' batin Arsyilla.
"Jika kamu ingin cerai sekarang tentu saya sangat senang, tapi pernikahan bukan mainan Arsyilla, bertahanlah sedikit lagi sampai kamu benar-benar memahami apa yang terjadi."
"Sedikit laginya berapa lama? Terus apa yang harus saya pahami dalam pernikahan ini?" Tanya Arsyilla.
"Paling cepat dua tahun paling lama empat tahun, setelah itu apapun yang terjadi saya janji akan menceraikan kamu, dan saya pastikan kamu tidak akan kehilangan apapun selain status gadismu di mata masyarakat, untuk memahami arti pernikahan ini, waktu yang akan menjawab."
Dhika tidak bisa mengungkapkan hal tersebut karena gadis ini akan merasa di manfaatkan dan dia semakin meronta.
"Tapi itu sangat lama pak, mana bisa saya bertahan selama itu." Arsyilla meluruhkan tubuhnya.
"Tidak akan lama, anggap kamu kuliah. Jika di jalani semua terasa cepat."
"Terus lulus dapat gelar janda bukan sarjana." Bibir Dhika berkedut karena ingin tertawa mendengar ucapan istri kecilnya.
"Pernikahan ini bukan keinginan saya sepihak, kamu juga menyetujuinya."
"Saya di suruh milih nyebur kelaut atau lompat kejurang, galau banget saat itu. Tapi saya milih nyebur laut, paling gak saya masih bisa berenang ke tepi. Kalau kejurang yang ada mati mengenaskan."
"Kalau begitu kita berdua tidak diuntungkan dalam pernikahan ini."
"Saya nggak yakin bapak nggak ada untung, orang macam bapak itu selalu berpikir untung di depan."
"Orang macam apa saya yang ada dalam otak kecilmu itu?"
"Lintah darat, menghisap darah target bapak sampai habis tak bersisa."
"Perumpaanmu boleh juga," jawab Dhika enteng.
"Besok kita kembali, jangan kabur-kaburan lagi, sekolahmu terbengkalai, Syilla."
"Saya minta sesuatu boleh?" Suara Arsyilla melembut.
"Kartu?" Arsyilla memutar bola mata malas sambil menggeleng.
"Apa?" Alis Dhika naik sebelah, menatap Arsyilla sangat serius.
"Pindahin saya ke IPS." Dhika mengeraskan rahanganya.
"Alasanmu?" Tanyanya dengan gigi rapat.
"Saya bosen ketemu bapak tiap hari, di rumah ketemu, sekolah ketemu, di kelaspun ketemu." Dhika ingin teriak saat ini.
'Dia pikir aku hama? Apa katanya? Bosan? Bertemu aku?'
Di dunia ini hanya satu makhluk yang berani mengatakan hal itu padanya.
"Baik jika itu maumu." Dhika mengangguk dengan seringai iblisnya.
Arsyilla mengembangkan senyum manisnya, sejenak Dhika terpana namun dengan kalimatnya mampu melenyapkan senyum manis itu.
"Guru kesayanganmu saya pecat."
"Kok gitu?" Arsyilla bersiap memuntahkan laharnya.
"Kamu bilang saya lintah daratkan? Saya sedang tunjukkan padamu bagaimana menghisap darah target saya." Setelah mengatakan itu Dhika membuka pintu.
Tanpa di duganya, ketiga pelayan menguping dari balik pintu.
Sebenarnya hanya Mira, mang Jamal dan istrinya berusaha menarik Mira dari sana.
Gadis desa itu takut Arsyilla di lecehkan, jadi dia berniat berjaga-jaga di depan pintu.
Dhika sudah emosi tingkat alien, ia mengeraskan rahangnya menatap tajam ketiga orang tersebut, sontak mereka gemetar ketakutan.
"Tttikkusnya nggak ada disini," cicit Mira yang langsung kabur dari hadapan Dhika.
Gadis kampung itu mengidolakan wajah Dhika tapi tidak pada orangnya.
Kalau bisa hanya ingin majang wajahnya aja di kamar, persis kayak poster artis dangdut kesukaannya.
selamat membaca, we love u guys....
jangan lupa tinggalkan jejak cintanya ya :)