Pada tanggal 9 Juli, sebuah kapal pesiar bertingkat sepuluh berlabuh di pelabuhan pantai timur Surabaya. Pada pukul 18.30, kapal pesiar itu terang benderang, dan karpet merah mengarah langsung ke pintu putar keemasan bergaya Romawi. Semua yang ada disana terlihat mewah dan elegan.
Kemarin, dia berlatih seharian bersama Pak Vincent, dan akhirnya mencapai integrasi nyata antara musik tradisional dan Barat. Hari ini mereka akan memainkan dua lagu bersama-sama.
Pak Vincent terkejut saat melihat permainannya selama ujian praktek perguruan tinggi tempo hari. Dia langsung meminta alamat emailnya dari panitia penyelenggara.
Fira mengenakan gaun hitam yang cantik, dan Ratih, yang membawa tas kecapi di sampingnya, terlihat seperti asistennya. Dia merasa sangat bangga dengan temannya itu "Kecantikanmu telah mencapai level yang baru hari ini," katanya.
Fira mencengkeram lengan Yoyo, memandang ke arah dua orang di samping pintu putar, dan mengangkat alisnya "Lihat ..."
Sambil mengatakan itu, keduanya melangkah pelan ke arah pilar emas Romawi.
Ronny melipat tangannya di dada dan mencibir, "Kukira aku salah lihat. Ternyata kalian berdua? Untuk apa kalian ada di sini? Menonton pertunjukan? Kedatangan kalian berdua benar-benar menurunkan standar penonton. Kenapa kalian masih membawa-bawa tas kecapi itu? Apa kalian ingin memprovokasi master piano kelas dunia? Jangan mempermalukan diri kalian sendiri. "
Bagaimana mungkin Ronny bisa begitu konyol?
Fira baru akan membuka bibirnya dan hendak menjelaskan. Jangan sampai Ronny yang bodoh itu berbicara terlalu banyak.
Mulut Ronny mulai mengoceh lagi "Kalian duduk di baris yang mana? Kalau kalian terlalu jauh dari panggung, kalian takkan bisa melihatnya. Aku dan Lulu mendapatkan tiket VIP di baris pertama. Aku bisa menceritakan semuanya pada kalian. Aku akan menceritakan keseruan konser ini nanti."
Ratih akhirnya tak tahan lagi dan berkata "... Maaf, mengecewakanmu. Tapi Fira tidak berada disini untuk menonton pertunjukan. Dia ada disini untuk bermain bersama Tuan Vincent malam ini."
Lulu tampak terkejut sesaat, dan dia meremas tas tangannya dengan erat, senyumnya terlihat sedikit kaku.
Bermain musik dengan Tuan Vincent?
Dua orang ini benar-benar berani bicara omong kosong.
Ronny mencibir "Bermain musik bersama Tuan Vincent? Ratih, bukankah seharusnya kamu tahu diri sebelum menyombongkan diri? Dia? Fira? Apa dia layak? Belum lagi status musik tradisional kan tidak terlalu bagus. Pernahkah kamu memenangkan penghargaan internasional? Pernahkah kamu diakui oleh organisasi profesional mana pun? Lulu, yang sudah memenangkan begitu banyak penghargaan saja tidak berani mengucapkan kata-kata sombong seperti itu, tapi kamu ... "
Fira perlahan-lahan mengeluarkan surat undangan dan menunjukkannya ke depan mata Ronny. Ratih sedikit tertegun "Apa kamu bisa membacanya? Itu dituliskan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Apa aku masih perlu membacanya lagi untukmu?"
Hati Lulu gemetar, dan emosinya tidak bisa ditahan lagi. Dia hanya bisa meremas tas tangannya dengan erat, dan jarinya terjepit sendiri.
Ronny tidak bisa mempercayainya. Dia membaca surat undangan itu. Arogansinya barusan hanya menjadi lelucon.
Fira juga menambahkan kalimat lain "Kalian tidak perlu menceritakannya untukku. Aku pasti merasakannya sendiri dari atas panggung."
Ronny sangat marah sehingga dia melemparkan surat undangan itu ke arah Fira "Kukira Tuan Vincent ini memiliki visi musik yang begitu indah. Aku sama sekali tidak menyangka,"
Fira mencibir "Menarik kedatangan penggemar itu seperti divestasi. Tidak ada yang perlu membuat pengumuman khusus. Tidak ada yang peduli."
Ronny merasa tersinggung mendengar kata-katanya itu "Fira, apa kau sudah gila?"
Ratih mengangkat alisnya "Aku dan Fira, kami memang berada di tengah keberuntungan yang besar. Kalau kamu iri, tahan saja dalam hati."
Indra melangkah bersama ibunya di atas karpet merah. Lulu menarik lengan Ronny dan berbisik "Lupakan saja, mungkin sekolah hanya ingin mempromosikan musik tradisional, dan kerjasama ini adalah salah satu bentuk promosinya."
Fira dan Ratih telah memasuki pintu putar dan naik ke lantai atas.
Bab 38 Ketika aku melihatnya berbalik dan lari
Ronny mengertakkan giginya karena marah "Pasti, itu pasti sudah direncanakan. Bagaimana mungkin Tuan Vincent bisa menyukainya?"
Indra melangkah dengan terburu-buru, melewati mereka berdua bahkan tanpa menyapa Lulu. Melihatnya melewati pintu putar, Lulu melihat bahwa Indra sepertinya ingin mengejar Fira.
Ekspresinya berubah muram.
Seharusnya dia tidak perlu merasa cemburu pada Fira.
Dia juga cantik dan pintar, memiliki kepribadian yang baik, dan populer. Bahkan ayah kandung Fira mencintainya lebih dari Fira. Dia menjalani kehidupan yang makmur, dan semua orang iri padanya.
Dia benar-benar tidak perlu cemburu pada Fira.
Tapi dia bisa melihat bahwa tidak ada orang lain di mata Indra. Dia hanya ingin mengejar Fira.
Saat itu, semua topeng yang dipakainya retak dan hancur.
Kecemburuan yang ditekan jauh di dalam hatinya meledak dalam sekejap.
Dia sama sekali tidak menyukai Fira. Fira harus tetap berada di dunianya yang malang, dan tidak menghancurkan hubungan mereka yang sudah seimbang.
Sama seperti kartu domino, perubahan Fira ini akan menyebabkan kehancuran seluruh dunianya.
Dia benci kalau itu terjadi.
Ibu Indra melangkah anggun, menyapa Ronny, dan tersenyum sopan pada Lulu.
Lulu teringat dengan ketidakpuasan wanita itu di belakang punggungnya. Mau tak mau dia merasa marah tapi dia hanya bisa menunjukkan senyum manis di wajahnya.
Mereka bertiga memasuki kapal pesiar bersama-sama.
Lulu berbicara lebih dulu, "Aku hampir saja terlambat hari ini."
Ronny memandangnya "Ah? Kenapa?"
"Karena adik laki-laki Fira yang menderita penyakit jiwa, aku terpaksa harus pergi ke sana untuk mengeceknya."
Ibu Indra menangkap kata-katanya itu "Penyakit jiwa?" tanyanya.
Lulu berbisik "Ya, dua adik laki-lakinya, yang satu menderita autisme sementara yang lainnya menderita mania. Keduanya sangat menakutkan. Kudengar kalau itu adalah penyakit turunan, jadi tidak bisa disembuhkan."
Ekspresi Ibu Indra tampak terkejut "Jadi begitu."
Ronny tampak marah "Apa kamu masih mengurusi mereka? Kamu terlalu baik, Lulu. Dan Fira masih tidak memperlakukanmu sebagai anggota keluarga."
Lulu menarik tangannya "Jangan berkata begitu, Paman Rudi bersikap baik padaku. Bagaimanapun, mereka juga anak-anak Paman Rudi, dan aku ingin membantu mereka semampuku."
Ibu Indra memandangnya dengan penuh kekaguman "Kamu benar-benar anak yang baik, anak yang baik."
Lulu tersenyum.
Fira mengikuti Ratih dan memasuki atrium, mengomentari kemewahan kapal pesiar ini, yang tidak terlihat seperti berada di dalam kapal. Sinar lampu kristal di atas atrium menyebar ke seluruh sudut ruangan.
Mereka memasuki lift, dan ketika pintu lift akan tertutup, satu tangan menahan pintunya.
"Tunggu sebentar."
Indra melangkah masuk.
Fira bersandar ke dinding lift yang transparan dan menatapnya dengan acuh tak acuh tanpa ekspresi apa pun.
Lift itu hanya menampung sekitar lima atau enam orang. Tidak ada yang berbicara, dan suasananya sangat hening.
"Kamu ..." kata Indra, dan sebelum dia sempat melanjutkan, lift sudah tiba di lantai empat.
Fira dan Ratih melangkah keluar dengan acuh tak acuh, tanpa niat sedikit pun untuk berbicara dengannya.
Fira telah berubah dan dia bukan lagi gadis yang mengejarnya.
Begitu Fira melangkah keluar dari dalam lift, dia terkejut melihat seorang pria yang lewat di hadapannya. Dia segera membalikkan badan dan ingin masuk ke dalam lift lagi.
Tapi, pergelangan tangannya dipegang erat oleh pria itu.
"Fira, kenapa kamu lari?" Suara pria itu terdengar dingin dan muram.
Dia adalah Ardi.
Sepertinya dia melangkah keluar dari lift yang satunya.
Apa yang harus dilakukan Fira?
Hari ini adalah hari ketiga belas percobaannya. Apa yang akan terjadi pada tubuhnya kalau dia tidak melihat Ardi selama tiga belas hari?