webnovel

18 Setelahnya

Kami bercengkrama setelah puas menyalurkan hasrat masing-masing. Kini tinggal desisan dan sisa-sisa peluh juga nafas yang masih belum stabil. Kami segera mandi berdua. Arman memakai gayung, sedangkan aku memakai shower yang ada, membersihkan sisa-sisa aktivitas bersamanya. Aku akui aku lah yang seakan terkagum-kagum akan tubuhnya, sungguh aneh, harusnya lelaki yang terkagum dengan tubuh wanita beserta lekak-lekukannya, tapi aku pandang dia sama sekali santai dan tidak keheranan dengan keadaanku yang telanjang sedang mandi bersamanya, yang sering mencuri pandang dan memperhatikan gerak geriknya ketika manyiramkan air ke sekujur tubuh adalah masih aku, sambil terus msnggosok-gosok sendiri tubuhku dengan sabun dan ku usap pula rambutku dengan shampoo.

Setelah kita selesai membersihkan seluruh tubuh kami tak lupa juga menyikat gigi, dia raihlah handuk merah untukku, dilingkarkan handuk itu ke tubuhku oleh dia, dia selipkan ujungnya pada bagian yang lain sehingga terpaut dan tidak terjatuh, sambil mengecup keningku. Aku tersenyum kepadanya. Dia begitu lembut dan perhatian kepadaku, lalu giliran dia yang memakai handuknya sendiri.

"Wudhu dulu Nez, sudah shubuh." Dia memulai membuka suara setelah sekian jam tanpa kata karena hanya bermain gerakan dan ekspresi yang kami lakukan pada aktivitas di dalam pemandian tadi.

"Apakah kita akan sholat Arman?" tanyaku keheranan dan mencoba menerkanya.

"Tentu saja Nez" jawabnya singkat.

"Arman jujur saja aku sangat malu akan kelakuanku juga dosa-dosa yang terus kita ulang. Aku malu menghadapNYA untuk saat ini." Seperti mau menangis aku sungguh merasa diri ini kotor tak pantas memakai sajadah dan mukenah, apalagi bermunajat meminta sesuatu kepadaNYA?

"Aku selalu ingat pesan Ayah Ibuku Nez, ketika aku berangkat merantau. Mereka memberi aku pesan satu yang tak boleh aku lupakan, bahwa jangan pernah tinggalkan sholat, betapapun buruk dan kotornya diri kita, karena sholat itulah yang akan menuntun kita lama-lama akan berbelok ke arah jalan yang terang, jika kita merasa buruk dan tak mau sholat, maka keburukan itu tak akan ada remnya lagi. Kita akan semakin lupa akan Tuhan karena tak pernah menghadapNYA. Diri kita akan semakin terperosok dan terperosok." Dia dengan sadar mengucapkan itu untukku. Dia tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak, hanya saja dia dan aku manusia, kadang mampu mengendalikan nafsu tapi kadang dikendalikan nafsu. Aku tertunduk dalam malu dan dalam perenungan.

"Bukan cuma kamu Nez, aku lebih berdosa darimu. Aku laki-laki harusnya bisa membimbingmu, tapi aku tak bisa melakukan itu. Ayo segeralah, aku tunggu di kamar ya?" Dia bergegas mengambil air wudhu untuk mensucikan dirinya. Lalu dia berjalan menuju kamarnya, menungguku untuk bermunajat shubuh dengannya. Di shubuh hari sayup-sayup terdengar suara Adzan yang bersaut-sautan, semakin dekat dengan telinga ini.

Arman segera datang mengajak menunaikan sholat shubuh berjamaah bersamaku, tentu saja sang Imam adalah Arman,

Tidak! Dia begitu gagah dan tampan ketika saat ini bukan saat tadi, mengenakan sarung kotak-kotak biru sembur warna keunguan, memakai kopyah hitam diatas kepalanya, nampak berwibawa juga santun. Wajahnya bercahaya seakan bukan Arman yang tadi, wajah yang sudah terbasuh oleh air wudhu itu, terlihat sangat berbeda.

Aku pun telah mengenakan mukenah yang telah disiapkannya, ya Arman menyiapkan satu mukenah di kontrakannya karena untuk jaga-jaga ketika aku main ke tempatnya atau Liza juga teman-teman lain ketika membutuhkan untuk sholat disana.

Benar-benar aku tak sanggup melepaskan dia, dia terlalu sempurna untuk di tinggalkan, sosok tubuh yang berdiri di posisi depan inilah yang aku harap-harapkan menjadi Imamku, dunia dan akhiratku. Imam dalam sholat dan dalam kehidupan nyataku, ah pikiran macam apa ini? Akan tiba waktu sholat shubuh. Arman menggemakan takbir dengan merdu, seketika jantungku berdetak kencang, mendengar alunan suara panggilan Ilahi, sebab tak pernah aku mendengarkan adzan sedekat ini. Bertatap langsung dengan Muadzinnya, tapi hatiku masih diliputi nafsu duniawi, sampai kini aku masih belum bisa menghadirkan kekhusyukan dalam bermunajat dan bersujud kepada sang ILAHI.

Mungkin kejadian ini bukan salah siapa-siapa, tapi salahku sendiri, salah kami, terlalu mengatasnamakan cinta, sehingga melupakan sang Pencipta, Kami disentil dengan hadirnya problematika yang seperti sekarang ini sedang aku rengkuh dalam kosa kata hidupku.

Tuhan Yang Maha Esaku, ampunkanlah segala dosaku juga kami, bimbinglah kami dijalanMU setelah ini Aamiin.

"Allooooohu.. Akbar"

Kami memulai sholat shubuh berjamaah.

*

*

Usai sudah sholat berjamaah kami, pemandangan syahdu dimana hangat tercipta sesaat, hati dan bathin jadi tenang dan asri.

Kudengar dia berdzikir dan memunajatkan doa-doa, disusul aku yang mengamini.

Tak luput pula aku mendekat kepada Arman, aku sambut tangannya dan dia membiarkan aku mencium tangan itu. Andaikan ini bukan hubungan yang imitasi aku ingin seperti ini selamanya bersamamu, tapi itu takkan pernah mungkin ... Tak akan pernah mungkin terjadi..

Sembari melipat dan menata sarung serta sajadahnya, aku pun turut merapikan mukenahku, kita sama-sama tahu bahwa kita harus segera menuju Rumah Liza untuk berdrama, begitulah aku. Ketika membuat sebuah masalah. Orang-orang tercintaku yang akan membantu menyelamatkan aku. Mereka membantuku tak jemu-jemu.

Aku dan Arman segera bergegas meninggalkan kontrakan dan kami berdua menuju ke rumah Lisa sesuai rencana awal kemarin. Dalam perjalanan kami sangat lancar dan Arman mengendarakan motornya dengan cepat agar tidak telat sampai disana.

Dengan pintu terbuka kami disambut sarapan ringan disana sebelum mengantarkan aku pulang, seutas roti bakar yang diolesi selai dan kacang serta segelas susu dan ada kopi untuk Arman, kurang dari sepuluh menit kami berbincang hangat dengan Liza dan keluarga beserta Papanya, tak lupa sedalam-dalam permohonan maaf kami yang membuat mereka panik semalaman, tanpa banyak kata, Liza dan Mama segera mengantarkan aku pulang kerumahku mengendarai mobilnya, tentu saja Arman harus pulang sendirian setelah berpamitan kepada kita semua. Kami semua harus segera karena jam semakin bergeser dan bertambah. Kami semua harus bekerja seperti biasa.

Selama diperjalanan aku cerita banyak kepada Liza dan Mama, tapi memang Liza terlihat kurang ceria dan agak murung, ketika aku bicara dengannya dia hanya menjawab sekelebat saja__tak biasa.

Tak butuh waktu lama, telah sampailah kita semua ke tempat tujuanku, yaitu rumahku, telah berdiri disana Ayah dan Ibuku menyambut kedatangan kami, sepertinya memang telah menunggu lama, beliau berdua memberikan sapaan dan pelayanan yang sehangat mungkin atas kebaikan keluarga Liza selama ini atas kerepotan-kerepotan yang selalu ditimbulkan anak gadisnya ini.

Liza dan Mama yang harus segera berangkat kerja membuat mereka tak bisa berlama-lama disana, segera berpamitan dan melanjutkan perjalanan mereka, tak lupa kuucap banyak terima kasih kepada Mama dan Liza, sedangkan respon Ayah? Jangan ditanya. sudah biasa dan seperti yang lalu-lalu, marah dan marah tapi biarlah..

Próximo capítulo