webnovel

Sarah

"Apakah dia sudah datang?" Itu adalah pertanyaan awal Sean ketika dirinya sudah sampai di kantor. Jangan ditanya lagi, kepada siapa dia berbicara kini, tentu saja dengan Yunxi asistennya yang kini tengah sibuk mempersiapkan beberapa lembar kertas yang berisi dokumen penting yang harus di tandatangani oleh Sean, serta ada deretan jadwal rapat pria itu dengan para klient.

"Sepertinya sudah," jawab Yunxi tidak begitu fokus. Namun, perhatiannya teralih saat melihat Sean yang kini beranjak dari kursinya. "Anda ingin ke mana, Tuan?"

"Ingin menghirup udara segar."

"T—tapi, ini ada dokumen yang harus—" Ucapan Yunxi terpotong.

"Letakan di meja, saya akan segera kembali." Sean tampak sangat bersemangat pagi ini, dia melangkah keluar ruangan meninggalkan Yunxi sekretarisnya yang melongo menatap kepergiannya.

Yunxi hanya bisa geleng-geleng kepala sebelum kembali fokus pada lembar kerjanya.

Sedangkan Sean melangkah dengan cepat hendak akan masuk ke dalam gedung Vermillion Jade, hingga seorang perempuan menahan langkahnya.

"Seaaaaannnnn," rengek perempuan itu seraya mengamit lengan Sean.

Sean menepis tangan itu dari lengannya. "Masih berani kamu datang ke sini, Jennie?"

Jessie membusungkan dada. "Kenapa aku harus takut? Aku datang untuk membawakan sarapan calon suamiku."

Sean berdecak, tidak habis pikir dengan perempuan yang berdiri di hadapannya kini. Padahal kemarin dia sudah diusir paksa oleh keamanan di kantor ini, tapi sepertinya Jennie tidak kapok sama sekali, bahkan pagi-pagi begini dia sudah kembali mengusik harinya.

"Ngomong-ngomong … kamu ngapain ke gedung ini?"

Sean memalingkan wajah. "Bukan urusanmu."

"Memang bukan. Kalau begitu …," Jennie kembali menarik lengan Sean, kali ini lebih erat memeluknya, "kita ke ruangan kamu. Kita sarapan bareng-bareng, ya? Lihat nih, aku bawa makanan yang harumnya ngelebihin bebek goreng kesukaanmu." Jennie mengangkat goodie bag digenggamannya hingga ke depan wajah Sean.

Sean yang muak akhirnya menepis goodie bag yang digenggam Jennie, membuat makanannya itu jatuh ke atas aspal. Jennie yang melihat perlakuan Sean hanya bisa menutup mulutnya karena terkejut. Rengkuhan tangannya di lengan Sean pun otomatis terlepas begitu saja.

"K—kamu—" Jennie tergagap, bahkan lidahnya terasa kelu. Sebab makanan yang dibawanya ini bukan hanya sekadar sarapan paginya Bersama Sean, tetapi makanan itu adalah kerja kerasnya pagi-pagi sekali. Dia membuatnya sendiri, dibuat dengan perasaan penuh cinta untuk Sean.

Tidak, ini bukanlah salah Sean. Ini adalah salah dirinya. Sudah beberapa kali Sean berperilaku kasar dan terang-terangan menolaknya, tapi dia justru seperti yang tak tahu mau semakin menempel pada lelaki itu. Seharusnya Jennie sadar diri, Sean muak kepadanya. Jennie memang beranggapan semua ini hanya sementara, sebentar lagi bukan hanya hati Sean yang akan menjadi miliknya, tetapi kekayaan pria itu juga. Bukannya mendekat, Jennie justru merasa Sean semakin jauh dari jangkauannya, bahkan bayangannya seakan menghilang, bersembunyi agar tidak Jennie temui, sekalipun di belahan bumi ini.

Sean merapikan jasnya yang sedikit berantakan akibat rengkuhan Jennie tadi. "Kamu tidak perlu lagi membuang-buang waktu untuk melakukan ini. Karena … semuanya akan percuma, Jennie. Aku sudah tidak ingin menyakitimu lebih jauh, jadi aku pikir, hentikanlah cukup sampai di sini."

Usai mengatakan hal itu, bagai tidak punya hati, Sean kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam gedung itu. Dia membiarkan Jennie yang menatapnya dengan sesak, matanya bahkan berbinar. Pagi ini lebih sakit dari pagi-pagi sebelumnya, dan Jennie bahkan masih keras kepala untuk tetap berada di sana, hingga punggung Sean menghilang di balik pintu utama yang kini sudah tertutup sempurna.

****

Sarah mengembuskan napas lelah, sudah cukup dirinya dibuat berkeliling gedung oleh Amara. Bukan berkeliling gedung biasa, tetapi di setiap ruangan atau divisi yang didatangi keduanya, Amara akan mengulur waktu dengan berlama-lama hanya untuk sekadar mengobrol dengan karyawan lain, membiarkan Sarah berdiri lama seraya memerhatikannya yang sibuk sendiri.

Kini dia sedang beristirahat di kantin, meluruskan kakinya yang berada di kolong meja. Sarah juga melepas sepatu hak tinggi miliknya yang melelahkan sekaligus membuatnya terluka. Sebenarnya sepatu itu bukan milik dirinya, tetapi sepatu itu di berikan oleh Bi Ina tadi pagi, entah mendapatkan dari mana. Ukuran sepatu itu memang lebih kecil, jadi sangat sempit dikenakan untuk Sarah. Tapi apa boleh buat, daripada dia menggunakan sepatu biasa yang dipakainya kemarin. Walau kekecilan, tapi sepatu yang dipakainya gini lumayan membuat kakinya sedikit indah.

"Bagus sekali kamu berada di kantin saat masih jam kantor seperti ini! Anak baru macam apa kamu ini?!"

Suara itu membuat Sarah cepat-cepat menarik kakinya serta mengenakan lagi sepatunya, dia berdiri dengan tergesa. Dan ternyata pemilik suara itu adalah Amara. Benar-benar membuat Sarah terkejut saja.

"Ternyata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya itu benar. Kamu dan Ibumu sama-sama tidak tahu malu dan tidak tahu diri! Tidak bisa menempatkan posisi yang pas dengan keadaan yang ada!" Amara bersuara lantang, membuat para penjaga kantin menatap ke arah mereka berdua.

Sarah hanya bisa terdiam, mendengar segala kata-kata menyakitkan keluar dari mulut Amara. Ingin melawan, tapi Sarah sadar diri, dia sadar dengan posisinya kini yang menjadi karyawan baru di perusahaan. Dia tidak memiliki kuasa untuk bisa balas menghardik Amara. Apalagi yang diucapkan Amara tentang Ibunya adalah benar.

"Perempuan seperti kamu itu seharusnya tidak berada di perusahaan ini! Baru hari pertama saja sudah bermalas-malasan seperti ini!"

Sarah yang sedari tadi menunduk, mulai mengangkat wajahnya. "Tadi Pak Budi yang bilang sama aku kalau hari ini aku hanya cukup menghafal ruangan-ruangan yang berada di gedung ini."

Suara tepukan tangan datang menghampiri, ternyata gerombolan teman Amara kini mulai datang menghampiri. "Wah anak baru sudah berani sekali menjawab perkataan seniornya!" sahutnya.

"Ini anak baru yang dapat rekomendasi dari Pak Sean, kah? Pantas saja. Pasti dia menggunakan wajah cantiknya dan tubuh seksinya untuk menggoda Pak Sean agar memasukannya ke divisi terbaik di perusahaan ini," sahut teman Amara yang lain.

Amara yang mendapat dukungan dari ketiga temannya yang berada di sampingnya itu tersenyum senang penuh kemanangan.

Dan kini rasa kebahagiaan Sarah kemarin benar-benar akan sirna hari ini juga, begitu cepat, hingga Sarah belum merasakan bahagianya hari ini. Kini Sarah tidak sengaja masuk ke dalam lubang yang gelap, dia harus lebih berusaha keras untuk dapat keluar dan kembali bersinar dengan cahayanya sendiri.

Segala umpatan dan kata-kata kotor nan kasar terus terucap untuk Sarah, membuatnya menunduk, tak lagi berani mengangkat wajahnya.

Sebuah suara kembali menginterupsi, yang Sarah yakini bukan suara dari Amara dan gengnya, karena suara yang didengarnya adalah suara seorang pria yang pernah didengarnya.

"Sedang apa kalian di sini?" ucapnya dengan nada dingin.

Próximo capítulo