Saat itu, aku dan kedua sahabatku, Fredert dan Krad sedang bermain di sebuah taman.
"Bunga ini benar-benar cantik, ya? Sangat indah. Apa kalian tahu nama bunga ini?" Fredert menanyakan itu padaku dan Krad seraya menunjuk pada bunga cantik yang sedang mekar.
"Sepertinya itu bunga Cattleya," jawab Krad.
"Dari mana kau tahu nama bunga ini, Krad?" Bola mata Fredert berbinar, kagum karena Krad mengetahui nama bunga yang tidak diketahuinya itu.
"Aku pernah melihatnya di sebuah buku milik ibuku."
Aku yang tidak memiliki pengetahuan tentang bunga hanya bisa mendengarkan pembicaraan mereka.
"Hei, jam berapa ini? Sepertinya sudah saatnya kita makan siang."
Fredert mengeluarkan bekal makanan yang telah disiapkannya untuk kami. Walaupun baru berusia 9 tahun, Fredert
sudah pandai memasak. Mungkin hal itu disebabkan karena ibunya telah tiada dan dia hanya tinggal bersama
ayahnya. Ayah Fredert yaitu Paman Sight, benar-benar baik. Dia sangat menyayangi Fredert. Paman Sight selalu mengabulkan apa yang Fredert inginkan. Aku terkadang merasa iri pada Fredert karena dia memiliki ayah yang sangat menyayanginya. Berbeda sekali denganku, ayahku sudah lama meninggal dan sekarang aku hanya tinggal berdua dengan ibu. Aku selalu merasa ibu sering sekali bersikap aneh, dan sering tidak mempedulikan aku. Itulah sebabnya aku tidak terlalu dekat dengannya. Aku pun jarang berbicara dengan ibu dan dia sepertinya sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.
Pernah suatu ketika ibu benar-benar mengabaikanku. Ketika itu sekolah kami mengadakan kunjungan orang tua murid. Aku sangat senang mengetahui ibu akan datang ke sekolah untuk melihat bagaimana cara kami belajar. Aku ingin membuatnya bangga. Aku selalu percaya jika membuatnya bangga pasti ibu akan lebih menyayangi dan memperhatikanku. Itulah sebabnya aku belajar dengan giat semalaman itu, untuk mempersiapkan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuis yang akan diadakan besok. Tadi ibu guru memberitahu kami, ketika kunjungan orang tua murid besok, akan diadakan kuis untuk memperlihatkan kepada para orang tua murid, sejauh mana pengetahuan dari anak-anak mereka. Aku bertekad pada sesi kuis besok harus bisa menjawab pertanyaan sebanyak-banyaknya. Sekali lagi aku melakukan itu hanya untuk satu alasan yaitu ingin membuat ibu bangga dan mulai memperhatikanku. Semalaman itu aku benar-benar belajar dengan giat.
Tapi betapa kecewanya aku, di hari kunjungan itu aku tidak menyaksikan kehadiran ibu. Aku merasa usahaku belajar semalaman itu berakhir sia-sia. Aku benar-benar sedih. Tapi aku mencoba berpikir positif, mungkin ibu sedang sibuk itulah sebabnya dia tidak bisa hadir. Aku tidak akan menyerah, masih banyak kesempatan lain yang bisa aku lakukan untuk membuat ibu bangga padaku.
***
Hari itu, aku berlari dari sekolah menuju rumah. Aku berlari dengan sangat kencang karena yang aku inginkan hanyalah segera tiba di rumah dan menemui ibu. Hari ini merupakan hari pembagian raport, setelah selama satu minggu kami menjalani ujian. Aku ingin segera memperlihatkan raport ini pada ibu. Selama ini aku terus belajar dengan giat supaya mendapat nilai-nilai yang bagus dan usahaku membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Nilai-nilaiku sangat bagus, aku yakin ibu pasti senang melihatnya.
Sesampainya di rumah, aku melihat ibu sedang duduk sambil membaca sebuah surat kabar.
"Bu, lihatlah raportku ini!" Aku mengatakan ini sambil mengulurkan raportku pada ibu.
"Simpan saja di meja," jawabnya, tanpa menatapku ataupun raport yang masih kuulurkan.
"Tapi Bu, sebentar saja aku ingin ibu melihatnya sekarang!"
"Kau ini bandel sekali, Elliot!! Ibu kan sudah bilang simpan saja di meja, nanti ibu akan melihatnya. Apa kau tidak lihat ibu sedang sibuk? Sudah pergi sana, lebih baik kau main saja!"
Ibu berkata seperti itu sambil membentakku. Untuk kesekian kalinya aku kembali merasakan kekecewaan. Tapi aku yakin setelah ibu melihat raportku, dia pasti akan senang dan lebih memperhatikanku. Aku pun memutuskan untuk menunggu sampai ibu melihat raportku.
Akan tetapi, sepertinya keinginanku untuk mendapatkan perhatian ibu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Ibu tidak pernah melihat raportku, bahkan dia tidak sedikit pun menyentuhnya. Raport yang aku simpan di atas meja seakan-akan tidak ada baginya. Air mataku mulai mengalir, merasa kerja kerasku benar-benar tidak ada artinya. Sejak saat itu, aku pun menyerah dan memutuskan tidak akan peduli lagi pada ibu. Aku tidak akan melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya lagi.
Ayah Fredert sangat jauh berbeda dengan ibu. Aku dan Krad sering main ke rumah Fredert dan ayahnya sangat baik pada kami. Berada di rumah Fredert membuatku merasakan kehangatan kasih sayang orang tua yang selama ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku menyayangi ayah Fredert, bahkan sudah menganggap dia seperti ayahku sendiri.
"Elli ... oooot ... apa yang sedang kau pikirkan?" Pertanyaan dari Fredert itu membuyarkan lamunanku.
Aku terkekeh kecil, "Ti-Tidak ada. Seperti biasa makanan buatanmu ini enak sekali, Fredert." Aku berkata seperti itu untuk mengalihkan pembicaraan karena malu ketahuan melamun di saat kami sedang makan bersama.
Fredert sangat mirip dengan Paman Sight. Kebaikannya, sifat periangnya, kepeduliannya padaku, mereka benar- benar mirip. Aku sudah menganggap mereka seperti keluargaku sendiri. Begitu pula dengan Krad, dia juga sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Walaupun ibu tidak pernah benar-benar menyayangiku, tapi aku merasa beruntung karena memiliki sahabat seperti Fredert dan Krad yang selalu menemaniku. Aku juga memiliki Paman Sight yang selalu baik dan tersenyum dengan lembut padaku. Hal itu membuatku tidak pernah merasa kesepian.
***
"Fredert ... Fredert ... cepatlah pulang ke rumahmu!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar, seseorang menghampiri kami yang sedang menyantap makan siang. Pemilik suara itu adalah Nenek Florida, tetangga Fredert.
"Ada apa, Nek?" tanya Fredert, terlihat heran karena Nenek Florida begitu tergesa-gesa menghampiri kami hingga napasnya terengah-engah pertanda dia sudah berlarian sejak tadi.
"Sudahlah, cepat kau pulang." Nenek Florida kini menatapku dan Krad, "Kalian berdua juga lebih baik temani Fredert!"
Setelah mendengar perkataan Nenek Florida, kami pun dengan cepat membereskan makanan dan segera menuju ke rumah Fredert. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres sehingga Nenek Florida begitu mendesak kami agar cepat pulang ke rumah Fredert. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk di sana.
Setibanya di rumah Fredert, yang kami lihat adalah pemandangan yang sangat kacau, banyak orang berkumpul di sana.
"I-Itu bukannya mobil polisi, kenapa begitu banyak polisi di rumahmu, Fredert?"
Fredert mengabaikan pertanyaan Krad, lalu dia segera masuk ke rumahnya dan kami berdua pun mengikutinya dari belakang.
Betapa terkejutnya kami, di dalam rumah Fredert benar-benar berantakan, terlihat darah berceceran di mana-mana. Hanya melihatnya sekilas, aku mengetahui darah itu berasal dari tubuh Paman Sight yang tergeletak di lantai.
"Ayaaaah ... Ayaaaah ... Ayaaaah!!!" Fredert berteriak-teriak sambil menangis, begitu pula denganku dan Krad. Kondisi Paman Sight yang bersimbah darah terlalu menyedihkan untuk dilihat.
"Pamaaan ... Pamaaan ... Pamaaan Sight!!!" teriak kami serempak, disertai airmata yang sudah mengalir deras. Entah siapa yang tega melakukan ini pada orang sebaik Paman Sight?
Aku tersentak bangun dari tidurku sembari memegangi dada kiri yang rasanya jantungku berdebar dengan cepat. Kejadian barusan seperti nyata walau sekarang aku sadar baru saja aku telah bermimpi. Sebuah mimpi dari kenangan buruk di masa lalu. Kenangan buruk yang mengubah sepenuhnya hidupku dan dua sahabatku.