"Hei, Elliot! Coba lihat, sepertinya Emily menikmati kencannya. Dia terlihat sangat gembira." Alice mengatakan itu dengan keriangan di wajahnya. Tapi bagiku pemandangan yang aku lihat di depan mataku itu sama sekali tidak bagus dan entah mengapa hatiku merasa sesak melihatnya.
"Apa mungkin aku cemburu? Hahaha ... itu tidak mungkin, kan? Aku datang ke sini karena satu alasan, aku mengkhawatirkan Emily karena dia sahabat baikku, hanya itu." Aku bergumam sendiri di dalam hati karena tak mungkin aku berani mengatakan secara terang-terangan di saat ada Alice di sampingku. Bisa saja dia akan menertawakan jika sampai mendengar suara hatiku ini.
"Waah, lihat, lihat, Kak Rico memegang tangan Emily. Apa yang akan dia lakukan? Jangan-jangan Emily sudah menerima cintanya dan mereka akhirnya pacaran." Aku hanya bisa diam seribu bahasa melihat pemandangan di depan yang semakin lama semakin menyakiti mataku. Lalu entah perasaan apa yang kurasakan ini ... rasanya benar-benar panas, terlalu panas sampai-sampai aku bisa merasakannya di ubun-ubunku. Aku melihat pria itu memegang pundak Emily dan mulai mendekatkan wajah ke arah Emily. Aku tidak bisa menahan lagi hawa panas yang sudah sangat mendidih aku rasakan. Lalu tanpa aku sadari tubuhku bergerak dan kakiku melangkah dengan sendirinya ke arah kursi, di mana dua orang itu sedang duduk.
"Elliot, apa yang kau lakukan? Kau mau ke mana?" Aku sama sekali tidak mempedulikan perkataan Alice, yang ingin aku lakukan saat ini hanyalah secepat mungkin sampai di sana dan segera membawa Emily pergi dari sana.
Setibanya di depan kursi mereka, aku memegang tangan Emily. Lalu menariknya pergi dari sana. Melihat ekspresinya, aku yakin Emily sangat terkejut melihatku berada di sana. Sejauh ini, dia tidak mengatakan apa pun dan tidak melakukan perlawanan apa pun ketika aku dengan paksa membawanya pergi dari tempat kencannya itu. Lalu tiba-tiba Emily melepaskan genggaman tanganku dan mulai berbicara ketika posisi kami sudah cukup jauh dari taman tadi. Kami sedang berada di tempat yang cukup sepi sekarang.
"Apa yang kau lakukan, Elliot?" Kedua matanya menyorot tajam, terlihat jelas sedang marah.
Aku berdeham pelan, "Aku hanya tidak suka melihat seorang pria yang baru saja berkenalan denganmu dengan lancangnya menyentuhmu."
"Apa maksudmu? Apa kau lupa kalau kami sedang berkencan?"
"Tapi menurutku perbuatannya itu sudah keterlaluan, Emily"
"Itu bukan urusanmu, kan? Kau bukan siapa-siapa, Elliot. Kau bahkan bukan pacarku. Seperti yang kau katakan kita hanyalah sahabat. Jadi, kau tidak seharusnya ikut campur urusan pribadiku. Lagi pula, apa kau sudah lupa? Bukankah kau yang menyuruhku menerima ajakan kencannya?"
Aku tidak bisa membalas semua perkataannya karena semua yang dia katakan itu memang benar. Aku hanya bisa menanggapinya dengan diam. Lalu Emily melangkahkan kaki, mulai menjauhiku. Sepertinya dia berniat kembali ke tempat tadi di mana pria itu masih menunggunya.
"Tunggu, Emily! Aku mohon jangan kembali ke sana!!" Tentu saja aku tak mungkin membiarkannya pergi begitu saja.
Emily menghentikan langkah dan dia kembali menoleh ke arahku. "Kenapa tidak??"
Aku tertegun sejenak, tak tahu harus menjawab apa karena aku telah lancang melarangnya seperti ini. Namun, dalam situasi seperti ini aku sadar hanya bisa mengatakan yang sejujurnya pada Emily. Mengatakan apa yang sedang aku rasakan sehingga nekat melarangnya pergi seperti ini. "Karena itu akan menyakiti hatiku."
Suara dengusan Emily mengalun, "Bahkan kau sama sekali tidak menyukaiku jadi jangan menggodaku seperti itu."
Aku berjalan cepat menghampirinya lalu menarik kembali tangannya dan dengan tajam aku menatap lurus ke matanya. "Tidak, Emily. Maafkan aku, tapi kini aku sadar aku …" Aku meneguk ludah sejenak sebelum melanjutkan, hingga akhirnya kukatakan, "… menyukaimu."
"Jangan bercanda di saat seperti ini."
Kata-katanya sungguh membuatku tersinggung sehingga tanpa sadar aku meninggikan suara, "Apa aku kelihatan sedang bercanda?!!!" Aku sedikit membentaknya karena aku kesal dengan sikap tidak percayanya padaku.
Emily menatap mataku cukup lama dan sepertinya dia mulai mempercayaiku setelah cukup lama menimbang-nimbang. Tiba-tiba dia mendekat ke arahku dan memelukku tanpa aba-aba atau permisi. Aku benar-benar terkejut dengan tindakannya yang begitu berani ini.
"Benarkah kau menyukaiku, Elliot?"
"Ahh ... hmmmm ... yeahhh." Aku yakin jawabanku ini terdengar sangat meragukan, tapi sepertinya hal itu tidak berpengaruh padanya, karena dia semakin mempererat pelukannya.
"Aku juga menyukaimu, Elliot."
Mungkinkah seorang pria yang baru menginjak usia 14 tahun tetap diam setelah mendapat perlakuan seperti ini dari lawan jenisnya? Dan jawabannya adalah, TIDAK!
Aku lega sekaligus senang bukan main mendengar pengakuannya. Aku membalas pelukannya dan perlahan aku memegang dagu mungilnya. Aku mengangkat kepalanya dan aku menatap matanya cukup lama. Hanya dengan melihat mata indahnya, aku bisa merasakan kasih sayangnya yang begitu tulus untukku. Sejujurnya aku masih ragu dengan perasaanku. Benarkah perasaan yang selalu mencari-cari Emily ini adalah cinta? Tapi aku akan mencobanya, aku yakin bersama Emily aku bisa mendapatkan jawaban atas keraguanku ini.
***
Aku dan Emily saat ini telah resmi menjadi sepasang kekasih, kami sudah sepakat meresmikan hubungan kami setelah kejadian di taman kemarin. Aku bertekad dalam hati, aku akan selalu melindunginya. Seperti biasa, aku dan Emily berjalan berdua sepulang sekolah tapi kali ini tidak biasa karena kami berjalan sambil bergandengan tangan. Di saat aku sedang menikmati kehangatan dari sentuhan tangan Emily, tiba-tiba perasaan aneh yang sudah lama tidak pernah aku rasakan muncul lagi. Tiba-tiba sebuah pemandangan terbayang di kepalaku. Pemandangan itu menunjukan sebuah lokasi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini. Aku merasa ada seseorang yang memanggilku. Aku benar-benar bisa merasakan keberadaannya, pikiranku seakan-akan terhubung dengan pikiran seseorang yang ada di tempat itu. Tapi seseorang itu aku yakini bukanlah Fredert atau Krad, tapi seseorang yang lain yang sepertinya sudah pernah aku temui sebelumnya.
"Elliot! Elliot, kau baik-baik saja?"
Aku kembali mendapatkan kesadaranku berkat panggilan Emily yang sepertinya mengkhawatirkanku. "Oh, yeah. Aku baik-baik saja." Aku mengulas senyum agar Emily tak berpikir sesuatu yang buruk terjadi padaku. Aku pun melanjutkan perjalananku dengan Emily, tapi perasaan itu datang lagi dan semakin kuat. Aku merasa penasaran siapa orang yang berada di sana dan aku pun memutuskan untuk pergi ke tempat itu untuk memastikannya.
"Maaf, Emily. Aku baru ingat ada tempat yang harus aku datangi, kau pulanglah duluan."
Emily terlihat jelas terkejut karena tiba-tiba aku berkata seperti ini. "Tapi ..."
"Sudahlah, kau pulang saja. Nanti malam sesampainya di rumah, aku akan meneleponmu. Sampai jumpa, Emily."
Setelah mengatakan itu, aku pun bergegas pergi ke tempat yang muncul di kepalaku tadi. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku belakangan ini. Aku selalu merasakan pikiranku terhubung dengan orang lain dan hal ini terjadi semenjak kejadian itu. Semenjak aku bisa memutar waktu dengan kembali ke masa lalu karena ingin menyelamatkan Emily yang tertabrak. Apakah ini karena kekuatan terpendamku berhasil dibangkitkan? Dan mungkinkah apa yang kurasakan ini merupakan pertanda aku terhubung dengan orang-orang yang juga memiliki kekuatan istimewa sepertiku? Aku harus memastikannya sekarang juga.