"Jangan ganggu gue kalau lo enggak mau kena imbasnya." (Dira)
*****
"ARGH!! Rasanya pengin gue CEKIK SAMPAI MATI!!!"
Rafka yang mendengar suara batin Dira hanya diam. Tapi jujur saja Rafka mengakui bahwa Dira itu jika sedang marah akan lebih menyeramkan.
Oh, ya. Pasti kalian bertanya-tanya apa maksud dari mendengar suara batin Dira. Rafka mempunyai kemampuan spesial, yaitu membaca pikiran orang. Kemampuan yang menguntungkan sekaligus menyiksa diri sendiri.
"Kalian lagi ngapain, sih? Mau saling adu kekuatan? Lihat tempat kali, ini sekolah! Mending kalian cari tempat yang lebih elit buat adu kekuatan tapi enggak usah di sini!" desis Azka menatap tajam Dira yang menatap nyalang padanya.
Geram. Dira sangat geram dengan pria bernama Azkara Ranendra. Kenapa pria itu selalu mengganggunya di manapun dia berada. Apalagi kesan pertama yang Dira dapat tentang Azka sangatlah buruk. Benar-benar kenangan yang sungguh memuakkan.
"Bacot! Terserah gue dong! Asal lo tahu yah, tadi gue udah mau pukul dia. Tapi karena ada lo jadi mangsa gue selamat!" Dira menunjuk Eric yang bernafas lega dengan kehadiran Azka dkk. Keberuntungan Eric sepertinya bagus hari ini karena dia bisa menghindari pertarungan yang sudah jelas siapa pemenangnya.
"Tapi..." Dira memberi jeda ucapannya yang membuat semua menatap ke arahnya.
"Lo enggak bisa lolos dengan mudah, Sayang," lanjut Dira sambil mencolek dagu Eric dan mengedipkan matanya sambil menyeringai.
Dira berbalik berniat pergi, tapi dia menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh ke samping tepatnya menatap Azka dkk.
"Dan, buat kalian semua yang udah ganggu urusan gue... Kalian juga kena imbasnya! Tenang aja." Dira berlalu meninggalkan keenam cowok yang menatap kepergiannya dengan tatapan horor.
"B-bos ki-kita bakal diapain sama dia," ucap Dimas takut. Dimas merasa merinding di sekujur tubuhnya. Perkataan Dira seperti alunan lagu kematian yang siap mengiringinya kapan saja.
Bukannya menjawab, Azka malah berlalu meninggalkan mereka. Entah apa yang Azka pikirkan dengan wajah tanpa ekspresinya itu.
"Minimal kalian bakal dibikin babak belur." Setelah berkata itu, Eric berlalu meninggalkan Dimas yang mematung.
"Enggak usah dipikirin."
Rafka berlalu menyusul Azka dengan Andre dan Widi. Dimas yang tersadar pun berteriak heboh.
"WOY, JANGAN TINGGALIN GUE!!"
Dimas berlari terbirit-birit menyusul ketiga temannya karena dirinya merasa parno dengan ancaman Dira.
Sedangkan Dira saat ini sedang berjalan dengan kesal menuju gerbang sekolah karena sudah ada seseorang yang menunggunya di sana. Seseorang yang mampu membuatnya tersenyum sesulit apapun situasinya.
Wajah Dira yang tadinya kesal berubah menjadi sumringah ketika orang itu tersenyum manis ke arahnya. Dira langsung berlari-lari kecil menghampiri orang yang sedang bersandar di bember mobil dengan tangan yang dilipat di depan dada.
"Hai, udah lama ya nunggunya?" Dira memperlihatkan senyum manisnya di depan orang itu. Jantungnya berdetak kencang hanya karena menatap tepat pada manik mata orang itu.
"Hm, lumayan sih cuma 15 menit doang kok. Tapi enggak apa-apa kalau menyangkut tentang kamu." Orang itu tersenyum sambil mengacak rambut Dira dengan sayang yang membuat wajah Dira bersemu.
"Oh, jantung gue hampir meledak!!" Dira menjerit dalam hatinya. Wajahnya benar-benar memerah ketika orang itu mengelus rambutnya dengan penuh sayang.
"Ish, kamu bisa aja sih, Dave."
Dia Dave Jhonson, bisa dibilang kekasih Dira atau mungkin tunangannya karena mereka dijodohkan oleh ayah Dira yang merupakan seorang Pemimpin Mafia Black Angel. Ayah Dira menjodohkannya dengan Dave yang merupakan anak dari pemimpin mafia lain, Black Eagle.
Awalnya Dira hanya biasa-biasa saja menanggapi kehadiran Dave. Tapi lambat laun siapa sangka Dira mempunyai rasa padanya. Dan Dira yang kalian kenal sadis, kejam, dan ganas akan berubah menjadi sosok kelinci yang imut di depan Dave seperti sekarang. Dira bahkan sedang merona karena ucapan Dave padahal beberapa saat yang lalu dia masih merasa kesal dengan perbuatan Azka.
"Kamu habis ngapain? Kok lama banget?" tanya Dave dengan suara lembut yang membuat darah Dira berdesir. Tubuhnya terasa panas dingin akibat gugup jika berada di samping Dave. Pembawaan Dave yang lembut dan penyayang membuat Dira merasakan kasih sayang yang tidak dia dapatkan sewaktu kecil.
"Tadi ada urusan sebentar sama musuh aku."
Dave mengerutkan keningnya bingung. "Musuh? Siapa memangnya?"
Dira menghela napas sebentar. Sejujurnya dia masih kesal dengan Azka dkk yang menghentikan aksinya untuk membasmi Eric.
"Eric, Black Dragon."
Entah kenapa Dira merasa Dave menegang setelah dirinya mengucapkan itu. Tapi dia menghiraukannya saja dan tidak ambil pusing.
"Ayo, pulang. Nanti aku dicariin Papa lagi."
Dira menyelonong masuk ke dalam mobil Dave begitu saja dan disusul Dave. Tak lama mobil yang ditumpangi mereka meninggalkan kawasan SMA Merpati.
Kejadian itu tak luput dari pandangan kelima cowok yang tadi berdiri tak jauh dari keberadaan Dira dengan Dave tadi. Azka yang sedari tadi menyaksikan bagaimana perubahan raut wajah Dira ketika bertemu dengan orang yang tak dia ketahui identitasnya tercenung sejenak.
Hatinya terasa ngilu melihat kebersamaan Dira dengan pria asing tersebut. Senyum kecut tanpa sadar sudah terukir di bibirnya.
"Siapa dia?" Azka bertanya-tanya dalam hatinya. Namun, tentu saja dia tak mendapatkan jawaban apapun.
"Ey, bro!"
Azka tersentak ketika bahunya ditepuk pelan oleh Rafka. Oh, iya, Azka melupakan fakta bahwa Rafka bisa membaca pikiran mereka.
"Lo tahu?" Tatapan mereka beradu kemudian Rafka menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya dengan penuh penyesalan.
"Gue enggak tau. Pria itu enggak bisa gue baca. Mungkin dia punya mental yang kuat."
Azka terdiam sejenak. Sekuat apa mental pria itu sampai Rafka bahkan tidak bisa membaca pikirannya sedikit pun. Bahkan Dira yang sama-sama seorang Mafia masih bisa dibaca pikirannya oleh Rafka. Hanya beberapa orang saja yang tidak bisa Rafka baca pikirannya karena mental orang tersebut kuat atau karena faktor lain. Sejauh ini Rafka hanya tidak bisa membaca pikiran pria asing tersebut, salah satu sahabatnya, dan teman satu kelasnya.
Dimas yang menyadari adanya keheningan mulai mencairkan suasana.
"Woy, balik, kuy! Emak gue pasti udah nungguin anaknya yang ganteng ini." Dimas berucap dengan tampang sok gantengnya yang minta ditampol oleh keempat sahabatnya yang menggelengkan kepalanya jengah.
"Bukan teman gue!" ketus Azka kemudian berlalu.
"Apalagi gue!" Rafka menyusul Azka.
Sedangkan Dimas menatap cengo punggung Azka dan Rafka yang mulai menjauh. Dimas beralih menatap Andre dan Widi yang masih berdiri bersamanya dengan tatapan penuh harap yang membuat keduanya mendengus kesal.
"Enggak tahu, ah, Ndre. Teman lo, tuh!"
"Lah, gue mana mau punya teman macam dia, hih." Andre bergidik jijik menatap Dimas yang mendengus kesal. Kenapa Dimas mempunyai sahabat laknat seperti mereka? Yah, tentu saja karena dirinya sama laknatnya dengan mereka. Benar-benar kombinasi gila yang pas.
"WOY, MAU PULANG ENGGAK?!"
Ketiganya tersentak ketika ada teriakan yang mengintruksi perdebatan unfaedah mereka.
"GUE NEBENG, WOY!!"
Dimas berlari menyusul Azka yang sudah duduk di kursi kemudi dan bersiap mengendarai mobilnya. Azka menatap tajam Dimas yang duduk di kursi sampingnya dengan santai.
"Ck, memang gue udah ngizinin lo, heh?!"
Dimas memasang wajah tengilnya yang membuat Azka muak.
"Ya elah, Az. Cuma nebeng hari ini aja, ya ya..." Dimas memasang puppy eyes nya seperti cewek yang memohon dibelikan sesuatu oleh pacarnya.
Azka menatap jijik pada Dimas yang membuatnya bergidik ngeri.
"Enggak usah masang muka kayak gitu! Bikin gue mau muntah tau enggak!"
Azka memang berkata benar sepenuhnya karena dia merasakan gejolak di perutnya seperti ingin dikeluarkan.
"Oh iya gue lupa Az lo, 'kan fobia cewek. Ada-ada aja lo, Az. Fobia sama makhluk yang jumlahnya melebihi kaum laki-laki, sungguh menyiksa diri sendiri. Kenapa enggak coba lo lupain aja trauma lo sedikit demi sedikit. Atau cari penghiburan diri dengan mendekati cewek dari tahan awal, misalnya mulai menerima kehadiran teman-teman perempuan satu kelas kita."
"Lo pikir trauma itu bisa hilang dengan mudah begitu saja? Penyebab traumanya lah yang lebih susah dihilangkan daripada akibatnya. Karena akibat dari trauma akan hilang dengan sendirinya jika penyebabnya bisa kita lupakan dan mencoba berdamai dengan apa yang sudah berlalu. Namun, itu bahkan hal yang sangat mustahil untuk dilakukan. Penyebab trauma gue terlalu jelas sampai gue merasa baru kemarin gue merasakan penyiksaan itu."
Semua yang ada di dalam mobil terdiam tanpa membalas ucapan Azka. Mereka memilih diam karena jarang sekali Azka menceritakan masa lalunya yang kelam tersebut. Tangan Azka yang memegang kemudi mobil sedikit bergetar saat mengatakan hal tersebut.
Azka bersikap biasa saja seolah tak pernah mengatakan hal yang penting. Azka tahu, pasti sahabatnya bisa mengerti dirinya dibanding siapapun. Azka tahu Dimas hanya berusaha membantu Azka melupakan masa lalu dan menjadi normal kembali. Melihat keterdiaman Dimas membuat Azka salah mengartikan bahwa Dimas merasa bersalah. Namun, Azka tak tahu bahwa bukan itu yang menjadi penyebabnya, Dimas memikirkan perkataan Azka.
"Berdamai dengan masa lalu." Cih, sungguh perkataan manis yang enak didengar namun tak mudah untuk dilakukan. Karena masa lalulah yang menjadi penyebab semua hal terjadi pada kita di masa sekarang. Kebahagiaan atau kepahitan itu bergantung pada masa lalu.
*****
Azka memasuki rumah dengan senyum yang lebar ketika melihat sosok gadis kecil di ruang TV. Gadis itu sedang duduk di atas karpet sambil menulis.
"Kakak pulang."
Suara itu membuat gadis kecil itu menoleh ke arah Azka dan matanya berbinar seketika.
"Kakak!!"
Gadis kecil itu berlari menghampiri Azka lalu mendekapnya erat, tingginya sekitar pinggang Azka
"Senang ya Kakak pulang sampai kamu lari-lari, Chel," tegur Azka lembut pada gadis kecil yang memperlihatkan senyum lebarnya.
"Hehe, maafin Rachel, Kak. Tadi Rachel lupa. Habisnya Rachel senang banget kakak udah pulang," celoteh gadis kecil tersebut yang diketahui bernama Rachel.
Azka menjadi gemas sendiri dengan wajah imut adiknya. Diapun menarik Rachel untuk duduk di sofa.
"Adik kecil Kakak hari ini sekolahnya gimana? Ada yang nakal enggak?"
Rachel seketika mendelik tapi bukannya terlihat seram tapi dia justru terlihat lucu.
"Ish... Kak Azka gimana sih! Rachel udah besar, Kak. Rachel udah kelas 6 dan sebentar lagi lulus mau kelas 7 SMP, Kak..."
Rachel menggembungkan pipinya sambil melipat tangannya di dada dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Ya, Azka tau pasti adiknya ini akan merajuk jika dikatakan masih kecil.
"Iya deh iya adik Kakak udah besar. Udah dong ngambeknya katanya udah besar," bujuk Azka sambil mencolek pipi Rachel.
Rachel kecil tampak menghela nafas berat kemudian menatap Azka.
"Oke, Rachel enggak akan ngambek lagi asalkan Kak Azka beliin Rachel es krim yang banyak."
"Iya deh nanti Kakak beliin es krim yang banyak buat Rachel."
"Janji?" Rachel menyodorkan jari kelingkingnya yang langsung dibalas oleh Azka.
"Janji."
"Yeaahh!" Rachel kecil tampak sangat gembira dengan mata yang berbinar-binar.
Azka mengacak rambut Rachel gemas kemudian bangkit. "Kakak ke kamar dulu ya, kamu lanjutin aja tugasnya."
Azka berlalu menuju kamarnya dan membaringkan tubuhnya yang terasa lelah karena sehabis bertanding basket dan berlatih basket kembali setelah pulang sekolah tadi.
Pikiran Azka tiba-tiba melayang pada peristiwa dimana Dira sedang bersama sosok cowok yang tidak diketahui identitasnya oleh Azka. Siapapun cowok itu, kenapa dia bisa membuat sifat Dira berubah seratus delapan puluh derajat dari yang Azka lihat di sekolah. Apa hubungan mereka? Kenapa terlihat sangat dekat?
"Argh!!! Kenapa jadi mikirin dia sih?!! Bodo amat gue enggak peduli!! Lama-lama gue bisa stress kalau mikirin itu terus, huft..."
Walaupun demikian, di benak Azka tetap saja bertanya-tanya mengenai cowok tersebut.
"Ck! Sebenarnya siapa dia?!!"
Hayo, ada second male lead nih >∆<
Bingung harus bikin Dira sama siapa nantinya:"(
Btw, ada yang punya penyakit second male lead? _* Atau justru tergila-gila sama Male leadnya? ∆*
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius