webnovel

Mencari Ayah Jaya

Aku kini berjalan santai menuju kamar. Oh iya, aku akan melanjutkan cerita tadi. Sebelum main band di HIS, aku sempat memulai kegiatan modeling saat tingkat SMP. Saat itu model yang berstatus pelajar masih sangat jarang. Hal itu bermula dengan satu atau dua kali foto di majalah. Aku bahkan sebenarnya tak tertarik pada dunia model, daddy-lah yang memaksaku. Yang aku inginkan hanya bermain musik. Tetapi kegiatan model itu jadi semakin serius.

Sebenarnya, aku bahkan tak pernah belajar cara berjalan saat mengikuti show pertama. Itu sangat kacau, tapi untunglah aku tampan, hahahaha.

Begitulah sekelumit kisah tentang kecintaanku pada musik.

Seusai mandi dan berpakaian aku langsung menuju kamar ayah. Pasti ayah masih tidur jam segini. Biasanya, memang papa sering mengunci gerbang dari luar. Mereka memegang kunci duplicate masing-masing.

Cklek!

Aku masuk tanpa permisi seperti biasanya.

"Ayah! Ayah di mana?" Aku mencarinya di setiap sudut kamar, lalu dilanjut ke setiap sudut rumah. Tapi, aku tak menemukan batang hidung ayah yang katanya seksi itu.

Ini sungguh mencurigakan. Setelah aku terbangun dari koma, ayah juga belum pernah menjengukku. Papa dan daddy juga tak pernah membicarakan mengenai ayah. Semoga ini tak seperti yang ada di drama-drama itu. Orang tua sang tokoh utama akan pergi meninggalkan tokoh utama ke luar negeri. Dan mereka tak pernah kembali pada sang tokoh utama. Hanya karena sang tokoh utama tak menuruti perintah orang tuanya.

Semoga saja tak seperti itu. Tapi, entah kenapa aku begitu takut jika itu sungguhan terjadi padaku.

Baiklah, aku akan coba tenang dahulu. Aku kembali berlari ke kamar ayah, dan menuju lemari besar yang berada di sudut ruangan. Lemari itu tak terkunci. Tak biasanya ayah tak mengunci lemarinya. Lemari yang menyimpan celana dalam keberuntungannya.

Dengan tangan bergetar, aku membuka pintu. Tapi apa-apaan ini?

Sebagian baju ayah sudah tak ada.

Hanya tinggal beberapa helai baju. Rasanya saat ini mataku sungguh perih. Air mataku keluar begitu saja membanjiri pipi.

Kenapa, Yah? Kenapa ayah meninggalkan Joon seperti ini?

Apa kesalahan Joon sudah tak termaafkan lagi?

"Ayah! Ayah di mana saat ini?" teriakku frustasi.

Sudah cukup! Aku tak akan hanya duduk dan menangis karena ayah meninggalkanku begitu saja. Memangnya aku masih bocah umur 7 tahun?

Tekadku sudah bulat. Aku akan mencari ayah ke mana pun dia pergi. Ya, aku pasti akan menemukannya.

"Joon akan menemukan keberadaan ayah saat ini. Tunggulah Joon, Ayah!" gumamku sambil mengusap air mata yang terus menetes sedari tadi, tanpa kukehendaki.

***

Aku sudah berada di luar gerbang dengan sepedaku saat ini. Untunglah, aku menemukan kunci duplicate untuk membuka gerbang. Sepeda gunung bermerek 'Intense Carbine Factory 29er' ini kudapatkan dari papa saat ulang tahunku yang ke-14, tahun lalu.

Kata daddy, harga sepeda ini setara dengan mobil milik Gilang. Hahaha, tapi apa peduliku. Satu tahun ini belum rusak, sudah perkembangan yang baik. Biasanya apapun yang kupakai, entah benda elektronik atau apa, tak akan lama massanya.

Biasanya dalam 5 bulan sudah rusak. Paling lama ya sepeda ini, sudah hampir satu tahun menemaniku. Tapi, memang aku jarang memakainya. Biasanya ke mana pun aku selalu nebeng mobil Gilang, kalau tidak ya jalan kaki.

Pertama, aku akan mencari ayah ke cafe.

Setelah beberapa menit perjalanan, aku sampai di cafe. Cafe masih ramai seperti biasanya.

"Paman! Apa ayah berada di sini?" tanyaku pada Paman Leman yang kebetulan berada di halaman cafe.

Ia sedikit terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba.

"Arjuna? Kau sudah sembuh, Joon? Kau kesini bersama siapa, heh?" tanyanya sembari mencari seseorang di belakangku.

"Aku sendirian ke sini, Paman. Oh iya,  apa Paman tahu keberadaan ayah?" ucapku.

"Bos Jay sudah lima hari tak pernah kemari. Kupikir selama ini dia menjagamu di rumah sakit. Tapi kau---" Belum juga Paman Leman menyelesaikan kalimatnya, aku sudah kembali mengayuh sepedaku meninggalkan cafe. Ada apa ini sebenarnya? Ayah tak berada di rumah sakit, rumah, bahkan cafe.

Sebenarnya saat ini ayah berada di mana?

"Aaakh! Ayah tega sekali meninggalkanku, hah?!" teriakku.

Aku masih terus mengayuh sepeda, tanpa peduli orang menatapku aneh saat aku berteriak di jalan. Aku sungguh binggung saat ini. Rasanya, aku ingin berteriak sekencang mungkin agar ayah dapat mendengar.

***

Sudah berjam-jam aku terus mengayuh sepeda. Tanpa arah dan tujuan. Bahkan, sekarang kurasa aku sudah memasuki wilayah Jakarta Utara.

Saat melewati jalanan yang berada di dekat spot pemancingan Muara Angke, aku terhenti. Tempat ini sama persis dengan tempat yang berada di mimpiku waktu itu. Ini seperti de javu. Tapi, aku tak ambil pusing. Itu hanya mimpi. Mimpi yang entah memiliki makna seperti apa. Saat ini, yang terpenting adalah menemukan ayah. Bagaimana pun caranya.

Aku kembali mengayuh sepeda. Sejenak aku menoleh ke arah jam tangan, waktu sudah menunjukkan jam 2 siang. Jadi sudah hampir sekitar 4 jam aku bersepeda. Pantas saja saat ini aku mulai kelelahan. Tempat mana yang hendak kutuju pun, aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah mencari ayah. Bahkan, jika harus mengelilingi seluruh Jakarta pun akan kulakukan.

Di musim kemarau seperti saat ini, cuaca begitu panas. Entah ini karena cuaca panas atau apa, tiba-tiba keringat mengucur deras dari seluruh tubuh. Biasanya, aku sanggup bersepeda hingga lebih dari sepuluh jam. Tapi, kenapa saat ini aku merasa kelelahan?

Ayah pernah berkata, "Kekuatan fisik seseorang itu ada batasnya, sekuat apapun dia."

Saat ini ....

Apa aku sudah melampaui batas kekuatanku? Tidak! Kumohon jangan tumbang dulu, Tubuhku.

Semakin lama napasku semakin menderu. Keringat dingin terus mengucur, membanjiri tubuh. Tak ada telepon umum di sekitar sini. Aku juga tak membawa ponsel. Aku memang benar-benar ceroboh. Seharusnya kegiatan pencarian ini lebih terstruktur selumnya.

Ah, jangan salahkan! Aku kira tadi ayah hanya di cafe. Siapa sangka aku harus memutari seluruh wilayah hanya demi menemukan ayah. Kuharap ayah tak sedang diculik saat ini.

Baiklah, sepertinya saat ini aku harus pulang lebih dulu. Aku merasa payah. Besok saja kulanjutkan mencari ayah.

Tapi tunggu!

Ini sejak kapan jalannya jadi bercabang seperti ini? Cabangnya banyak lagi.

Seluruh benda yang kulihat juga berubah menjadi dua. Ah bukan, tapi tiga. Empat mungkin. Semakin lama semakin banyak bayangannya. Dan semua benda itu bergoyang. Apa ada gempa bumi saat ini?

Belokannya juga, kenapa banyak sekali? Aku harus belok ke arah mana ini? Gawat! Kenapa tiba-tiba tubuhku lemas dan mataku terasa berat. Aku ingin tidur saat ini juga.

DIINN!!

BRUAKK!!

"Aaakkhh!"

Bersambung ....

Próximo capítulo