webnovel

Memikirkanmu

Preinan POV

"Tuan, apa tuan mau makan sesuatu?."

Seorang pelayan datang ke kamarku untuk yang ketiga kalinya pagi ini. Melihat piring sarapanku dinakas yang belum tersentuh, dia terus mencoba menawariku sesuatu.

"Papahku, apa dia belum pulang?. "

Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan saat mengguratkan cat pada kanvas didepanku.

Hari ini cuaca sangat bagus. Sayang sekali kalau tidak diabadikan. Aku mencoba melukis burung yang bertengger diranting kecil di balik jendela kamarku yang tinggi. Mereka terlihat sangat estetik.

"Beliau belum pulang dari kemarin, tapi tadi pagi dia menelpon untuk memastikan kalau tuan muda makan dengan benar. "

Aku mendengkus geli, dan memalingkan pandanganku pada si pelayan muda ini. "Bilang saja, aku sudah makan dengar benar. Tidak perlu repot repot menelpon karena itu."

"Tapi, tuan. Tuan bahkan belum makan apapun pagi ini. Dan, bukannya tuan harus meminum obat dari dokter juga?."

Pelayan ini mulai berani cerewet ternyata. Aku menghela nafas sejenak dan menaruh kuasku di tepi cat akrilik yang tersusun rapi di meja kecil dekat jendela tempatku duduk.

"Semua itu bukan urusanmu, aku makan dan tidak itu bukan urusanmu, aku minum obat atau tidak itu juga bukan urusanmu. Kenapa kamu sangat cerewet?."

Kataku dengan lantang ditambah senyum sindiran diakhir.

"Maaf.." Wajahnya langsung tertunduk dan melangkah mundur perlahan meninggalkanku.

Ah, mendengar ocehannya membuatku tidak bersemangat lagi melukis. Sayang sekali padahal burung yang akan ku lukis itu sangat menarik.

Aku melempar celemek yang ku pakai, bersandar pada tralis jendela dan beralih memandangi taman belakang rumahku yang hijau.

Ah, tiba tiba aku teringat kejadian kemarin malam. Aku bahkan masih merasa tergelitik hingga sekarang. bagaimana bisa, seorang cowok menyebalkan, seenaknya menyentuh.. Ah, maksudku memegang tubuhku begitu saja.

Aku bisa tahan soal dia yang sok jadi senior yang galak dan memerintahku sepanjang waktu. Tapi, untuk menyentuhku? Dia benar benar kurang ajar.

Tapi, sebenarnya kalau dipikir pikir lagi bagus juga. Dengan alasan sakit ini aku tidak perlu datang lagi kesekolah. Sampai acara itu selesai.

Aku awalnya ingin berterimakasih untuk bantuannya malam itu, tapi sekarang jadi malas. Toh, sebenarnya dia bukan orang yang baik seperti dugaanku sebelumnya.

Aku masih tidak percaya, aku pernah menganggapnya seorang malaikat penyelamat. Haha, aku pasti sudah gila. Semakin memikirkannya membuatku tambah gila.

Dan lapar.

"Pak Eko."

Aku memanggil seseorang yang selalu siaga dibalik pintu kamarku. Tak lama baginya untuk datang dan menghampiriku.

"Iya, tuan. " Pria tua ini, seperti biasa pandangannya menunduk. kadang aku berpikir dia terlalu menghormatiku. Diusianya yang tua, tidak terlihat pantas untuknya bersikap seperti itu. Tapi, aku tidak pernah protes, karena semuanya sudah seperti kebiasaan.

"Siapin mobil ya. Aku mau nyari makanan diluar. "

"Baik. "

Dia membungkuk dan berjalan kembali keluar kamar.

...

Aku duduk disebuah kursi dekat jendela kafe. Sebenarnya aku tidak hanya berniat untuk makan. Aku juga ingin menghirup udara luar karena dirumah rasanya sangat sumpek.

Aku memesan jus kesukaanku, dan beberapa makanan penutup ringan. Aku duduk dalam waktu yang lumayan lama sambil memainkan ponsel hingga hampir tengah hari. Pak Eko terlihat masih menunggu di tempat parkir sambil terus melihat jam di tangannya.

Kenapa wajahnya terlihat kesal? apa dia punya urusan lain? Atau sudah bosan menungguku?.

"Selamat siang semuanya, apa kabarnya hari ini? Seperti biasa kita akan bawakan lagu lagu untuk menemani anda semua yang ada disini. " Suara besar Itu terdengar dari panggung kecil disudut kafe. Beberapa orang terlihat bersiap untuk tampil.

Aku baru tahu kalau pengamen boleh tampil disini. Kafe murahan.

Aku melihat lima orang dengan pakaian sederhana dan gaya rambut gondrong yang berantakan. Dua diantaranya bahkan memliki tatto penuh di lengannya dan sebagian lagi..

Tunggu!

"Kak Ariel?. "

Aku mengenali seseorang diantara mereka berlima. Pria itu adalah orang yang sama yang mengantarku kemarin. Dunia ternyata sangat sempit. Tidak disangka, kalau kita akan bertemu lagi.

Aku mengangkat tangan kepada seorang pelayan dan dia berjalan mendekat.

Lalu aku mendekatkan wajahku pada pelipisnya dan berbisik. "Tolong bilang ke orang yang disana, saya..."

dan dia mengangguk.

Pelayan itupun berjalan menghampiri panggung dan berbisik pada Pria gondrong yang sekarang beralih menatap padaku dan tersenyum lebar. Aku pun membalas senyumannya.

Saat teman temannya masih sibuk menyetel alat musik dipanggung, dia berjalan menghampiriku.

"Hei, nggak disangka kita bisa ketemu lagi. "

Dia menggeser kursi dan duduk didepanku.

"Iya, sangat kebetulan. Aku kira kakak itu orang bogor. " ya, karena kita bertemu didaerah bogor.

"Nggak, kakak orang sekitaran sini kok. Cuma emang manggung dimana mana. Nah, kebetulan hari ini dan besok, kakak manggungnya disini. "

"Ohh gitu. Ah, iya. Aku baru inget soal hutangku yang itu.."

"Eh, kok dibahas lagi. Kan, kakak bilang kakak ngasih. "

"Ah, iya juga ya. "

Dia tersenyum dan mengacak acak rambutku dengan spontan. "Kakak, manggung dulu. Kamu tonton ya. "

"Oke... "

Dia berdiri dan pergi ke atas panggung lagi.

Sesaat aku kira dia vokalis, ternyata dia hanya gitarisnya. Tapi aku tetap mendengarkan lagunya dengan bersemangat. Ternyata band yang terlihat biasa ini punya lagu lagu yang keren juga.

Setelah lagu keempat, mereka berhenti dan di sambut tepuk tangan yang hangat. Aku salah satu yang paling keras. Karena mereka benar benar sangat keren.

...

*****

Raiga POV

Suara riuh dari teriakan dan tepukan tangan berbaur dan menggema sepanjang ruangan. Lomba lomba yang kami adakan dipekarangan sekolah sangat disambut antusias oleh para siswa baru. Tapi, tidak denganku. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi kayu yang hampir reot diruang osis sendirian ditemani beberapa laporan yang harus ku ketik. Seperti biasa aku mengerjakannya dengan tidak bersemangat dan malas malasan. Lagipula tidak ada hal menarik dari sebuah tugas mengetik laporan.

Hah...

Aku menyangga kepalaku dengan kedua tangan dan mengangkat kakiku ke atas meja. Pandanganku mengarah tepat pada jam dinding di depanku. Suara detaknya membuat isi kepalaku seketika sunyi.

Tentang anak nakal itu, aku tak tahu pasti bagaimana keadaannya sekarang. Karena setelah malam tadi si pria tua itu menyuruhku pulang. Aku tidak lagi punya kesempatan untuk melihatnya.

Hahh....

Bahkan waktu terasa berlalu begitu cepat hari ini. karena regu Gial memenangkan banyak lomba tadi, dia mengajak semua anggota panitia makan di kedai mie ayam dekat persimpangan sekolah. Meskipun tidak terlalu bergairah. Tapi, aku tidak enak untuk menolak ajakannya.

Kami semua duduk di meja melingkar yang besar dengan makanan dan minuman yang memenuhi meja. Aku mendapati Fiya dan Erik menatap padaku sedari kami datang. Tapi, mereka seperti tak berani untuk membuka suara.

Aneh..

Anak anak lain membahas banyak hal tentang acara disekolah, dan tentu saja tentang Preinan juga. Fadiah menyinggungnya sekali, lalu setelah Fiya menjelaskan, tak ada lagi pertanyaan yang keluar tentangnya. Semua sibuk dengan topik acara yang berjalan baik hari ini.

Meskipun kami berbincang dengan hangat dan penuh gelak tawa, tapi aku tetap merasa aneh. Rasanya seperti tubuhmu ada ditempat ini tapi pikiranmu jauh entah kemana. Aku sendiri sangat bingung.

"Rai, kamu nggak apa apa? Dari tadi aku perhatiin kamu diem aja. Lagi nggak enak badan?. "

Si gendut Gial mulai bertanya dengan penasaran diikuti lainnya yang kini mulai menatapi juga.

"Nggak apa apa, cuma kayaknya aku harus balik duluan, deh. " Aku menjawab dengan nada biasa.

"Yaudah, balik duluan aja. Nggak apa apa kok."

Gial yang duduk disampingku ini menepuk bahuku dan mengusapnya perlahan.

"Biar aku anter. "

Erik menggeser kursinya dan berjalan mendekatiku.

"Eh, nggak perlu. Aku kan bawa motor sendiri."

"Mau sekalian ambil barang aku yang belum kamu kembaliin."

Aku mengerutkan alis. "Barang apa?."

Tapi dia malah berubah kikuk. "Euh.. Itu loh, film Je-."

Sebelum kata selanjutnya keluar, aku membungkam mulutnya dengan tanganku dan melototkan mataku padanya.

Kalo sampe dia ngomongin film porno di depan anak anak lain, bisa jatuh pamorku nanti. Si bodoh ini benar benar.

"Iya, iya... Aku kembaliin."

Aku melepaskan tanganku dari mulutnya.

"Kita balik duluan, ya. Bye... "

Aku mengambil tasku dan mengikuti Erik yang sudah keluar dari kedai.

"Hati hati. "

.....

Aku menepukkan telapak tanganku dijok motor bisonku. Saat Si mesum Erik ini akan menaikinya.

"Maksudnya apa tadi? Pake alesan mau ambil barang segala. " Aku menatapnya dengan penuh curiga. Karena jelas sekali kalau pembicaraan tadi itu cuma alasan.

Dia terlihat diam beberapa saat sambil melihat kesegala arah dengan bingung.

"Euhhh.. Gini, Rai..." Dia terlihat canggung dan menghela napas berulang kali.

"Ada apa?. "

"S-sebenernya kemarin, Fiya cerita. Soal si anak yang kamu hukum itu. Aku cuma mau pastiin, kalo kamu nggak dapet masalah apapun. Jadi... Ya, makanya aku mau nanya langsung... " Katanya dengan canggung sambil mengais ngais aspal dengan ujung sepatunya. Itu salah satu kebiasaannya jika sedang merasa canggung atau malu.

Aku menghela napas dan berjalan menaiki motorku. Sementara Erik masih menatapku dengan wajah penuh tanda tanya.

"Nggak ada apa apa. Waktu keluarganya dateng, aku langsung pulang. Dan nggak terjadi masalah apapun. Jadi nggak usah penasaran lagi." aku menjawabnya sambil memakai helm di kepalaku dan menyalakan mesin motor.

"Terus, anak itu, Sekarang gimana?."

"Aku juga nggak tau, mungkin kalo besok dia nggak dateng ke sekolah, aku bakal pergi kerumahnya."

"Hah? Mau ngapain?. " keningnya berkerut bingung.

Aku memutar mataku lalu mendekatkan wajahku padanya "Rahasia.. "

Tapi, dia malah menatapku dengan wajah yang curiga. .

"Jadi ikut nggak?. " aku memberinya helm.

"Ah, Iya. "

Próximo capítulo