webnovel

31. Berpura-pura

Almira terus memperlihatkan wajah sedih dan rasa bersalah atas semua yang sudah terjadi, dia sama sekali tidak ingin jika uminya serta umi dari suami Fahira tahu yang sebenarnya. Jika itu terjadi maka dia akan semakin sulit untuk membuat sang adik semakin menderita dan dia tidak mau akan hal itu.

"Umi, maafkan aku ... Almira sungguh tidak tahu mengapa kursi roda Fahira bisa berjalan sendiri dan akhirnya terjatuh ke dalam kolam renang," Almira kembali berkata dengan nada sedih dan juga menyesal.

"Sudah tidak apa-apa semua itu hanya kecelakaan dan juga Fahira tidak mengalami luka," ucap Umi Halimah pada Almira yang berusaha untuk berpikiran positif.

Umi Halimah berpikir jika yang terjadi tadi hanya kecelakaan saja dan dia pun tidak ingin memperpanjang masalah ini karena dia tidak enak juga dengan sahabatnya Umi Salamah. Dia juga melihat Fahira yang tidak mengalami luka parah akibat terjatuh ke dalam kolam renang.

Almira merasa senang karena menurutnya kedua umi yang ada di depannya itu sangat bodoh dan mudah di perdaya. Dia semakin bersemangat untuk terus melakukan hal-hal yang bisa membuat sang adik semakin menderita akibat semua rencana yang dibuatnya.

Fahira melihat ke arah Almira yang terlihat senyum tipis, dia tahu jika saat ini sang kakak merasa senang karena semua rencananya berjalan dengan baik. Namun, Almira tidak tahu akibat ulahnya tadi sudah membuat Fahira semakin kuat dan perlahan bisa menggerakkan kedua kakinya.

Dia merasa jika apa yang akan dilakukan oleh Almira terhadap dirinya hanya akan membuatnya menderita tetapi Fahira akan bertahan sedikit lagi hingga kedua kakinya benar-benar bisa berjalan lagi. Fahira tidak akan membiarkan Almira bertindak sesuka hatinya dan membuatnya selalu dalam bahaya.

Terkadang Fahira berpikir jika yang dilakukan kakaknya tadi bisa saja membunuhnya, sehingga dia pun tidak akan membuat Almira menemukan celah untuk kembali mencelakainya. Sudah cukup baginya melihat sang kakak yang selalu saja memberikan syok terapi padanya hingga akhirnya kedua orang tuanya pun selalu salah paham dengan dirinya.

"Bagaimana jika kita makan siang saja," ucap Umi Halimah pada semua orang yang ada di dalam kamar Fahira sebab sudah waktunya makan siang.

Semua orang yang ada di dalam kamar Fahira menyetujui apa yang diusulkan oleh Umi Halimah, tanpa ada rasa bersalah dan malu Almira pun berjalan ke luar dari kamar Fahira. Dia melihat di luar ada Abi Mafaz yang sedang berjalan mendekat dengan membawa kursi roda untuk Fahira.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Abi Mafaz pada Almira yang baru saja ke luar dari kamar Fahira.

"Aku baik-baik saja, Abi," jawab Almira dengan lembut dan memperlihatkan sisi seorang putri yang baik.

"Syukurlah," jawab Abi Mafaz lalu dia berjalan memasuki kamar Fahira dengan mendorong kursi roda untuk menantunya itu.

Almira merasa kesal dalam hatinya berkata mengapa Fahira mendapatkan mertua yang sangat baik, itu membuatnya semakin ingin membuat Fahira menderita. Dia bencinya pada sang adik semakin besar tatkala dia melihat kebahagiaan yang diterima oleh Fahira dan dia berdoa dalam hatinya jika suami Fahira akan bertindak kasar bahkan meninggalkan istri yang cacat.

Abi Mafaz melihat Fahira sudah bersih dan masih terduduk di atas tempat tidur, dia tersenyum pada menantunya itu. Dia merasa senang karena tidak terjadi hal yang buruk pada Fahira. Jika terjadi hal buruk pada menantunya maka dia tidak bisa berkata-kata lagi pada putranya yang saat ini berada di luar negeri.

"Ayo kita ke ruang makan," ucap Abi sembari tersenyum dan mendekatkan kursi roda yang di bawanya pada Fahira.

"Bolehkan, Fahira berusaha sendiri untuk duduk di kursi itu?" tanya Fahira yang ingin mencobanya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.

Umi Salamah dan Umi Halimah saling memandang dan terlihat rasa khawatir dan tidak mau membuat Fahira terlalu memaksakan diri untuk melakukan hal itu tanpa bantuan. Namun, berbeda dengan Abi Mafaz yang tersenyum dan mengizinkan menantunya itu untuk melakukan apa yang diinginkannya.

"Tidak perlu khawatir sebab putri Abi adalah wanita yang kuat," ucap Abi Mafaz yang mencoba untuk menenangkan istrinya dan juga ibu dari Fahira.

Kedua wanita paruh baya itu pun akhirnya mengizinkan Fahira untuk melakukan apa yang diinginkannya, mereka hanya melihat dan berusaha untuk melindungi putri mereka saja. Terlihat sangat jela oleh kedua mata mereka jika Fahira cukup berjuang untuk bisa duduk di atas kursi dorong itu seorang diri. Pada akhirnya Fahira pun bisa melakukannya seorang diri tanpa ada bantuan dari umi dan juga abinya.

Abi senang dengan pencapaian Fahira kali ini dan dia pun mendorong kursi Fahira dengan pelan menuju ruang makan dan di ikuti oleh kedua wanita paruh baya. Sang umi merasa senang juga dengan apa yang terlihat tadi, ternyata putrinya sudah mengalami kemajuan yang sangat besar.

Umi Salimah merasa senang dengan perhatian kedua orang tua dari suami Fahira, dia merasa tenang kali ini dengan putrinya itu. Sekarang yang harus dipikirkan adalah acara pernikahan Almira yang akan berlangsung tidak lama lagi.

Makan siang sudah di mulai dan tidak ada rencana buruk lainnya dari Almira karena untuk hari ini dirasa sudah cukup baginya. Sekarang yang harus diperlihatkan olehnya adalah sikap seorang putri yang baik, sehingga dia bisa dengan mudah datang ke rumah ini untuk bertemu dengan adiknya itu dan membuatnya menderita.

Acara makan siang pun sudah selesai dan Umi Salimah serta Almira pun pamit untuk pulang sebab mereka juga harus melakukan persiapan untuk acara pernikahan Almira yang akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi. Umi Salimah pun sudah memberikan undangan pada keluar Mafaz dan berharap kedatangan mereka bersama dengan Fahira.

Setelah kepergian umi dan sang kakak, Fahira memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Di dalam kamarnya dia seperti biasa setelah melakukan salat membuka netbooknya lalu mencari semua informasi yang dia inginkan. Dia pun merasa ada yang hilang sebab tidak bisa berhubungan dengan ke empat anggota timnya yang sudah dia anggap seperti saudarinya sendiri.

Namun, dia harus bisa menahan itu sebab semua ini adalah demi keselamatan mereka semua. Dia sebenarnya tahu tujuan utama dari musuhnya itu adalah dirinya. Setelah kematian dirinya membuat mereka merasa puas dan mungkin saja dendam mereka padanya berakhir.

Ponselnya berdering dan dia pun mengambil ponselnya lalu melihat nomor yang tertera di layar ponsel. Dia tidak mengenal nomor itu dan berusaha untuk mengingat nomor itu. Akan tetapi, dia masih belum bisa mengingat nomor yang menghubunginya saat ini.

"Siapa yang menghubungiku?" Fahira bertanya-tanya tetapi dia masih belum yakin untuk mengangkatnya.

Próximo capítulo