Suasana yang asing. Sandra tak habis pikir dan tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan berada di tempat seperti ini. Jok belakang mobil mewah milik pria asing bernama Leo Wang. Satu-satunya orang yang dikenal masyarakat atas prestasinya di dunia malam. Bangunan besar yang ada di sudut kota itu menjadi saksi segala perjuangannya di masa muda, Sandra tak pernah menyangka kalau ia akan duduk berdampingan dengan jarak yang bisa dibilang cukup dekat. Bahkan, bisa ia katakan kalau aroma parfum mewah yang khas, tak pernah ditemui olehnya dimana pun kini mulai menari-nari di dalam lubang hidungnya. Alunan musik balad sesekali memecah keheningan dan menarik fokus gadis muda itu untuk menatap lurus ke depan.
Aneh, baru kali ini ia merelakan dirinya dan membulatkan keberanian untuk pulang bersama pria asing. Jalurnya memang sama. Mobil mewah ini menuju ke rumahnya dengan arahan dari Sandra. Sesekali sang supir bertanya mau dibawa kemana arah mobil ini melaju. Memastikan bahwa ia masih berada di jalur yang benar.
Percakapan di mulai kala Sandra tak tahan lagi dengan diamnya. Ia hanya mengenal pria ini sebatas wajah dan nama saja. Selebihnya tak ada. Yang ditahu Sandra, ayahnya bekerja sebagai seorang manajer di dalam bangunan hotel milik sang ibu pria ini.
"Anda bisa menurunkanku di gang depan sana, Sir." Gadis itu berbicara. Kala mengucapkan kata asing, logatnya begitu kental dengan orang barat. Sukses mencuri perhatian Mr. Leo yang ada di sisinya. Bukan hanya wajah milik Sandra saja yang khas orang barat, bahkan suara dan caranya berbicara pun kental dengan logat orang luar.
"Dari masa asalmu?" tanya Mr. Leo tiba-tiba. Pria jangkung itu terus menatap ke arahnya. Lekat penuh pengharapan. Ia berharap Sandra tak bohong dengan apa yang menjadi riwayat hidup gadis muda itu. Leo bukan orang bodoh, ia adalah pengusaha cerdik dan licik. Dirinya tak akan mudah percaya dengan catatan pegawai yang mengatakan bahwa Sandra adalah gadis kelahiran Jakarta 22 tahun silam. Gadis itu lebih mirip seorang imigran gelap yang berasal dari benua Eropa atau semacamnya.
"Indonesia, Jakarta." Gadis itu menyahut. Ini bukan kali pertama dirinya berbohong pasal kelahirannya. Jujur saja, Sandra sendiri pun ingin tahu dari mana ia mendapatkan wajah cantik ini. Katanya sang ibu yang sedang dirawat di rumah sakit, ia mendapatkan wajah cantik yang khas ini dari seorang wanita baik yang malang nasibnya. Entah malang seperti apa, Sandra hanya mendapat sepenggal kisahnya begitu.
"Jangan berbohong, Sandra. Aku membaca catatan dan profil tentang dirimu sebelum ini."
Sandra menundukkan pandangnya. Kalimat Mr. Leo sama dengan yang lain. Wajahnya tak cocok dengan kata lahir di Jakarta. Ia tak cocok dengan wajah orang-orang Asia.
"Mau melihat KTP dan akta kelahiranku, Mr. Leo? Kau bisa menunggu di dalam mobil selagi aku mengambilnya nanti," tukas gadis itu dengan nada sedikit santai. Ia sudah kebal dengan pertanyaan semacam ini.
"Sudahlah ... aku bisa mencari tahu itu sendiri jika mau." Mr. Leo kembali memalingkan wajahnya. Ia menatap ke luar jendela mobil. Sejenak diam membentang di antara keduanya. Sandra hanya bisa diam selepas pria yang ada di sisinya menyelesaikan kalimat dengan nada bicara yang terdengar sedikit putus asa.
"Ngomong-ngomong, Mr. Leo. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Gadis itu kembali menarik perhatian pria yang ada di depannya. Mr. Leo menoleh, lalu kedua mata mereka bertemu dalam satu titik. Pria tampan itu menatap dengan teduh. Ia tak jahat, tak seperti pemikiran Sandra sebelumnya. Pria itu baik, mungkin. Malam ini ia bahkan menatap Sandra tanpa ada napsu dan keinginan yang jahat. Pandangan mata itu tak punya makna selain teduh dan kosong.
--ia sedang merasa kesepian? Entahlah. Itu bukan urusan Sandra.
"Mengapa Anda tiba-tiba mengajakku pulang bersama?" tanya Sandra dengan nada lirih. Ujung jari jemari gadis itu mulai bertaut satu sama lain. Sedikit resah, kiranya. Meksipun pria itu tak berbuat jahat tetapi tetap saja, satu-satunya laki-laki yang pernah duduk dan menyentuh Sandra hanya Bima, sang mantan kekasih.
"Kau tak suka? Kau boleh turun sekarang." Kalimat itu seakan menjadi perintah baru untuk pria yang duduk di atas kursi kemudi. Mobil yang tadinya melaju sedang membelah jalanan kota kini mulai menepi dengan kecepatan yang terus saja berkurang.
--hingga akhirnya, mobil itu berhenti.
"Aku hanya ingin membalas apa yang dilakukan oleh anak buahku tadi. Aku tak enak padamu, Sandra. Itu sebabnya aku berniat untuk membayar hutangku." Pria itu melanjutkan. Ia berdeham lalu mulai memalingkan wajahnya. Menatap ke jalanan luar yang mulai sepi meksipun ini adalah jalan utama antar kota. Tak akan ada yang mau keluar di tengah malam kalau tak punya urusan yang penting dan genting.
"Turunlah jika tak nyaman dengan—"
"Lantas mengapa menyiksa seorang gadis sampai sekarat seperti itu?" tanya Sandra tiba-tiba. Mr. Leo mulai menatapnya dengan aneh. Sejenak ia berpikir untuk kalimat yang disampaikan Sandra padanya. Ia tak mengerti, ingatannya masih saja kosong tak ada adegan apapun di dalamnya.
"Aku berbicara tentang gadis yang kau siksa lalu ibumu menghantarkannya ke rumah sakit. Itu temanku, Mr. Leo," tuturnya mempersingkat. Kedua alis gadis itu kini mulai bertaut satu sama lain. Pria yang ada di sisinya mulai mengerti. Ia ber-ah ringan kala ingatan itu kembali menangkap satu adegan mengerikan di masa lalu. Tak jauh, mundurnya hanya beberapa malam saja. Ia sudah menyiksa dan hampir membunuh seorang gadis cantik.
"Dia mata-mata. Itu sebabnya aku melakukan itu untuk membuatnya berbicara," ucapnya dengan ringan. Ia bahkan tersenyum untuk itu. Membuat Sandra tak habis pikir dengan kekonyolan pria ini. Dia punya kepribadian ganda? Ya, itulah yang sempat terbesit di dalam benaknya.
"Aku melakukannya untuk melindungi tempatku. Itu salahnya sendiri. Seharunya ia mau berbicara kala aku menanyainya waktu itu."
Sandra mengulum salivanya berat. Anggukan kepala datang begitu saja. "Namun dia adalah perempuan, Mr. Leo. Bayangkan jika ibumu yang—"
"Aku tak punya ibu," jawabnya memotong kalimat milik Sandra. Gadis itu mulai mengerutkan dahinya.
"Nyonya Aida ...."
"Sudahlah. Kau bisa turun jika sudah selesai mengoceh. Aku akan pulang ke rumah," ujarnya memotong kalimat milik gadis yang ada di sisinya.
Ah benar juga, kalau dilihat-lihat dari dekat dan dengan saksama, wajah Mr. Leo bernasib sama dengan wajah cantiknya. Tak mirip dengan kedua orang tua yang sudah merawatnya.
Sandra kini menganggukkan kepalanya. Ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh pria itu. "Kalau begitu aku pamit, Mr. Leo. Terimakasih sudah mau menghantar diriku." Gadis itu membungkuk ringan. Ia mendorong pintu mobil yang ada di sisinya lalu keluar dari sana. Meninggalkan pria yang masih duduk sembari terus menatap kepergian Sandra.
"Awasi gadis itu. Aku punya firasat aneh saat memandang matanya," perintahnya pada pria yang ada di depannya saat ini.
... To be Continued ...