Siklus ekonomi beserta pandemi yang meraja lela, buat pikiran jadi rela tak rela. Dari over thinking, hampir lesu, sampai tidur tak nyenyak.
Garis-garis penghuni mulai kendor, bercengkrama dengan debu terbengkalai perihal jangankan membersihkan, melihatpun enggan. Tentu stempel bertulis malas terbordir pada dahi. Lesu dengan kepala yang setengah penuh oleh siklus gonjang-ganjing, melemahkan kepal untuk meninju realita.
Kepanikan serta komunikasi simpang siur, menghambat rencana demi rencana, seakan memang di sana sidah tempatnya. Habis tak hanya sebulan, akhirnya keputusan melayang pada pelantikan aturan miring. Hampir berjaman cukup lancar.
Namun sayang, banyak lalat yang jadi penculik kelembapan situasi. Dan, yang kami hadapi bukan main-main, yang membuat gerak jadi mau tak mau sebab bidang miring tersebut. Sebab lapangan lapang, kami yang ambil alih, sampai tiba tragedi setengah sendat. Semua kami alami beberapa kali, namun kami tetap tertancap pada tanah yang sama meski aspalnya sudah remuk.
Sampai berita acara pelepasan simpul tali yang sukar, bergonta-ganti formasi, keluar masuk sana-sini
dan kami masih di sana.
Kami berfikir, sudahlah tak apa, kami orang-orang beruntung, maka yang terjadi adalah kesekian kali dan harus selalu kami bersyukur atas apa yang dialami kebanyakan orang di luar tak sampai pada kami.
Hampir semua orang di muka bumi jadi caci makk, demi sekepal nasi. Darah jadi buah tangan untuk bekal pulang melepas dahaga akan runyamnya hati dan fikiran. Pembalikan fakta, fitnah, serta aji mumpung berpegang pendiri.
*Bersambung*
Jakarta, 2020