"Aku menahan diri untuk tidak memelukmu karena tingkahmu yang meresahkanku." (Azka)
*****
Kelima cowok yang mendapatkan gelar the most wanted sedang duduk di pojok kantin yang menurut mereka tempat yang paling strategis. Keempat cowok itu memperhatikan salah satu temannya yang penampilannya sudah tidak kacau lagi seperti tadi pagi karena sudah berganti menggunakan kaos olahraga.
"Kenapa?" Rafka yang merasa diperhatikan oleh sahabatnya pun angkat bicara.
"Jelasin, kenapa lo bisa kacau tadi pagi?" Semua mengangguki ucapan Azka. Mereka penasaran dengan Rafka, murid yang paling rajin di antara mereka bisa datang terlambat dengan penampilan kacau. Sebenarnya, mereka sudah menebaknya. Namun, mereka ingin mendengarnya langsung dari Rafka untuk memastikan kebenarannya.
"Dira."
Hening.
Setelah Rafka mengucapkan satu kata itu mendadak semua sahabatnya bungkam. Mereka tak menyangka apa yang diucapkan Dira kemarin benar-benar dia wujudkan.
"Kok gue merinding, ya?" Dimas tiba-tiba bergidik ngeri karena perasaannya tiba-tiba tidak enak.
"Mungkin lo yang selanjutnya kali." Azka berkata dengan nada santai tanpa memperdulikan efeknya bagi Dimas yang saat ini ketakutan.
"Ja-jangan doa yang jelek-jelek kek sama sahabat sendiri. Orang lagi takut juga malah tambah ditakut-takutin." Dimas mendengus kesal yang dibalas hendikan bahu acuh dari Azka.
"Hm, iya mungkin lo selanjutnya." Rafka ikut menimpali yang diangguki semuanya kecuali Dimas tentunya. Dimas mendengus kesal dan dengan tangan yang meremas lengannya untuk mengurangi rasa merindingnya.
Sedangkan, di meja kantin lain yang tak jauh dari tempat kelima cowok itu duduk, ada Dira dan Fara yang sedang memakan makanan yang mereka pesan.
"Dir."
Dira menghentikan aktivitas makannya ketika Fara memanggilnya. Fara menatapnya dengan tatapan menyelidik yang seolah ingin melucuti Dira dengan tatapannya.
"Apa?" Dira mengernyit heran.
Fara tampak ragu-ragu untuk menanyakan sesuatu yang membuat Dira terkekeh.
"Udah tanya aja." Dira mengambil minuman lalu meminumnya.
"Karena lo, 'kan Rafka bisa kacau tadi pagi?"
Dira mengangguk santai yang membuat Fara melotot tak percaya. Dira menaikkan sebelah alisnya, kenapa ekspresi Fara seolah tak mengetahui kebenarannya padahal dari pertanyaannya Fara seperti sudah menebaknya.
"Serius, Dir? Lo lagi enggak bercanda, 'kan?"
"Gue serius, Fa, tapi mukanya jangan kayak gitu juga kali, haha..."
Fara langsung mengubah raut wajahnya yang tadinya kaget menjadi penasaran. Wajah penasaran yang dipasang Fara seolah ingin menggali informasi lebih dalam.
"Kok bisa sih, Dir?"
"Ya bisalah."
Fara mendengus mendengar jawaban Dira yang kurang memuaskan. Raut wajah kecewa terlihat di wajahnya.
"Terserah deh!" ketus Fara yang membuat Dira terkekeh karena temannya ini sedang merajuk.
"Fara jangan ngambek dong sama Dira, masa Dira dicuekin, sih? Nanti Dira enggak punya teman lagi dong." Dira pura-pura sedih yang membuat Fara gelagapan sendiri.
"Eh, enggak kok, Dir. Gue enggak ngambek kok. Dan gue masih tetep jadi teman lo sampai kapanpun." Mereka tersenyum lalu tertawa bersama yang mengundang perhatian seluruh siswa yang ada di kantin termasuk kelima most wanted tersebut.
Azka menatap Dira yang masih tertawa dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Rusuh!"
*****
Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu tapi di kelas XI IPA 2 pelajaran bahasa Indonesia yang diajar oleh guru paruh baya dengan kepala yang tidak ditumbuhi rambut, membuat kepalanya jika terkena sinar matahari akan memancarkan cahaya. Sehingga semua siswa-siswi menjulukinya sebagai 'Pak Plontos' katanya sih kayak kepalanya.
Padahal guru itu bernama pak Satoto yang sering dipanggil Pak Sat atau Pak Plon atau bisa juga Pak Tos. Memang ada-ada saja panggilannya tapi Pak Satoto tidak mempermasalahkan itu yang terpenting muridnya bisa mengikuti pelajarannya dengan baik.
Dira yang merasa jengah dengan Pak Sat pun angkat tangan membuat perhatian tertuju padanya termasuk Pak Sat sendiri.
"Iya, ada apa Dira?" tanya Pak Sat yang menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Dira memutar bola matanya malas, ingin sekali dia berkata pada Pak Sat. "Pak Sat! Bel pulang udah bunyi 10 menit yang lalu, Woy!! Gue pengin pulang!"
"Pak Sat, apa materinya sudah selesai? Bel pulang padahal sudah bunyi 10 menit yang lalu."
Hening.
Semua siswa yang ada di kelas tersebut hanya diam tapi di hati mereka bersorak ria karena Dira setidaknya membuat mereka bisa pulang.
Bahkan, Pak Sat pun bungkam karena dirinya juga sudah tau bahwa bel sudah berbunyi 10 menit yang lalu.
"Ya sudah, materi hari ini sudah selesai. Jadi, saya permisi."
Setelah Pak Sat keluar Dira menjadi heboh sendiri dengan memukuli meja sambil memekik senang.
"Hore!! Kita pulang..."
Kelas masih hening dan tak ada yang beranjak dari kursi mereka. Mereka menatap Dira dengan sorot ngeri. Bukan ngeri karena tadi Dira berteriak-teriak tapi pandangan mereka tertuju pada meja yang tadi dipukul Dira.
Glekk..
Mereka menelan ludahnya kasar melihat meja Dira sedikit retak, apa Dira sekuat itu?
"Kok pada lihatin gue, sih? Kalian enggak mau pulang?"
Brukk...
Srrettt...
Semua bergegas keluar dari kelas dengan langkah tergesa-gesa untuk menghindari Dira karena tidak mau menjadi sasaran amukannya.
"Dira."
Dira menoleh ke arah Fara yang menatapnya dengan malas karena kelakuan Dira. Ya, Fara sekarang tidak takut untuk menegur Dira.
"Ada apa, Fa?" Dira menatap Fara dengan tampang tak berdosanya yang membuat Fara menggeleng kepala tak percaya.
"Mejanya retak karena pukulan lo."
Dira menatap meja nya dan ternyata benar apa yang dikatakan oleh Fara. Retakan pada meja yang terlihat jelas menarik perhatian Dira.
"Wah, Dira enggak tahu loh kalau mejanya retak kayak gini. Tapi yang anehnya kok tangan Dira enggak sakit, ya?" Dira mengamati tangannya tapi tidak ada lebam-lebam, atau pun memerah sedikitpun.
"Ya udah, terserah."
Fara meninggalkan Dira di kelas bersama kelima cowok yang ternyata masih di kelas. Seketika Dira mempunyai ide untuk memuaskan aksinya pada Rafka yang belum tuntas menurutnya.
"Rafka."
Rafka dan keempat sahabatnya menoleh ke Dira yang memasang senyum lebar tapi malah terlihat menyeramkan.
Rafka segera bergegas keluar kelas menghiraukan Dira yang terus berteriak memanggilnya.
Saat tangan Rafka akan membuka pintu mobil, tangannya sudah dicekal oleh tangan yang lain membuat Rafka menghela nafas.
"Raf, gue nebeng, ya? Boleh, ya ya ya..." Dira memasang wajah imut yang entah kenapa terlihat menyebalkan di mata Rafka. Rafka tidak suka diganggu. Apalagi berdekatan dengan seseorang seperti Dira yang selalu merencanakan strategi dalam otaknya.
Telinga Rafka selalu berdengung melewati batas wajar yang selama ini dia tangani. Ah, lebih tepatnya dengungan yang hampir membuatnya gila dan Rafka masih punya batas tipis untuk menjaga kewarasannya. Akan tetapi, batas yang selama ini Rafka jaga seolah tak berarti di dekat Dira. Rafka tak sanggup jika harus berlama-lama bersama Dira yang pemikir. Tidak menutup kemungkinan Rafka akan benar-benar menjadi gila. Kemampuan Rafka seperti bom waktu yang ditanamkan dalam dirinya.
Rafka tak merespon, dia hanya diam mendengarkan kemudian menepis kasar tangan Dira. Rafka memasuki mobil dan segera meninggalkan tempat parkir sekolah.
Dira menghentak-entakan kakinya kesal karena rencananya gagal jika Rafka menolaknya. Tidak ada pilihan lain, Dira merogoh sakunya dan menelepon para bodyguard.
"Halo, bisa kamu urus pemilik mobil Ferrari putih yang berplat nomor XXXX. Saya tunggu kabar kamu, tapi ingat hanya membuatnya jera saja jangan sampai membuat dia mati."
Dira memutuskan sambungan telepon dan melenggang keluar gerbang sekolah karena di sana sudah ada Dave. Dave setia menunggu Dira dengan wajah yang dihiasi senyum lembut.
"Udah selesai ngerjain orangnya, heh?" Dave mengacak rambut Dira gemas.
"Udah, hehe..." Dira cengar-cengir tidak jelas. Senang sekali rasanya setelah lelah sekolah, pulangnya sudah disambut dengan senyuman manis Dave yang mematikan akal sehatnya.
"Ya udah. Yuk, pulang!"
Dira dan Dave melesat pergi dari sekolah dengan mobil Dave.
*****
Hari ini Rafka berangkat pagi-pagi sekali dengan menggunakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya. Di kelas, hanya ada beberapa siswi termasuk teman satu meja Dira, Fara juga sudah berangkat.
Tak lama terdengar derap langkah orang yang lebih dari satu. Saat menoleh ke arah pintu, Rafka mendapati sahabatnya yang melangkah ke arahnya dengan dahi berkerut karena tak biasanya Rafka memakai masker ke sekolah.
"Lo kenapa, Raf? Makin aneh aja lo setiap harinya."
Rafka mendengus mendengar cibiran Dimas yang membuatnya ingin sekali merobek mulut itu tapi dia tidak ingin mengotori tangannya.
"Gue dikeroyok waktu pulang sekolah."
Sekarang keempat sahabatnya menatap serius ingin mendengar kelanjutannya. Rafka mendengus melihat Dimas yang juga penasaran.
"Gue dikepung sama sekitar sepuluh pria dengan pakaian hitam dan tubuhnya yang besar. Argh, gue kalah jumlah sama mereka."
"Ulah siapa?" Azka angkat bicara karena di sini semakin rumit saja masalahnya. Kemarin, Rafka bahkan sudah dipermalukan di depan teman satu kelasnya.
"Gue enggak tahu, tapi gue curiganya sama satu orang--"
"Dira?" sela Azka yang diangguki Rafka dengan helaan napas berat.
"Udah gue duga." Andre ikut menimpali.
"Tapi gue enggak nyesel karena dikeroyok sama mereka." Rafka kembali berbicara yang membuat sahabatnya mengernyit bingung.
"Lah, kok bisa?"
"Karena gue ketemu sama cewek yang nolongin gue." Rafka mengatakan itu sambil menopang wajahnya dengan mata yang menerawang kejadian kemarin sore.
"Memang, gimana ceritanya?"
"Jadi gini..."
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius