webnovel

Jurit malam

Ngiuu ngiuu ngiuuu

Suara sirene terdengar makin kencang, menutup habis suasana sunyi terjangan angin malam.

Gelap, dengan kabut tebal yang sudah beransur turun, membumbungkan gumpalan putih yang berterbangan mengikuti hembusan.

Normalnya mengistirahatkan diri setelah sepanjang hari berkegiatan padat, terlebih memang waktu hampir lewat dari batas larut. Bahkan rasanya belum sampai mata tertutup mereka melangkah ke alam mimpi, sudah di obrak dengan kejamnya, di paksa berkutat dengan suhu rendah. Di giring penempaan fisik, lagi dan lagi. 

Tak mengetahui kejutan, atau bahasa nyatanya adalah siksaan yang akan mereka dapatkan. Namun yang pasti lebih menguji kesabaran dan juga jiwa solidaritas, konon katanya.

Arka merasakan tubuhnya benar-benar membeku, kakinya gemetar, gigi bergemelutuk, walau sekujur tubuhnya terbungkus habis oleh kain tanpa cela. Nyatanya sebagai anak malam, belum bisa melatihnya untuk bisa tahan banting di segala kondisi.

Hachuu

Biasa, penyakit dadakan yang membuatnya terlihat lemah. Hidung terasa lebih sensitif, gatal, sampai-sampai Arka ingin menggaruk lubang dalamnya dan mengeluarkan cairan kental yang mulai berproduksi.

Sruttt

Namun tak ada pilihan, telapak tangannya yang terbungkus sarung tangan pasti akan lebih mengacaukan bila cairan kental itu mengotorinya, meresap, dan mengendalkan lendir di permukaannya. Iuhh!

Alhasil, sesekali hanya bisa menggosok-gosok puncak hidungnya sampai memerah. Ya... Sedikit menjijikkan pula dengan menyedot kembali ingusannya, terpaksa.

Uhuk-uhuk

Tersedak, terasa asin, berlendir di indera pengecapnya, dan bodohnya Arka yang malah menelan? Sialan! Dampak dari saluran pernapasannya yang bermasalah, menggiring ingusnya ke pencernaan.

Hueekkk

Arka mual, terlalu jijik dengan pemikirannya yang mencerna terlalu detail perjalanan lendir kental itu di dalamnya. Tubuhnya siap untuk membungkuk dan mengeluarkan konsumsi yang tak seharusnya, kalau saja sebuah lengan yang meraba belikatnya tak mengalihkan perhatian. Arka geli, seketika saja menyentak kasar lengan asing yang lancang terhadapnya.

"Siapa lo, brani pegang-pegang gue?! Nggak sopan banget!" Arka geram, rautnya menekuk dalam, sementara tatapan matanya tak bisa mengekspresikan. Pandangannya di tutup oleh sebuah kain, membuat kedua lengannya meraba-raba sekitar dengan kelimpungan, bogem mentah bahkan sudah siap di layangkan, Arka terus saja memutar tubuh, sampai terhuyung seperti orang mabuk, namun tak ada siapa pun di sekitarnya.

Arka itu mahal, tak bisa sembarang orang menoelnya dengan lancang. Ya... Namun lain halnya untuk Nino, Arka bahkan siap banting harga bila perlu promosi habis-habisan dengan menelanjangi tubuhnya untuk menunjukkan kelebihan.

Namun jelas hal itu membutuhkan proses, Arka harus menunjukkan terlebih dahulu jika dirinya istimewa, hanya untuk Nino, dan tak seorang pun berhak mendahului jejak jamahan di sekujurnya.

"Brengsek!" Arka bersungut. Sangat kesal karena seperti di ledek dengan sentuhan berulang di tempat berbeda, menguji kesabarannya.

Mendengus, menghentakkan kedua kakinya terlebih saat ikatan kain yang menutup matanya terlalu ketat untuk bisa di lepas.

"Bri... Brian...!" Yang secara otomatis memanggil punggawanya untuk lekas  berdiri melindungi.

Bukannya Arka pengecut, hanya saja keadaannya genting. Lagi pula, ia menerapkan betul fungsi kawan.

"Akhh!" Arka berjengkit karena terkejut, kali ini lengan asing itu dengan lebih lancang dengan meremas pantatnya.

Kali ini benar-benar merasakan betul posisi seseorang di belakangnya, Arka pun memutar tubuhnya, siap memberi sikutan. Hingga geraknya yang lagi-lagi di dahului, telapak tangan lebih dulu mencap wajahnya, kasar, hingga Arka hampir saja terjungkal ke belakang.

Plaakk

"Akkh-! Emphh...!"

"Woi! Tuh, mulut nggak mau di kuncir aja? Pengang nih, kuping!"

"Ada yang kurang ajar sama gue, bri... Masak pegang-pegang gue segala... Hajar, bri! Lo nggak bakalan tega kalo gue di apa-apain, emmphh! Bri-emmph!" Arka kesulitan buka mulut, kali ini Brian membungkamnya.

Sampai Arka dengan jelas mendengar Brian meringis karena kehebohannya.

"Lagi-lagi lo malu-maluin gue." Celetuk Brian membuat Arka yang di lepaskan sontak memberenggut, meski pun jelas mereka sama-sama di tutup matanya. Mudah untuk Brian mengenali kawannya dengan mata tertutup, remas saja bokong semoknya!

"Ar, kita sekarang lagi jurit malam. Nggak akan ada seme yang bakalan cari kesempatan buat grepein lo. Lagian juga setan ogah gangguin lo yang berisiknya kebangetan kaya gini!"

"Bri, kok lo ngomongnya kesantaian banget, sih? Lo pikir nggak jadi masalah kalau gue di lecehin kayak tadi? Atau lo nganggepnya gue uke yang nggak bakalan narik perhatian? Nggak bakalan ada cowok yang niat merkosa gue yang sangat menggemaskan, ini?"

"Ckkc! Ar-"

"Woy, kalian berdua! Napa bisa misah kayak gini, sih...!"

Sebuah suara datang, memotong pembicaraan Brian yang mulai mendebat Arka.

"Pegangan tangan  yang bener, dong! Susah tau ngatur kalian semua," gerutu Fahmi- ketua regu yang lantas menarik lengan Arka dan Brian secara bersamaan.

Permainan dini hari yang begitu tak jelas. Masalahnya, dari setiap siswa yang menjadi peserta, hanya sang ketua yang selaku pemandu lah yang di berikan keistimewaan. Tanpa penutup mata, rintangan menyusuri jalan dengan tangan-tangan lancang yang memang untuk menakuti, serta tanpa harus merasakan titik embun yang mulai merembes masuk ke dalam pakaian saat mereka di perintahkan untuk berguling-guling di atas tanah lapang.

Bayangkan saja, saat Arka dan peserta lainnya yang sudah penat menahan rasa kantuk, serta posisi yang sedikit mendukung untuk mencuri kesempatan mengistirahatkan diri, sebuah suara keras dari tengah-tengah mereka kembali menguji.

"Malam ini adalah yang terakhir kita bisa berkumpul seperti ini. Di temani bulan purnama yang bersinar sangat terang. Di kelilingi ilalang panjang, pohon-pohon rindang, serta angin kencang yang membuat gemerisik suara dedaunan berpadu dengan suara jangkrik yang berisik."

Suara Melisa, amat sensitif sekali di pendengaran sang adik. Arka sudah tak paham lagi dengan pembicaraan publik yang terlalu panjang dengan ritme mendayu seolah tengah berpuisi. Oh ayolah, suasana malam indah apa yang di deskripsikan? Bahkan Arka sangat meyakini jika para peserta sudah kembung dengan angin yang terlalu berlebihan masuk ke tubuh.

Saat ini Arka malah curiga tentang mengapa mata para peserta di tutup, bisa saja panitia melindungi diri dengan membuntal tubuh dengan selimut tebal, kan? Ya, pastinya mereka curang! Sialan, memang!

Yang setelahnya tak berhenti di sana saja. Bahkan lebih ekstrem dari sebelumnya. Kedua tangan para peserta di ikat ke depan, dengan tantangan menemukan rekan setelah di barisan mereka di obrak-abrik.

Curiga, mungkin saja para panitia bersekongkol dengan dedemit untuk beberapa di antara mereka ditumbalkan. Imbalan cerdas? Di sayang bapak ibu guru? Mungkin saja, kan? Persaingan jenjang atas memang begitu ketat, kan?

Jangan heran, pikiran Arka memang melantur, tak jauh-jauh dari hal negatif yang tak  masuk akal. Salahkan saja Brian yang selalu meracuninya dengan cerita horor rutin di malam jum'at.

Ah, bercerita tentang horor, kenapa tiba-tiba saja bulu kuduk Arka berdiri, ya? Bahkan setelah tempatnya yang di tarik untuk berpindah posisi oleh panitia, ia merasa di sekeliling dekatnya tak ada siapa pun. Arka seperti di buang terlalu jauh dari peredaran. Suara-suara para ketua regu yang saling teriak untuk mendominasi pendengaran, bahkan tak ada satu pun yang memanggil namanya. Yang membuat Arka hanya bisa celingak-celinguk tanpa guna.

Próximo capítulo