Entah kenapa rasanya hari ini aneh sekali, ruang makan sekaligus ruang keluarga itu menjadi senyap. Tidak ada pembicaraan satu sama lain, lampu remang-remang yang bergelantungan semakin menjadi suram suasana tersebut. Carissa tampak tidak berselera, memang perutnya sedikit kenyang, tapi niatnya sekarang adalah makan sedikit untuk menghargai masakan Bibinya itu.
"Makanannya tidak enak ya, Ris?" tanya Rani heran memperhatikan gerak-gerik Carissa yang tidak nafsu makan.
"Tidak kok Bibi, masakan Bibi kan selalu enak," jawab Carissa dengan tersenyum simpul.
Rani dan Daniel menatap satu sama lain, "Pasti ada yang kamu sembunyikan dari kami, Nak Rissa. Katakan saja apa itu?" tanya Daniel langsung. Carissa terdiam dan menundukkan kepalanya. Dirinya nafsu untuk makan hari ini, tapi mengingat bahwa waktu bersama Paman dan Bibi tidak akan lama lagi, Carissa menjadi sangat sedih karena ia akan jarang sekali bertemu dengan Paman dan Bibinya itu yang sudah ia anggap Ayah dan Ibu.
Carissa tidak mampu menahan air mata yang menumpuk terlalu berat itu, suara halus isakannya membuat Daniel dan Rani terdiam dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Carissa. "Nak Rissa, jangan sedih ya? Kita pasti akan berkumpul lagi nanti, tenang saja," hibur Daniel.
"Iya Rissa, jangan sedih lagi ya. Bibi jadi sedih ini melihat kamu seperti itu. Nanti jika kamu sudah pindah ke rumah tunanganmu, Bibi akan kirimkan makanan kesukaan kamu setiap hari minggu," timpal Rani.
Carissa menarik dalam-dalam nafas dan menyeka air matanya. "Sebenarnya juga aku tidak menginginkan semua ini terjadi, aku hanya ingin tetap bersama dengan Paman dan Bibi. Aku juga takut, jika orang yang dijodohkan denganku itu bukanlah orang yang baik ataupun dia tidak menyukaiku. Tapi disisi lain, mungkin ini yang bisa lakukan, untuk meringankan beban Paman dan Bibi selama ini."
Mata Rani ikut berkaca-kaca mendengarkan perkataan Carissa, ia menggelengkan cepat kepalanya dan bangkit dari kursi makannya. "Tidak Carissa sayang … Kami berdua sama sekali tidak merasa direpotkan sama sekali kok. Paman dan Bibi ikhlas merawat kamu, Nak. Jadi jangan pernah katakan hal seperti itu," ujar Rani sambil memeluk Carissa erat.
Air mata Carissa tidak henti-hentinya mengalir, hanya pelukan Bibinya sangat persis dengan pelukan hangat Ibunya. Daniel tersenyum melihat yang terjadi di depan matanya sekarang. Ya, Rani memang tidak bisa hamil karena mandul. Berkat hadirnya Carissa kecil di hidup mereka, semua berubah drastic. Daniel sendiri jujur merasa keberatan mengurus Carissa, tapi lama kelamaan ia menjadi luluh dan menyayangi Carissa dengan sepenuh hati sampai sebesar sekarang.
***
Suasana makan malam di kediaman Pak Santoso pun juga senyap, ditambah lagi dengan sikap Dirga yang diam nan datar dan tatapan matanya bak burung elang, semakin menambah suasananya semakin dingin. Martin sendiri sudah terbiasa dengan suasana sepertinya, suasana seperti ini biasanya terjadi karena Ayah dan Kakaknya terlibat suatu konflik atau mungkin perbedaan pendapat masing-masing.
"Biasalah," gumam Martin sambil menyedok makanannya dengan lahap. Dirga sudah menduga bahwa setelah makan ini pasti aka nada perdebatan lagi dengan Ayahnya. Ayahnya itu tidak akan berhenti bertanya sampai jawabannya ketemu. Dirga pun langsung bergegas menghabiskan makanannya itu secepat mungkin untuk menghindari pertanyaan Ayahnya dan agar bisa mengerjakan semua tugas kuliahnya dengan tenang. "Aku sudah selesai," kata Dirga dingin dan pergi meninggalkan kursi dari ruang makan tersebut.
Martin menatap heran ekspresi Ayah dan Kakaknya, "Ayo Ayah, lanjutkan lagi makannya," ujar Martin mencoba mencairkan suasana. Dirga masuk ke dalam kamarnya dan tidak lupa menutup pintu kamar, "Ah, sebuah ketenangan yang aku dambakan, waktu pergi mengerjakan beberapa tugas," ujarnya.
***
Makan malam pun selesai, begitupula dengan Carissa yang terduduk lesu di atas tempat tidur, "Aku harus mencari cara lain, agar hal ini tidak terjadi. Tapi harus bagaimana dan itu juga merupakan pesan terakhir Ayahku. Ayolah Carissa, coba pikirkan lagi, pasti ada cara lain."
Sedangkan Daniel dan Rani ikut bantu memikirkan cara lain. Daniel sendiri berniat meminjamkan uang di bank, tapi hal itu tidak disetujui Rani, karena itu adalah tindakan yang cukup bodoh untuk dilakukan. Bisa saja mereka berdua meminjamkan uang di bank, tapi bagaimana nantinya mereka berdua tidak mampu untuk membayar, kan sama saja dengan sia-sia.
"Apa kamu sudah mendapatkan ide lain?" tanya Daniel.
"Tidak ada, tidak ada cara lain lagi," jawab Rani lirih.
Daniel menghela nafasnya berkali-kali untuk menenangkan dirinya, "Sejujurnya juga aku tidak tahu masalah ini bagaimana. Rotno sendiri tidak pernah bercerita apapun kepadaku soal ini. Seandainya aku tahu soal ini, pasti semua ini tidak akan terjadi serumit ini," jelas Daniel.
"Memangnya jika kamu tahu hal ini, gunanya apa coba untuk sekarang?" protes Rani kesal.
"Ya, gunanya kita masih punya banyak waktu untuk memikirkan cara lain." Rani terdiam dan tidak mau lagi menggubris perkataan suaminya itu. Dirinya dan suaminya itu hanyalah orang bodoh, bodoh tidak bisa melakukan apapun untuk keponakannya sekarang.
***
Martin dengan rasa penasarannya yang tinggi pun, diam-diam mengikuti Ayahnya yang sedang menaiki tangga lantai atas menuju kamar Kakaknya. Baru saja Santoso ingin mengetuk pintu kamar Dirga, Martin langsung memanggil dan mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar tersebut.
"Ada apa?" tanya Santoso.
"Ada hal yang ingin aku tanyakan kepada Ayah," jawab Martin dengan mantap.
"Apa itu? Katakan."
"Tapi bicaranya tidak disini, sebaiknya kita ke ruang keluarga saja Ayah."
Sekilas Santoso melirik kearah pintu kamar Dirga dan mengangguk pelan kepada Martin. Mereka berdua pun turun menuju ruang keluarga. Dirga sendiri sudah menguping dari tadi dan merasa lega. "Terima kasih Martin, karena sudah membantu diriku untuk tenang," gumam Dirga.
***
"Jadi hal apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?" tanya Santoso.
"Soal ini Ayah, aku bukannya bermaksud ikut campur urusan Ayah dan Kakak, tapi sebenarnya Ayah dan Kakak kenapa?" tanya Martin.
"Tidak apa-apa, hanya masalah sepele," jawab Santoso. Dari sini saja sudah ketahuan, bahwa Ayahnya tidak akan mau menjelaskannya kepada Martin. "Ah, baiklah jika Ayah tidak mau memberitahuku, maaf menganggu waktu Ayah."
"Baiklah, tidak apa-apa Nak."
Ayahku pergi meninggalkan aku sendirian di ruang keluarga, "Sepertinya ini mungkin merupakan masalah serius antara Ayah dan Kak Dirga. Sudahlah, nanti aku sendiri akan tahu apa masalahnya nanti."
***
Tanpa membuka pintu, Santoso langsung masuk ke dalam kamar Dirga. "Bagaimana? Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik?" tanya Santoso. Dirga berbalik dan menatap datar kearah Ayahnya, "Belum aku pikirkan Ayah, memangnya perjodohan itu untuk apa sih?" tanya Dirga dengan nada sedikit penakanan.
"Kamu tidak perlu untuk apa, yang Ayah butuhkan sekarang adalah kepastianmu sekarang," kata Santoso tegas.
"Kan sudah aku bilang Ayah, aku belum siap untuk semua ini!" Santoso terdiam dan membuang muka. Baru saja ia ingin melangkah kakinya keluar dari kamar Dirga, "Baik, aku menerimanya. Soal jemputnya dia atau siapalah itu, besok saja kita bicarakan, Ayah. Sekarang aku banyak tugas yang harus aku selesaikan dan harus di kumpul dalam waktu 3 hari," sambung Dirga lalu berbalik fokus mengerjakan tugasnya.