Aku menyibakkan tirai kereta. Azlan sendiri sudah berjalan mendekati para pengawalnya.
“Ada apa?” Samar masih kudengar suara Azlan.
“Itu, Pangeran.” Aku melihat pengawal itu menunjuk ke arah gelap. Seorang pengawal terlihat mengambil sesuatu dan menyerahkan pada Azlan.
“Ada Apa?” tanyaku pada Azlan saat dia kembali ke kuda kereta.
“Ini!” Azlan menyerahkan sebuah surat dan dikirim melalui panah. Aku segera membacanya.
BAWA LEON KE PAVILIUN HEAL, CEPAT! KITA URUS JENAZAHNYA. HATI-HATI! PARA PENYIHIR MASIH BERKELIARAN. GUNAKAN JALUR RAHASIA, MEREKA SUDAH BERSIAP UNTUK MENCEGAT KALIAN. ORANG-ORANG DADDY SUDAH MENUNGGU DI SANA.
Aku melipat surat yang dikirimkan Daddy dan memperhatikan panah yang tadi digunakan. Ini memang panah milik Daddy. Aku kembali menyibak tirai kereta.
“Azlan?”
“Kita gunakan jalur kita?” jawabnya tanpa menoleh dan tetap fokus pada jalanan.
“Iya. Ini memang panah Daddy.” jawabku sekaligus menekankan persetujuanku atas usulnya untuk menggunakan jalur rahasia yang biasa kami gunakan.
“Daddy benar. Kita sedari tadi telah diikuti.” ucap Azlan sebelum dia kembali menahan kekang kuda.
Azlan turun dari kuda dan mengitari kereta kuda. Dia menyibak tirai belakang.
“Baringkan, Leon! Dan kau yang membawa keretanya pulang. Aku akan mengalihkan mereka.”
“Bukankah itu terlalu berbahaya? Jumlah kalian tak seberapa, Azlan.”
“Kau mulai meragukan kemampuanku? Atau kau begitu mencemaskanku, Bree?” Aku refleks memukul tangan Azlan yang baru saja membaringkan jasad Leon dengan posisi miring.
“Pedas sekali, sayang.”
“Bodo’! Situasi serius begini masih saja bercanda.”
“Aku tak bercanda apapun. Aku akan merasa sangat senang sekali kalau kau mulai mencemaskan keselamatanku. Karena aku telah lama ingin menjadi pria yang ada di prioritas utamamu.”
“Azlan!” Aku mengepalkan tanganku dan bersiap untuk memukul wajahnya yang masih saja menampilkan senyuman jahilnya yang tidak mengenal situasi.
“Ah, Bree! Cobalah untuk sedikit lembut padaku! Menjadi liarlah saat kita melakukan ‘pertarungan’ kita nanti!”
Bugh!
Kepalan tanganku mendarat telak di bahu kirinya. Pangeran Savior itu meringis sambal mengelus pundaknya yang baru saja kupukul.
“Untung kau satu-satunya gadis yang kusayang.” sungutnya dan aku hanya mendengkus kesal.
“Satu lagi?” Aku kembali mengepalkan tanganku.
“Cukup! Baik, kemarilah!” Azlan mengulurkan tangannya dan langsung kusambut. Aku langsung melompat turun dari dalam kereta. Kami kembali memastikan posisi Leon aman dan tidak akan berguling.
“Gunakan jalur kita! Berhati-hatilah!” Sekali ini Azlan berkata dengan mimik serius. “Kita bertemu lagi di rumah.” Azlan mendekapku sekilas sebelum membantuku menaiki kuda yang akan membawa kereta dan Leon.
Aku belum mendengar pergerakan Leon dan pengawalnya saat aku melajukan kereta menuju jalur rahasia. Mungkin dia ingin memastikan aku masuk ke jalur kami dulu baru dia beranjak.
Aku terus memacu kuda memasuki jalur rahasia. Jalur ini terhubung langsung ke Paviliun Heal. Tidak banyak orang yang mengetahui jalan ini, hanya keluargaku, termasuk Naena, dan keluarga Leon serta Azlan.
Sinar bulan purnama sangat membantuku melalui jalanan yang gelap. Tidak ada obor penerangan sepanjang jalan. Jika sudah terlihat titik cahaya, itu artinya aku telah mencapai halaman belakang Paviliun Heal.
Saat memasuki pintu rahasia di halaman belakang Paviliun Heal, di sana telah ada Daddy.
"Kau sendiri? Mana Azlan?" Daddy memperhatikan ke belakang kereta kuda, namun dia tak menemukan tanda-tanda akan ada orang yang menyusul.
"Bree sendiri, Dad. Kami diikuti jadi Azlan membuat pengalihan."
"Itu terdengar bijak. Paman Ab dan Daddy tadi juga sudah memerintahkan pengawal untuk menyusul kalian." Daddy berjalan ke arah kereta kuda dan aku mengekori Daddy.
"Jasad Leon kami baringkan di dalam, Dad." Daddy mengangguk sekilas.
"Naiklah! Daddy akan membawa kalian ke depan." Daddy langsung membantuku menaiki kereta kuda.
Daddy mengambil alih laju kereta aku fokus mengamati wajah Leon. Wajah pucat karena memang tak ada lagi darah yang berproses. Aku menggenggam tangan dingin Leon. Tidak akan ada lagi tangan kekar ini yang senantiasa melindungiku. Tangan kekar ini tak akan lagi menangkapku yang hampir jatuh dari kuda karena kecerobohanku. Tangan ini tak akan lagi mengulurkan bungkusan bahan ramuan yang sangat malas kucari di pasar.
Tanganku kembali menyusuri garis wajah Leon. Wajah yang telah kaku namun hiasan senyum terakhirnya tetap terpatri di sana. Air mataku dengan lancang kembali menerobos.
"Bree! Katakan Kak Leon!"
"Nggak mau! Azlan juga panggil Leon. Bree nggak mau panggil Kak Leon."
"Azlan dan aku hampir seumuran, wajar dia hanya memangil nama. Lagian dia bukan sepupuku."
"Bree dan Azlan sepupu, tapi Azlan nggak keberatan dipanggil Azlan."
"Kalian sepupu jauh. Masih bisa nikah."
"Nikah?"
"Sudahlah, lupakan! Sesukamu saja!"
Saat aku empat tahun, Leon sangat keberatan aku tidak memanggilnya Kakak. Dan aku memang tidak pernah melakukan itu.
"Kak Leon. Kau dengar itu? Aku memanggilmu Kak Leon. Apa kau akan bangun kalau kupanggil seperti itu?" Aku menggenggam erat tangan dingin Leon. Tangan itu bertambah dingin karena dialiri air maraku.
"Bree, turunlah!" Daddy telah berada di luar kereta. Kami telah tiba di aula depan paviliun.
Saat aku turun, Mommy telah menanti di aula depan didampingi Naena. Mommy langsung memelukku. Mommy menangis. Tentu saja. Leon juga besar dalam pengasuhan Mommy. Leon dan Azlan, keduanya besar dalam pendampingan Mommy.
Tangisku tidak lagi berupa isakan saat sudah dalam dekapan Mommy. Aku mengeluarkan semua emosiku.
"Mom, Kak Leon."
Mommy tetap mencoba menenangkanku meskipun Mommy mengalami kesedihan yang sama.
"Biarkan Daddy yang mengurus kakakmu dulu. Bree harus masuk sekarang dan bersihkan dirimu. Naena akan membantumu. Tubuhmu sudah sangat dingin." Mommy menggiringku masuk menuju ruanganku. Aku masih bertahan dengan sesegukanku.
"Naena, pastikan ruangannya hangat."
"Baik, Nyonya. Naena akan mengurus keperluan Nona Muda."
Mommy menutup pintu ruanganku setelah mendudukanku di tempat tidur. Naena sendiri mulai mempersiapkan berbagai keperluanku. Entah apa itu, aku tidak terlalu memperhatikan. Aku sendiri memilih langsung berbaring. Saat tubuhku bertemu tempat tidur, aku baru merasakan kepenatan yang amat sangat pada tubuhku.
Entah kapan aku tertidur, saat aku membuka mata, kepalaku terasa sangat berat, mungkin karena dampak kebanyakan menangis. Aku mengerjapkan mataku, mencoba menyesuaikan dengan keadaan ruangan. Sinar matahari menerobos lewat celah jendela. Itu artinya sekarang sudah siang. Mengingat ini musim dingin, matahari akan menerobos ke jendela kamarku di siang hari.
Saat aku telah sepenuhnya bangun, wajah Azlan adalah yang pertama terlihat.
"Azlan?"
"Hi, sleeping beauty. Ah tidak! Bukan sleeping beauty mengingat tidurmu yang sangat tidak cantik."
Aku hanya memberengutkan wajahku mendengar cemoohannya. Pria satu ini memang tak pernah bisa bersikap manis sedikitpun.
"Tidurmu nyenyak hemm?" Aku hanya mengangguk lemah.
"Kepalaku pusing." keluhku dan Azlan menepuk kepalaku sekilas dan pelan.
"Bisa kulihat dari matamu."
"Hahh?"
"Bangun dan lihatlah sendiri!" Aku tak perlu melakukan ucapan Azlan. Dari apa yang kurasakan aku cukup tau bagaimana bengkaknya mataku.
"Cuci mukamu! Pemakaman sebentar lagi dilaksanakan."
Aku tak menggubris ucapan Azlan. Aku langsung menghambur ke luar pintu ruanganku. Leon adalah tujuanku.
"Kak Leonnn! Jangan ada yang berani membawanya pergi!"Aku menunjuk siapapun yang ada di aula paviliun.
"Jangan bawa Kak Leon!"
"Bree! Jaga sikapmu!" Daddy menatapku dengan penuh intimidasi. Aku tidak gentar dengan tatapannya.
"Jangan bawa Kak Leon!"