Bangkok, Thailand.
Dua tahun lalu, Ace tak pernah membayangkan akan menikah dengan siapa pun selain kekasihnya, Drake Alberto. Gambaran pernikahan yang Ace bayangkan juga sederhana. Selain resepsi indoor di sebuah gedung kecil di Milan, dia tak berharap punya momen bulan madu. Model sederhana pun tidak. Dia tahu Drake sudah sangat berusaha saat melamar di alun-alun Sanam Luang, Bangkok.
"Kau suka, Phi?"
Ace memandangi jari manis yang kini bertakhta cincin. "Wah ...." Yang tadinya fokus pada pertunjukkan kembang api di langit, dia jadi teralihkan pada sang kekasih.
"Maaf lama." Drake mengusap pucuk hidung. "Aku tak mau merasa kurang pantas saat melakukan ini. Menurutku rumahnya harus jadi dulu. Begitu pun kerjaan baruku. Aku tak bisa tenang jika pindah ke luar negeri tanpa rencana yang matang."
Ace pun mengulas senyum tipis. Dia kehilangan kata-kata untuk beberapa detik. Antara Drake dan dunia ini, Ace merasa bingung memperhatikan mana karena terlalu bahagia.
Keramaian di sekitar jadi pudar. Parade apa pun yang melintas, Ace abai dengan semuanya. Dia hanya mengikuti isi hati, sementara Drake terkejut saat mendapat pelukan darinya.
BRUGH!
"Kalau begitu, iya!" kata Ace antusias. "Dan kau selalu dimaafkan, Drake. Pasti."
Mereka sudah memimpikan ini sejak lama. Tepatnya 4 tahun, sejak bertemu di bangku kuliah King Mongkut's Institute of Technology Ladkrabang. Waktu itu, Drake adalah mahasiswa semester 4, sementara Ace merupakan dosen magang. Butuh waktu dan usaha lebih untuk pemuda itu untuk mendekatinya. Mulai dari rajin mengerjakan tugas-tugas, merepotkan Ace dengan beberapa pertanyaan, dan selalu bilang kebetulan saat mereka bertemu di perpustakaan.
Awalnya, Ace ragu Drake juga tidak lurus sepertinya. Bagaimana pun, pemuda itu cukup tampan untuk digandrungi gadisgadis seumurannya. Namun, setelah Drake mencuri ciumannya diantara rak-rak buku, Ace sadar motif jujur darinya.
Bagi Ace, Drake merupakan pilihan yang besar. Sejak setuju berhubungan, dia tak berpikir dua kali untuk pindah jenis pekerjaan. Ace juga tak masalah dengan kehidupan samar masa depan. Sebab melihat Drake serius berusaha setiap hari, dia senang.
Ace tahu sang kekasih merencanakan sesuatu. Jadi, meski harus bersabar, dia sungguh menunggu Drake mengatakan segalanya hari itu.
"Aku akan bantu Phi pindah pekerjaan juga." Drake memeluk pinggang sang kekasih seeratnya. Dia tak peduli lagi dengan orang-orang di sekitar. Toh keramaian yang ada terlalu heboh untuk peduli pada mereka. "Kita urus semuanya sama-sama. Paspor, anggaran pindah, resepsinya ...."
"Iya, tentu," kata Ace sekali lagi. "Pasti akan kubicarakan dengan boss-ku besok pagi. Kau pun tak boleh menanggung terlalu banyak. Kita 50:50, oke?"
"Tapi, Phi--"
"Ssst. Kali ini kau harus menurut padaku," sela Ace. Dia mencubit punggung Drake hingga pemuda itu meringis. "Tidak ada yang boleh sok hebat lagi. Bukankah kita sudah sampai di tahap ini?"
"Tetap saja, kan--"
"Aku tak pernah seyakin ini," cengir Ace. "Lagipula persiapanmu sudah mewah. Jadi, kendaraan dan resepsi biar aku saja yang menanggungnya."
Malam itu, Drake yang tak pernah terlihat lemah bahkan menangis dan tertawa haru di bahunya. Sang kekasih seperti baru memenangkan sesuatu. Dia berhasil! Dia sungguh mewujudkan segalanya dengan sukses! Namun, Ace tidak tahu momen bahagia itu akan berakhir dengan cepat setelah mereka pindahan.
BRAKKKKKHHHHHHHHH!!!!
"KECELAKAAN!" teriak seorang warga Italia lokal. Pria itu sampai menyemburkan hot dog yang dikunyah saat menunjuk sebuah arah.
Di sana, Drake benar-benar terkapar. Tubuhnya berlumuran darah, menimbulkan kemacetan tengah jalan, dan mobil-mobil yang terburu pun berputar agar menemukan jalur lain.
TIIIIIINN!! TIIIN!! TIIIIIIIIIIII!!!
Entah apa yang terjadi saat dia pamit mengambil ponsel ketinggalan di kafe, yang pasti dunia Ace runtuh saat itu juga. Mereka bahkan baru dua hari di negara asing ini! Jadi, selain rumah baru dan barang-barang yang belum selesai ditata, Drake tidak meninggalkan apa pun kecuali kenangan yang hitam kelam.