"Aku tidak meminta harta. Yang kubutuhkan hanyalah kejujuran saja. Nilai kejujuran bahkan jauh lebih besar dibandingkan harta yang kita punya. Tapi, sayangnya sangat sulit untuk dilakukan." (Azka)
****
Angin berembus kencang menembus pakaian yang ia kenakan. Langit berwarna jingga dan matahari sebentar lagi akan bersembunyi untuk beristirahat dan digantikan oleh sang bulan.
Lama Azka menangis dalam diam di samping makam sosok yang ia duga sebagai ibu kandungnya. Bertahun-tahun lamanya dia selalu berusaha mencari informasi mengenai orang tua kandungnya. Sekarang, yang ia dapat hanya satu informasi yang bahkan sudah membuatnya hancur seketika mengetahui fakta bahwa ibu kandungnya meninggal.
Tangannya yang bergetar terangkat untuk mengelus nisan itu. Air matanya bahkan sudah mengering karena terlalu banyak menangis. Sekarang yang tersisa hanya perasaan sesak yang sayangnya sangat menyiksa dirinya.
"Ma..." Azka menelan ludahnya kasar. "Kenapa ninggalin Azka sendiri di sini?" Suara Azka nyaris tanpa riak.
Tak ada yang menjawab pertanyaannya.
Azka terisak, dadanya bergemuruh tak terima bahwa fakta sebesar itu disembunyikan oleh orang yang tidak dia duga. Adinda... tahu mengenai ibunya. Tapi, kenapa dia menutupi fakta itu darinya?
Azka memang tak tahu alasannya.
Tapi...
Satu hal yang pasti, dia merasakan sakit karena kebohongan tersebut.
*****
Adinda menatap rumah megahnya dengan sorot hampa. Dia melangkah memasuki rumahnya dengan lunglai lemas tak berdaya seolah tak mempunyai semangat hidup. Hati Adinda masih terasa sakit mengingat semua ucapan dan perlakuan Aditya yang kasar dan tak menghargainya.
Akan tetapi, Adinda tahu bahwa Aditya mengatakan hal tersebut karena kehilangan kendali atas amarahnya sendiri. Tetap saja, perbuatan Aditya tak bisa dibenarkan olehnya.
"Adit," panggil Adinda dengan suara serak.
Di sana sosok Aditya sedang duduk di sudut ruangan dengan kondisi yang berantakan. Barang-barang di sekitarnya bahkan berserakan dan banyak pecahan kaca berceceran di mana-mana. Adinda mendekat, dia berjongkok di depan Aditya yang masing bergeming sambil menatapnya dengan sorot penuh luka.
"D-Dinda... J-jangan pergi..." Air mata Aditya mengalir membasahi pipinya. "J-jangan tinggalin aku sendiri... A-aku butuh kamu di sampingku selalu." Aditya terisak dengan tubuhnya yang bergetar hebat.
"T-tadi aku marah sama kamu... T-tapi-- tapi jangan tinggalin aku sendiri... A-aku cinta kamu, Dinda. J-jangan tinggalin aku dan p-pergi--- pergi sama Hendra." Aditya kian meraung-raung saat Adinda sama sekali tak membalas ucapannya. Aditya terlalu takut jikalau Adinda meninggalkannya sendiri.
Adinda bisa saja pergi meninggalkannya jika dia mau. Namun, Adinda masih bertahan di sisinya sampai sekarang. Seharusnya, Aditya tidak perlu meragukan perasaan Adinda. Aditya lebih tahu pribadi Adinda lebih dari siapapun.
Saat setelah bertengkar hebat dengan Adinda, Aditya baru menyadari bahwa istrinya tak ada di rumah. Dia meninggalkan rumah karena bertengkar dengannya. Istrinya meninggalkan rumah sambil menangis akibat Aditya yang tidak bisa menahan amarahnya. Pikiran Aditya tak tenang dan dipenuhi oleh hal-hal negatif yang membuat dirinya dilanda ketakutan yang teramat besar.
Tangan Aditya meraih tangan Adinda lalu menggenggamnya erat. "D-Dinda, aku mohon... J-jangan marah sama aku, a-aku janji enggak akan marah-marah lagi sama kamu... A-aku-- aku..."
Adinda menarik Aditya ke dalam pelukannya. Dia tak tega melihat suaminya yang begitu kuat seketika rapuh hanya karena tak ingin kehilangan dirinya. Sebelumnya... Aditya tak sampai seperti ini. Ini semua gara-gara trauma itu. Trauma yang sayangnya sangat membuat jiwa seorang Aditya terguncang hebat dan tak mampu berpikir jernih.
"Aku... enggak akan meninggalkanmu, Adit." Adinda mengecup kening suaminya lama. Dadanya menyesak, tangannya yang bergetar terus mengelus rambut Aditya. "Percaya sama aku, hm."
Kepala Aditya mengangguk, dia mengeratkan pelukan istrinya. Aditya takut jika dirinya lengah mungkin Adinda akan direbut oleh orang lain. "A-aku percaya padamu. T-tapi--- tapi Hendra... D-dia-- dia..."
"Sssttt... Sudah, jangan dilanjutkan lagi. Hendra sudah tidak ada, dan cinta kita masihlah kuat sampai sekarang. Kamu jangan khawatir, hm." Adinda kembali melayangkan ciuman, kali ini Adinda mencium kening Aditya dalam waktu yang lama. Adinda memejamkan matanya meresapi kehangatan yang memenuhi dadanya. Ah, Adinda seperti remaja yang baru merasakan cinta.
Aditya perlahan tenang, napasnya bahkan sudah teratur tidak seperti sebelumnya yang tersengal-sengal. Kebersamaan mereka seketika terganggu saat mendengar suara keributan dari luar rumah.
"NYONYA ADINDA!! KELUAR ANDA! JANGAN BERSEMBUNYI LAGI!!"
Tubuh keduanya tersentak, pelukan mereka terlepas. Adinda menelan ludahnya kasar, apa yang terjadi? Mengapa namanya diteriakkan dengan penuh amarah?
"Siapa?" Aditya menatap Adinda yang seketika pucat pasi.
"A-aku enggak tahu." Adinda menggeleng pelan.
Tiba-tiba ada salah satu anak buah Aditya berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Napasnya tersengal-sengal, keringat bahkan membanjirinya dan wajahnya dipenuhi lebam-lebam yang sudah membiru.
"T-tuan,.. di luar ada pemuda yang mengamuk... D-dia-- dia mencari Nyonya Adinda."
Mata Adinda membulat sempurna. "A-aku? M-mengapa aku yang dia cari?"
"S-saya tidak tahu, Nyonya. T-tapi pemuda itu hanya memanggil nama Nyonya." Bodyguard tersebut tampak menggelengkan kepalanya karena tak tahu menahu mengenai pemuda tersebut.
"Baiklah, aku akan keluar menghadapinya langsung." Aditya bangkit begitu pun dengan Adinda. Tangan mereka bertautan dengan begitu erat.
Hal pertama yang mereka lihat saat keluar adalah beberapa bodyguard Aditya yang terkapar di tanah dengan luka lebam. Aditya melepas tautan tangannya, dia menghampiri salah satu bodyguard yang sedang merintih kesakitan di tanah karena lukanya.
Dengan kejam Aditya menendang tubuh bodyguard tadi dengan keras. "Bangun! Jangan jadi lemah hanya karena luka itu! Aku tidak pernah mengajarkanmu untuk mengeluh hanya karena rasa sakit yang kau dapatkan!! BANGUN, BODOH!"
Bodyguard itu seketika bangun walau dengan menahan rasa sakit yang begitu menyiksanya. Dia tidak marah ataupun dendam dengan perlakuan kasar Aditya. Dia sadar tuannya itu begitu keras karena tak ingin anak buahnya menjadi lemah tak berdaya menghadapi kerasnya kehidupan seorang mafia.
"KALIAN BANGUN!! JANGAN JADI PENGECUT KARENA LUKA KECIL SEPERTI ITU!! BANGUN ATAU AKU BUNUH!" Teriakan Aditya begitu menggelegar bahkan ketika mereka berada di ruangan terbuka. Aditya bahkan melupakan bahwa beberapa saat yang lalu dia menangis seperti anak kecil saat Adinda tidak ada di mansion. Yah, Aditya memang mempunyai sifat yang cepat berubah sesuai dengan keadaan.
Mereka yang tadinya terkapar di tanah seketika terbangun. Well, ancaman Aditya memang selalu ampuh untuk mereka. Ucapannya tidak pernah main-main jika mengenai kekerasan. Ini risiko yang harus mereka tanggung karena mereka sudah memilih jalan sebagai bagian dari Kelompok Mafia Black Angel.
Motto Black Angel memang hanya berpusat pada uang. Namun, tujuan Black Angel yang sebenarnya adalah jangan pernah mengeluh saat mendapatkan pukulan disaat-saat pertama. Terimalah pukulan-pukulan yang dilayangkan pada mereka jika tak bisa membalas. Namun, balaslah pukulan tersebut sebanyak-banyaknya jika kamu sanggup karena semua itu proses untuk menuju kemenangan.
Tatapan Aditya beralih pada sosok yang menggeram marah padanya. Satu alis Aditya terangkat, dia tersenyum meremehkan pada sosok tersebut. See, benarkah pemuda di depannya itu yang akan menjadi lawannya? Rasa-rasanya sangat tidak mungkin. Lagipula sosok yang di depan Aditya lah yang menyebabkan pertengkarannya dengan Adinda terjadi.
Aditya mendecih dan menatap rendah pemuda di depannya. "Hey, anak muda! Nyalimu besar juga untuk memasuki kediaman Keluarga Angel."
"Saya tidak punya urusan dengan Anda! Urusan saya dengan Nyonya Adinda! Jadi, jangan ikut campur!" Pemuda itu mendesis marah, tangannya terkepal kuat, urat lehernya bahkan terlihat mencuat. Anehnya,.. mengapa matanya justru menatapnya kosong dan hampa.
"Adinda, istriku. Urusannya menjadi urusanku juga." Wajah Aditya memang terlihat tenang, tapi tangannya terkepal kuat di samping tubuhnya. Amarah kembali menyelimutinya, kali ini Aditya akan berusaha menahannya agar tak menyakiti Adinda.
"Baiklah kalau begitu. Jadi, jika saya ingin menghajar Nyonya Adinda, apa sebagai gantinya saya boleh menghajar Anda, Tuan Aditya yang terhormat."
Aditya menggeram marah. "KURANG AJAR!!"
Kepalan tangan Aditya melayang dan akan mendarat sempurna di wajah pemuda itu. "JANGAN!" Adinda yang dari awal menyaksikan interaksi tersebut berteriak ketika Aditya berniat memukul lawannya.
Atensi beralih pada Adinda yang berlari ke arah Aditya sambil menggeleng keras. "Jangan pukul Azka, jangan." Tangan Adinda berusaha menurunkan kepalan tangan Aditya yang menggantung di udara.
"Biar bagaimanapun dia putra Iska, sahabatku." Ucapan Adinda hanya didengar oleh Aditya.
"Wah! Kebetulan Nyonya sudah berada di sini. Saya ingin meminta penjelasan mengenai ibu kandung saya, Iskana Ranendra." Azka menyeringai, matanya beralih menatap Adinda yang semakin pucat pasi.
Jadi, Azka... sudah tahu?
Tapi,... mengapa bisa? Adinda bahkan belum mengatakan apapun padanya.
"N-nak Azka, sudah tahu?" Tangan Adinda terkepal erat bahkan sampai membuat tubuhnya bergetar.
"Ya! Saya melihat dan mendengar semuanya saat Anda berada di makam ibu saya yang bahkan baru saya ketahui. Saya tidak menduga bahwa Anda begitu keji menutupi fakta sebesar itu dari saya yang bahkan putra kandungnya. SAYA PUTRA KANDUNGNYA DAN SAYA BERHAK TAHU AKAN HAL ITU!!" Azka berteriak kalap, emosinya lepas kontrol.
"B-bukan maksudku untuk menutup-nutupinya, Iska sahabatku, aku tidak mungkin tega melakukannya. A-aku sudah mencari keberadaanmu ke mana-mana, Nak. T-tapi aku tidak menemukanmu. A-aku--"
"Oh, jadi ini putra Iska?" Aditya menunjuk Azka dengan telunjuknya. Matanya berkilat tajam dan dipenuhi oleh kobaran api amarah. "Jadi, benar dugaanku bahwa bocah ini pasti berkaitan dengan bajingan itu."
Jantung Adinda berdetak kencang. Gawat! Adinda lupa bahwa sekarang bukan cuma dirinya dan Azka yang berada di sini. Melainkan ada Aditya yang menyaksikan dan juga mendengarkan interaksinya. Tangan Adinda mencengkeram lengan Aditya.
"Adit, m-maksudku--"
"Putra Iska, putra pengkhianat itu juga, 'kan? Baiklah, mungkin tidak masalah jika aku..." Tangan Aditya menepis kasar tangan Adinda yang mencengkeramnya.
"... membunuhnya juga."
Sedetik kemudian Aditya menerjang Azka. Pertarungan tak terelakkan di antara keduanya.
Jangan pernah bosan dengan couple yang satu ini ya :*
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!